Safar berarti perjalanan yang dilakukan kaum sufi dari satu daerah ke daerah lain. Perjalanan (safar) sangat bermanfaat dalam menundukan hawa nafsu yang membandel dan melembutkan hati yang keras.
Berada di sebuah negeri asing, terpisah dari sahabat dan keluarga, dan latihan bersabar dalam menghadapi musibah dan cobaan, sesungguhnya bisa melumpuhkan dan menghentikan keinginan hawa nafsu, serta melembutkan hati yang keras. Dalam menundukkan hawa nafsu, pengaruh safar tak kalah pentingnya dibandingkan dengan pengaruh shalat sunnah, puasa, dan doa.
Dalam aturan Tarekat Suhrawardiyah, kaum sufi yang melakukan safar mestilah memperhatikan dan mengamalkan dua belas aturan:
- Mengukuhkan niat dan menjunjung tujuan luhur, yakni:
- Mencari pengetahuan;
- Menemui para syaikh dan saudara sesamanya;
- Memutuskan diri dari segala sesuatu yang disenanginya dan mereguk pahitnya terpisah dari segenap saudara dan sahabat tencinta;
- Mengungkapkan khazanah tersembunyi dari dalam jiwa dan mengeluarkan segala perhiasan dan tuntutannya. Sebab, banyak sifat tercela akan terungkap selama melakukan safar karena berada jauh dari segala sesuatu yang disenanginya;
- Menyendiri dan menghindari penerimaan oleh manusia;
- Membaca ayat-ayat tentang keEsaan Allah SWT. dari buku alam semesta, membaca tanda-tanda kekuasaan dan rahasia-rahasia Allah SWT., serta berbagai keajaiban makhluk sehingga meningkatkan kekuatan keyakinan tentang bukti-bukti kekuasaan Allah SWT. dan rahasia-rahasia-Nya.
- Melakukan safar bersama sahabat.
- Sekelompok orang yang melakukan safar bersama-sama harus menunjuk seorang pemimpin (amir) agar semua orang di dalam kelompok itu mematuhinya.
- Berpamitan dan mengucapkan selamat tinggal terhadap saudara-saudaranya yang masih tinggal.
- Mengucapkan selamat tinggal pada tempat-tempat persinggahan, ketika akan meninggalkannya.
- Ketika seseorang yang melakukan safar akan menunggangi kuda, unta, tandu, atau kapal, ia mestilah berdoa: “Segala puji bagi Allah SWT. yang telah menaklukkan kuda ini bagi kami, Dengan nama Allah SWT aku bertawakkal kepada Allah SWT. Tiada kekuasaan dan perintah kecuali bersama Allah Yang Maha besar dan Maha kuasa. Engkaulah penunggang segenap punggung dan penolong segala urusan”.
- Dari tempat itu ia harus memulai perjalanan pagi-pagi sekali pada hari
- Di saat mendekati tempat tujuan, ia harus mengucapkan, “Wahai, Tuhan langit dan segala sesuatu yang bertambah; Tuhan buminya dan segala sesuatu yang berkurang; Penguasa atas setan dan mereka yang tersisa; Tuhan anginnya dan segala sesuatu yang berhembus; Tuhan airnya dan segala sesuatu yang mengalir! Ya Allah SWT., aku berdoa untuk kebaikan tempat ini dan para penghuninya. Kepada-Mu aku berlindung dari kejahatan tempat ini dan para penghuninya”.
- Mengucapkan salam kepada tempat yang dituju. Ketika tiba di tempat itu ia melakukan shalat dua rakaat.
- Menyiapkan semua perlengkapan safar, seperti tongkat, wadah, air, dan ikat pinggang.
- Ketika sudah tiba di sebuah kota atau tempat yang dituju, ia harus mengucapkan salam kepada seluruh penghuni tempat itu, yang masih hidup maupun sudah wafat, membaca beberapa ayat al-Qur`an, memohon rahmah untuk mereka, dan memanjatkan doa, “Ya, Tuhanku, izinkanlah aku beristirahat dengan baik”.
- Sebelum memasuki kota itu, ia sebaiknya mandi, jika memungkinkan, (‘Awârif al-Ma’ârif, halaman: 183-191).
Sama‘ (Nada-nada) Musik Ruhaniyah
Sama’ berarti pendengaran, penerimaan bunyi, melakukan percobaan paduan suara. Dalam tasawuf, sama’, berarti menunjukkan nada-nada musik ruhani. Menurut Abu Hafs Umar As-Suhrawardi, sama’ bisa memberikan tiga manfaat:
- Untuk menghilangkan rasa kecut (qabd), di mana kaum sufi modern menggubah suatu komposisi spiritual berupa sama’ yang berupa suara-suara merdu, langgam irama yang serasi dan terpadu, serta bait-bait yang membuat mereka bersemangat dan bergairah sewaktu memerlukannya;
- Menumbuhkan dan meningkatkan hal (kondisi ruhani) yang menggerakkan dan membangkitkan hasrat kerinduan (kepada Allah SWT.) dan kecintaan kepada-Nya pada diri orang yang mendengarkan (sami’), sehingga tersingkaplah berbagai tirai dan hijab (penghalang) di hadapannya, dan pintu ketinggian pun menjadi terbuka;
- Sewaktu berlangsung sama’, telinga jiwa terbuka dan terpesona oleh seruan keazalian dan juga seruan “perjanjian pertama”, sehingga jiwa dapat meninggalkan keberadaan noda kotoran dari dirinya serta terbebas dan polusi hati, hawa nafsu, dan sebagainya. Kemudian dengan cepat, jiwa pergi menuju ke haribaan-Nya, perjalanan (jiwa) yang melelahkan berubah menjadi kegairahan kepada-Nya; dari pencinta Allah berusaha untuk menjadi “kekasih”-Nya (‘Awârif al-Ma’ârif, halaman: 227-228).
Tentang peran musik, ia berkata: “Musik tidaklah membangkitkan orang kepada sesuatu yang tak terdapat dalam hatinya. Oleh karena itu siapa yang hatinya terpaut kepada selain Allah SWT., niscaya oleh musik tergugah kepada keinginan sensual, tapi orang yang terpaut hatinya mencintai Tuhan, niscaya dengan mendengar musik menjadi tergugah untuk melakukan kehendak-Nya. Mendengar musik bagi para wali, akan mengantarkan mereka kepada penyaksian karunia-karunia Tuhan, bahkan bagi mereka, melalui musik Tuhan menyingkapkan diri-Nya” (‘Awârif al-Ma’ârif, halaman: 244).
Sesungguhnya yang membedakan hal (kondisi ruhani) batil dan haq akibat sama’ adalah wujudnya hawa nafsu dan iradatul haq.
Syaikh Abû Thalib al-Makki menyebutkan dalil tetang kebolehan sama’ diambil dari para ulama’ salaf (para sahabat dan tabi’in). Perkataan Syaikh Abû Thalib al-Makki tersebut menunjukkan kesempurnaan ilmu beliau tentang ahwal para ulama salaf.
Hukum sama’ menurut Syaikh Abû Thalib al-Makki ada 3 macam:
- Haram, apabila hanya digunakan untuk nafsu dan syahwat.
- Syubhat, apabila sama’ digunakan untuk mendengarkan sesuatu yang bisa dicerna oleh akal dengan sifat-sifat yang mubah karena adanya unsur
- Mubah, apabila mendengarkan dengan hati yang bisa menggugah pada keinginan untuk mencintai Sang Khaliq.