Dini hari tadi, kawan saya, Bernando J. Sucibto, mengirim tautan Youtube berisi rekaman diskusi Gus Dur di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Tautan berisi rekaman suara tahun 1992 diungkap oleh Tri Agus Susanto, nama yang tidak asing –karena saya suka baca kisah-kisah humornya– namun saya baru mengerti orangnya di akun bernama “TASS Bukan Kantor Berita”.
Gus Dur, dalam rekaman tersebut, berbicara bersama Emha Ainun Najib. Keduanya dimoderatori Rocky Gerung, nama yang beberapa tahun terakhir ini cukup “menggerung-gerung” di media sosial.
Di awal ceramah, Gus Dur meledek Emha atau Cak Nun itu. “…tapi kepincut berangkat juga (di acara ini) bukan karena Emha..walaupun Emha ini teka-teki untuk saya…” Sampai di situ, para penonton tertawa terbahak-bahak.
Sejurus kemudian Gus Dur melanjutkan pembicaraannya: Teka-tekinya kan, kalau orang lain kan, kalau ‘Emha’ kalau ditulis dibuang E-nya dan A-nya. Biasanya orang itu ‘HM’, Haji Muhammad. Ini kok ‘MH’? Apa Muhammad Haji?”
Jelas, Gus Dur membolak-balikkan kata itu dengan tujuan melucu. Namun, audiens tidak ada yang tertawa. Dalam rekaman tersebut kita hanya mendengar orang “batuk”.
Bisa dijelaskan kenapa Gus Dur di situ gagal membuat orang tertawa.
Pertama karena humor itu butuh mikir. Bahasa, yang banyak dijadikan teknik membuat humor, selalu saja butuh mikir mencernanya. Dan lebih-lebih, bahasa itu bersifat terbatas atau lokal. Komunitas A akrab dengan bahasa atau kode tertentu, belum tentu komunitas yang lain akrab. Bisa jadi, jika humor Gus Dur itu dilontarkan di komunitas pesantren, audiensnya kiai-kiai yang namanya banyak disingkat HM, kemungkinan besar akan ada ledakan tawa.
Kedua, Gus terlalu cepat melontarkan humor lagi, orang sudah tertawa dengan kalimat sebelumnya. Humor itu mikir, mikir itu butuh jeda.
Itulah yang saya sering katakan bahwa lucu itu relatif, tapi ‘garing’ itu mutlak. Dalam istilah santri: sifat “lucu” itu tidak ada yang mujma’ alaih, tapi “tidak lucu” itu mukhtalaf fiih. Hahaha… Tambah mumet Sampean membaca ulasan humor saya..