Sedang Membaca
Ini Jawabannya Mengapa Kita Harus Menghormati Para Leluhur yang Sudah Meninggal

Saya mendefinisikan diri saya sebagai seorang yang gemar membaca, menulis, berenang, dan jalan-jalan. Menulis menjadi sarana saya untuk mengabadikan berbagai hal. Menulis juga melatih saya untuk mengerti arti konsistensi dan pantang menyerah. Tulisan saya seperti puisi, opini, dan feature pernah dimuat di berbagai media massa. Di antaranya di Detik, Kompas, Suara Merdeka, Wawasan, Tribun Jateng, Bangka Pos, Bali Pos, Radar Lampung, Malang Voice, dan Koran Sindo. Telah menerbitkan dua buku di Ellunar Publisher, Kumpulan Puisi Berjudul Racau dan Kumpulan Opini di Media Massa Berjudul Gelisah Membuah

Ini Jawabannya Mengapa Kita Harus Menghormati Para Leluhur yang Sudah Meninggal

Masyarakat Indonesia begitu menghormati para leluhurnya. Ini terbukti dengan masih bertahannya tradisi-tradisi bentuk penghormatan kepada para leluhur yang sudah meninggal. Di Jawa misalnya, keluarga yang masih hidup akan berkunjung ke makam para leluhur yang telah berpulang pada waktu-waktu tertentu. Saat jelang Ramadan, lebaran, ataupun ketika tanggal lahir leluhur itu.

Menghormati leluhur merupakan salah satu cara kita sebagai generasi penerus dalam mengingat sejarah. Dari para leluhur itulah kita mengetahui dari mana asal kita. Leluhur tersebut juga mewariskan pedoman-pedoman hidup yang masih kita gunakan dalam menjalani hidup. Seperti yang kita pahami, masyarakat Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari tradisi turun- temurun yang dituturkan secara lisan maupun tertulis oleh para sesepuh.

Selain mewarisi tradisi, para leluhur memberikan kesejahteraan hidup bagi masyarakat yang masih hidup. Cuman terkadang tak disadari oleh kita. Meskipun nyawa mereka telah tiada, para leluhur tidak henti-hentinya menghidupi kita.

Maksudnya adalah, para leluhur tetap mendatangkan rezeki bagi kita yang masih hidup. Ini bisa kita lihat dengan adanya tradisi penghormatan yang biasa kita lakukan untuk para leluhur. Tradisi-tradisi ini sekarang tidak hanya sebatas ritual bagi keluarga atau kerabat dekat yang ditinggalkan. Tradisi-tradisi tersebut sekarang bisa dinikmati oleh para wisatawan. Serangkaian acara atau upacara adat untuk menghormati para leluhur telah disulap sebagai ajang promosi kebudayaan daerah tersebut. Dijadwalkan sebagai agenda wisata yang keberadaannya mampu mengundang banyak kerumunan pengunjung yang penasaran dan mendapatkan pemahaman soal itu. Ritual penghormatan kepada leluhur menjelma sebagai atraksi pariwisata yang begitu dinanti-nanti oleh wisatawan. Mereka jadi bisa mengenali budaya Indonesia secara langsung, bukan lagi dari buku bacaan.

Baca juga:  Ramadan di Pesantren: Sebuah Kenangan

Salah satu contoh bagaimana peran leluhur yang sudah meninggal dalam menarik wisatawan adalah di Bali. Sebagian dari kita pasti mengetahui tentang keberadaan Desa Trunyan yang terkenal karena keunikan pemakaman di sana. Para leluhur yang meninggal dunia disemayamkan bukan dengan cara dikubur, melainkan hanya diletakkan begitu saja. Jasad orang yang meninggal tersebut juga tidak dikubur seperti tata cara mengurus kematian orang suku Bali.

Bukan Ngaben. Tubuh orang yang meninggal dibiarkan teronggok secara horizontal di alam terbuka. Karena keunikannya inilah, para wisatawan rela datang berduyun-duyun di desa yang terkenal dengan aroma wangi dari pohon Taru Menyannya. Para wisatawan ingin memuaskan hasrat ingin tahu mereka soal tradisi tersebut.

Tentu wisatawan tidak bisa datang tanpa bantuan para warga yang menyediakan jasa penyeberangan menggunakan perahu. Sebabnya, Desa Trunyan terletak di tepi danau Batur, Kintamani. Para wisatawan akan diantar dari dermaga Kedisan sebagai titik keberangkatan. Dari sini saja sudah terlihat ada transaksi ekonomi yang berjalan. Ada penghasilan baru yang bisa diperoleh warga yang menyewakan jasa pengantaran dengan perahu karena para wisatawan akan membayarkan sejumlah uang sebagai ongkos.

Belum lagi tiket masuk yang dipatok dan berpotensi membuka sumber pendapatan tambahan bagi warga. Dengan banyaknya wisatawan yang datang, warga juga bisa membuka warung yang menyediakan makanan dan minuman. Dengan begitu, para wisatawan tidak khawatir lagi kelaparan atau kehausan. Selain jualan makanan dan minuman, geliat pariwisata juga menggerakkan roda perekonomian warga. Warga bisa dilibatkan dalam usaha pembuatan cenderamata yang bakal dibawa pulang wisatawan sebagai oleh-oleh. Jasa dokumentasi juga bisa dilirik warga untuk semakin mendukung kehadiran para wisatawan. Yang tak kalah penting pula, bagaimana warga bisa menjadi pemandu wisata yang baik dengan menerangkan setiap detail info mengenai wisata leluhur itu. Niscaya wisatawan bakal memiliki kenangan indah tentang tempat tersebut.

Baca juga:  Islam dan Budaya dalam Perkawinan Suku Sasak di Lombok

Tentu Bali bukan contoh satu-satunya tentang bagaimana para leluhur sekalipun sudah berbentuk tengkorak tapi tetap mampu memberikan penghidupan kepada masyarakat yang masih hidup. Tradisi Ma’nene di Toraja juga begitu populer dan menjadi magnet para wisatawan. Ritual yang membuat bergidik, terutama bagi kita yang belum familiar. Jasad leluhur yang telah terbujur kaku selama puluhan atau bahkan ratusan tahun dikeluarkan dari Patane (kuburan khas Toraja). Kemudian jasad tersebut dibersihkan supaya bisa diganti bajunya. Keunikan yang mungkin hanya ditemukan di Toraja inilah yang menjadi faktor utama para wisatawan berbondong-bondong datang.

Toraja juga memiliki tradisi lainnya untuk menghormati leluhur mereka. Salah satu yang terkenal adalah tidak menguburkan langsung jasad leluhur mereka. Melainkan disemayamkan terlebih dahulu hingga bertahun-tahun di dalam goa. Salah satunya di Goa Londa. Jadi wisata yang disuguhkan di sini adalah wisatawan menyaksikan kerangka tulang-tulang dan tengkorak manusia yang telah tersimpan berpuluh tahun bahkan ratusan tahun lamanya.

Leluhur yang telah berubah wujud menjadi tulang-belulang akibat proses pengeroposan dan pelapukan alami saja masih menghidupi masyarakat. Warga jadi bisa membuka jasa penyewaan lampu petromaks yang dipakai wisatawan dalam menyusuri goa yang gelap gulita. Tiket masuk objek wisata ini juga menambah pundi-pundi daerah setempat.

Baca juga:  Kafa'ah atau Sekufu dalam Pernikahan

Di lingkungan tempat tinggal saya, para leluhur juga membuka potensi wisata bagi area tersebut. Contohnya di Jabal, Kaliwungu, Kendal. Orang-orang akan berduyun-duyun berziarah ke makam Kyai Asyari (Kyai Guru) tiap tanggal 7 Syawal, bertepatan dengan haul beliau. Apalagi di situ juga merupakan kompleks pemakaman para tokoh Islam yang berperan dalam penyebaran agama Islam di Kendal dan Jawa Tengah. Bisa dipastikan, para peziarah akan tumpah ruah memadati kawasan tersebut. Bahkan penumpukan kendaraan sudah terlihat dari kawasan alun-alun Kaliwungu. Berjubelnya para peziarah ini turut membuka ladang penghidupan bagi warga sekitar. Mulai dari menyulap halaman rumahnya sebagai tempat parkir atau membuka tenda minuman dan makanan yang ditawarkan kepada para pengunjung.

Tradisi Nyadran atau ziarah kubur ini juga turut membuktikan bahwa hubungan baik yang tetap kita jalin dengan leluhur meskipun mereka sudah meninggal nyatanya mampu membuka pintu-pintu rezeki. Untuk itu tak mengherankan, mengapa kita selalu ditanamkan untuk menghormati leluhur. Pada dasarnya saya ingin menekankan, semua ini bukan bentuk musyrik. Sebab, rezeki tetap datangnya dari Sang Pencipta.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
2
Senang
4
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
3
Scroll To Top