Basa ilmu mupakate lan panemu
Pasahe lan tapa
Yen satriya tanah Jawi
Kuna-kuna kang ginilut tri prakara
Lila lamun kelangan nora gegetun
Trima yen kataman
Sakeserik sameng dumadi
Tri legawa nalongsa srah ing Bathara
—Serat Wedhatama
Seorang sepuh tiba-tiba saja menyuruh seorang yang tak berlatarbelakang agama yang kuat untuk berdagang di saat bulan Ramadan, untuk menyediakan keperluan berbuka orang-orang yang sedang berpuasa. Orang yang tak berlatarbelakang agama yang kuat itu pun tentu saja langsung bersemangat dan melakukan apa yang disarankan, mengingat orientasi hidupnya pada saat ini hanyalah bagaimana mendapatkan pendapatan.
Tentu saja, secara sekilas, orang sepuh itu tengah membuktikan watak inklusif agama Islam lewat bulan suci Ramadan, bahwa Islam adalah benar-benar rahmat bagi semesta alam, tanpa peduli latar-belakang seseorang, siapa pun berkesempatan untuk merasakan kesempatan akan rahmat itu. Namun ternyata, ketika seorang yang tak berlatarbelakang agama yang kuat itu merasa dagangannya tak laku, atau dengan kata lain, ketika rahmat yang ia pahami sebatas bahwa dagangannya laku, maka ia pun merasa tak mendapatkan berkat bulan Ramadan atau rahmat agama Islam tersebut.
Konsep “rahmat” pada ungkapan rahmat bagi semesta alam sampai sejauh ini memang tak seragam. Bahkan, bagi sementara orang, konsep itu seolah memberikan ruang pada golongan kafir—yang secara literal dimaknai pula sebagai golongan non-muslim—berkesempatan untuk memperoleh surga. Dan jelas, bagi sementara orang itu, konsep ini sangat membuat iri hati, bagaimana logikanya seorang yang terlihat sama sekali tak menjalankan syari’at agama Islam dapat memperoleh surga?
Bulan Ramadan pada dasarnya adalah sarana yang cukup sederhana untuk memahami konsep “rahmat” pada ungkapan rahmat bagi semesta alam. Ketika surga dipahami sebagai sebentuk ruang seumpamanya, yang otomatis adalah bagian dari konsep rahmat itu, tentu saja tak sembarang orang akan bisa mendapatkannya—taruhlah orang yang tak bersepatu yang tak mungkin diizinkan masuk istana negara.
Namun, bagaimana ketika surga yang merupakan bagian dari rahmat itu adalah seumpama seorang pegawai yang baru gajian dan kemudian membelanjakan sebagian uangnya pada seorang pedagang di pinggir jalan? Atau, bagaimana ketika rahmat itu adalah serupa seorang pedagang yang menggagalkan perdagangannya tersebab rengekan anaknya yang mungkin saja akan terkena sakit? Juga, kepuasan suasana santap malam orang yang tak berpuasa di saat berbuka puasa pada bulan Ramadan?
Dengan demikian, tepatlah bahwa bukanlah rahmat yang menjadi dasar si orang sepuh itu memberikan saran untuk berdagang menjelang berbuka puasa pada seorang yang tak berlatarbelakang agama yang kuat tersebut. Sebab, sebelum orang memprotes dan paham akan apa yang disebut sebagai rahmat, rahmat itu sudah tercurah. Bukankah memprotes dan memahami rahmat adalah sebentuk rahmat tersendiri?
Ilmu itu jadinya ketika paham
Tajamnya dengan perjuangan
Kalau ksatria Jawa
Semenjak dahulu yang digenggam hanya tiga
Rela ketika kehilangan dan tak menyesal
Menerima ketika didera
Iri hati dan kedengkian orang
Ridha dan berpasrah pada Tuhan.