Dulu saat al-faqir masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) hampir tiap hari bermain bersama teman-teman dan tetangga. Permainan yang sering dimainkan usai pulang dari sekolah sore atau diniyyah ini sangat beranekaragam, setinan (kelereng), boy, selodor (gerobak sodor), engklek, betengan, pongpes atau di daerah lain menyebutnya dengan jipong yang dalam bahasa Indonesia adalah petak umpet dan game lainnya yang tak kalah seru.
Bagi pembaca sekalian yang berasal dari Jawa dan masa kecilnya tidak terkontaminasi dengan gadget, daftar di atas mungkin menjadi langganan permainan yang selalu dimainkan secara bergantian setiap hari. Oleh orang Jawa permainan-permainan itu disebut dolanan.
Di daerah asal al-faqir, kata dolanan adalah sebuah kata benda yang berarti permainan. Terbentuk dari kata kerja dasar dolan, yang diartikan bermain. Namun kata bermain yang terakhir disebut ini lebih mengarah kepada berkunjung, bermain ke tempat lain, bukan bermain sebagai memainkan sesuatu.
Aktifitas dolanan saat ini memang terdengar asing, apalagi oleh mereka yang tergolong kids jaman now. Jika ditanya tentang dolanan, mereka justru balik bertanya, “Apa itu?”. Merebaknya game elektronik via android, handphone, PC dan piranti elektronik lainnya diakui atau tidak telah menggeser budaya dan kultur kedaerahan pada umumnya, dan hal-hal semacam dolanan ini pada khususnya. Karenanya budaya ini akan terus hidup dan lestari di daerah yang tidak (untuk tidak mengatakan belum) terkontaminasi piranti elektronik tersebut.
Padahal dolanan sesungguhnya berisi materi filosofis tentang kehidupan yang jika dirunut sejatinya dapat menjadi pelajaran dan pegangan. Sehingga oleh para orang tua, dolanan sering kali dijadikan sebagai media pembelajaran bagi anak-anak. Nah, uniknya, kedekatan antara dolanan dan kehidupan ini sebenarnya telah banyak disinggung Allah Swt. dalam firman-firmannya. Apa dan bagaimana relasi tersebut, mari kita simak uraiannya.
Filosofi dolanan terbagi ke dalam 3 (tiga) fase. Masing-masing fase ini akan merepresentasikan fase-fase keadaan hidup didunia. Ketiga fase tersebut adalah pra, due day dan pasca. Baik. Sebelum dolanan dimulai, semua pemain yang ada terlebih dahulu dibagi menjadi beberapa regu, atau setidaknya penentuan terhadap siapa yang akan bermain terlebih dahulu dan siapa yang bermain berikutnya, dalam permainan individual. Dalam penentuan ini digunakan hompimpa atau hompimpah dan suit atau dalam bahasa Jawa disebut sut.
Dengan metode yang sudah dikenal dan masyhur ini pra–dolanan yang berarti pemilihan regu dan sekutu memiliki relevansinya terhadap kehidupan sebagai upaya pemilihan rekan dan teman seperjuangan. Seperti halnya dolanan yang harus memilih teman, pun begitu dengan kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang selalu membutuhkan manusia lain.
Manusia akan bergabung dengan manusia lain yang memiliki kecenderungan yang sama, untuk bersama-sama berjalan mengarungi hidup. Faktor kesamaan ini tergambarkan dalam laku hompimpa dimana tangan dengan arah yang sama akan bersama-sama melewati hompimpa, ke bawah atau ke atas, hingga menyisakan dua tersisa dalam laku suit.
Baru setelah prosesi pemilihan teman usai dolanan bisa dimulai. Disini, keanekaragaman dolanan menjadi kunci dari representasi kehidupan yang beranekargam pula. Masing-masing dolanan memiliki karakter dan pesan-pesan sendiri yang hendak disampaikan. Dhakon atau chongklak misalnya adalah sebuah permainan yang menurut satu riwayat dinisbatkan kepada Sunan Giri. Dhakon mengajarkan strategi ekonomi mutualisme. Dimana dengan tetap berbagi kepada sesama pemain tetap memperhitungkan laba yang dimiliki. Artinya tidak hanya memperkaya diri sendiri melainkan juga memperhatikan lingkungan sekitarnya.
Spirit dari fase ini adalah menikmati permainan yang sedang berjalan dengan tetap berusaha untuk mencapai kemenangan dan tidak lupa untuk selalu menjaga sportivitas. Seperti hidup yang perjuangannya harus terus dinikmati untuk mencapai kebahagiaan di dunia akhir yang digambarkan dengan kemenangan. Sportivitas merupakan representasi dari amal sholih dan ketundukan terhadap aturan syari’at.
Namun demikian, tidak semua pemain memiliki pemahaman yang sama. Terjadinya kecurangan dan kelicikan atau dalam bahasa Jawa disebut kelet adalah hal yang lazim dijumpai. Bahkan tidak jarang, beberapa pemain justru menyengaja melakukan dan justru berkoalisi dengan pemain lain untuk melakukannya. Bentuk lain dari menikmati permainan ini juga dapat diejawantahkan dengan menghadapi situasi semacam ini (kelicikan yang terjadi).
Lika-liku dolanan akan terus terjadi. Bermunculan silih berganti hingga prosesi dolanan usai. Tahap ini yang dinamakan dengan pasca-dolanan. Setelah memasuki tahapan ini seluruh pemain akan kembali kepada kehidupan nyata mereka dengan melepaskan semua predikat yang disandangnya saat ia dolanan. Tidak ada satu pun yang akan mengungkitnya dikehidupan nyata kecuali hanya sebagai muhasabah dan pengambilan ‘ibrah dan pelajaran.
Kehidupan dunia yang dialami para pemain dolanan juga demikian. Saat kehidupan ini telah mencapai ajalnya dan datanglah kematian, segala sesuatu yang pernah disandang pemain dalam kehidupan dunia juga akan ditinggalkan. Harta benda yang dimiliki dan jabatan dan status yang disandang, tidak ada satu pun yang dibawa atau bahkan dijadikan modal di kehidupan akhirat. Yang ada hanya perhitungan amal. Segala kelicikan (baca: kemaksiatan) yang diperbuat, koalisi-koalisi kejahatan yang direncanakan akan dipertanggungjawabkan, segalanya.
Tuaian akibat telah menanti sang pemain. Mereka yang penuh dengan amalan kebaikan, vertikal dan horizontal, ibarat mereka yang menang dalam dolanan dengan sportivitasnya. Sedang yang kalah akan dipenuhi dengan penyesalan dan amun-amun (angan-angan kosong) yang selamanya akan tetap menjadi amun-amun.
Uraian ini mungkin terdengar mengada-ada dan cenderung otak-atik-gathuk. Ketiadaan referensi yang pakem dalam adat dolanan Jawa ini salah satunya disebabkan tradisi oral menjadi budaya masyarakat Jawa. Tapi bukankah Allah telah berfirman bahwa, “Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau?” (QS. Al-An‘am: 32). Dalam firman-Nya yang lain bahkan menggunakan penekanan redaksi, “Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurau.” (QS. Al-Hadid: 20).
Bahwa kehidupan dunia adalah dolanan, yang menurut Imam Al-Thobari, “Yang mengabur, menghilang dan lewat begitu saja”. Bahwa setiap permainan yang dimainkan pada akhirnya juga hanya sebagai permainan. Kecuali, “sesuatu darinya yang diperuntukkan kepada Allah, maka jadilah ia bagian dari sesuatu yang nyata (akhirat)”.
Bahwa menurut Imam Al-Jauzi, “kehidupan di dunia yang terasa begitu singkat tak ubahnya sebuah dolanan yang dimainkan dan tidak terasa telah usai”. Meski kenyataannya ia memakan waktu yang lama. Bahwa menurut Imam Al-Zamakhsyari, “kehidupan adalah sesuatu yang tidak perlu dianggap serius seperti dolanan yang lewat begitu saja”.
Maka tidak ada salahnya kita dolanan. Karena dolanan adalah refleksi kehidupan. Sehingga barang siapa dolanan ia akan menemukan kehidupan. Sekali lagi karena dolanan adalah la‘bun.
Mari dolanan!