Sedang Membaca
Fatwa yang Toleran Terhadap Penerima Politik Uang
Ahmad Muhajir, MA
Penulis Kolom

Ahmad Muhajir adalah dosen Fakultas Syariah UIN Antasari, Kalimantan Selatan. Sedang menyelesaikan program doktoral di Australia.

Fatwa yang Toleran Terhadap Penerima Politik Uang

Kiai Zahro

Setelah mendiskusikan ulama yang mengharamkan politik uang di tulisan-tulisan sebelumnya (Baliho Tolak Politik Uang & Fatwa UAS dan Yang Khas dari Fatwa Ustadz Das’ad Latif Tentang Politik Uang), patut kiranya saya menyebutkan ulama yang membolehkannya. Saya akan mengambil satu contoh, seorang alim sekaligus akademisi dari Jawa Timur yang bersikap lentur dalam menghukumi praktik menerima pemberian caleg atau calon politik lainnya. Beliau adalah Kiai Ahmad Zahro, seorang guru besar di bidang fikih dari UIN Sunan Ampel Surabaya, salah satu universitas Islam besar di tanah Jawa.

Substansi fatwa Kiai Zahro dalam soal politik uang sebagian besarnya senada dengan fatwa Ustadz Abdul Somad, orang alim nan masyhur dari Riau, Sumatera yang telah saya diskusikan. Bedanya, Kiai Zahro bersimpati pada pemilih yang menerima pemberian dari caleg, yang menurutnya kebanyakannya orang desa yang miskin, hingga beliau membolehkan mereka menggunakannya untuk kepentingan pribadi atau keluarga. Kiai Zahro bukan satu-satunya yang bersikap demikian, namun beliau adalah sedikit dari ulama kredibel yang secara terbuka menyampaikan fatwa tolerannya ini di media sosial hingga bisa diketahui oleh dunia.

Kiai Ahmad Zahro memang tidak seterkenal Ustadz Abdul Somad ataupun Ustadz Das’ad Latief dari Makassar, Sulawesi yang juga telah saya analisis sebelumnya. Namun Kiai Zahro sudah jadi ahli fikih sebelum kedua penceramah itu menjadi sangat populer di seantero negeri. Dia menerbitkan fatwa berjilid-jilid di berbagai isu, yang menunjukkan keluasan pengetahuan fikihnya dan kemampuan analisis hukumnya. Disertasinya yang telah diterbitkan oleh penerbit terkemuka dari Yogyakarta juga membahas tradisi pembuatan fatwa, yakni forum bahtsul masail Nahdlatul Ulama. Dia dulu mendalami kajian Islam di Timur Tengah, tepatnya di Universitas Al-Azhar Mesir dan Al-Khurtum Sudan. Tidak mengejutkan jika Kiai Zahro adalah seorang yang hafal Al-Qur’an dan fasih membaca kitab-kitab tafsir, hadits dan fikih yang menjadi rujukan dalam penentuan hukum. Singkatnya, Kiai Zahro adalah seorang pembuat fatwa yang punya kualifikasi dan kredibilitas. Dengan demikian, sangat pantas bagi kita untuk membahas fatwanya di dalam soal politik uang.

Pendapat keagamaan Kiai Ahmad Zahro ini penting untuk dibahas karena mendemonstrasikan keragaman pandangan ulama Indonesia tentang politik uang. Dari fatwa ini, kita mengetahui bahwa risywah bukanlah satu-satunya konsep keagamaan yang dapat dipakai untuk memahami praktik tersebut.

Harus diakui bahwa keragaman fatwa ulama merupakan hal yang lumrah dalam dunia fikih. Bahkan ikhtilaf para imam dianggap sebagai perwujudan kasih sayang bagi umat Islam, karena mereka jadinya punya beberapa pilihan untuk situasi dan kecenderungan masing-masing. Masalahnya adalah negara kita telah jelas-jelas menggolongkan politik uang sebagai perbuatan pidana dalam pemilu. Adanya fatwa yang menoleransi politik uang dapat memupus asa yang disematkan pada agama untuk turut serta mengurangi penyebaran praktik ini.

Isi fatwa: Dari uang jasa menjadi uang sogok.

Fatwa Kiai Zahro tentang politik uang dapat ditemukan di channel YouTube-nya yang bernama Azahro Official yang ditayangkan menjelang pemilu 2019, tepatnya pada tanggal 11 Maret tahun itu. Videonya, yang diberi judul “Bolehkah menerima money politics?”, adalah sumber penting dalam analisis ini karena berisi dua fatwa sekaligus, yakni fatwa asal dan revisinya.

Baca juga:  Almanak Derita Muslim Tatar Krimea

Di awal video, Kiai Zahro meringkas isi fatwa asalnya. Dia berkata bahwa dirinya

dulu pernah menjelaskan bahwa … menerima uang dari caleg atau cabup atau cagub atau capres itu boleh kalau [dari] satu orang, kemudian [calon tersebut] dipilih. Memang secara fikih halal. Menerima uang dari caleg tertentu karena kita punya hak suara. Kita bisa memberikan suara kita kepadanya sebagai sebuah jasa. Secara fikih ada peluang untuk dianggap benar atau boleh.

Jadi awalnya, Kiai Zahro memposisikan politik uang sebagai kesepakatan upah-mengupah (ijarah) antara calon politik dan pemilih. Secara umum, Islam memperbolehkan upah-mengupah, selama pekerjaan yang disepakati statusnya mubah, misalnya saja, membangun rumah, bersih-bersih ruangan dan halaman, menjaga keamanan atau mengantarkan paket. Namun jika pekerjaan yang disepakati hukumnya haram, seperti membunuh, mencuri atau berzina, maka hukum upah-mengupahnya juga haram. Prinsip ini sangat masuk akal dan dapat kita temukan dalam kitab-kitab fikih, seumpama Raudhah at-Thalibin karya Imam an-Nawawi, Juz 11, halaman 144.

Di sini, kita dapat mengikuti alur berfikir Kiai Zahro dalam fatwa asalnya. Upah-mengupah dalam mencoblos itu mubah karena mencoblos itu sendiri hukumnya boleh. Kita ingat bahwa soal coblosan adalah soal penggunaan hak pilih seseorang, yang mana diserahkan kepadanya untuk menggunakannya sebagaimana yang dia mau. Namanya juga hak. Namun, Kiai Zahro juga memberikan catatan bahwa kebolehan upah-mengupah dalam urusan coblosan ini bersifat terbatas. Seorang pemilih boleh membuat kesepakatan dengan satu calon saja. Kalau dia mengambil uang dari beberapa caleg DPRD kabupaten/ kota, misalnya, maka dia tidak akan bisa menunaikan “pekerjaan” yang telah disepakati karena hanya punya satu suara untuk tiap tingkatan pemilu. Kalau si pemilih memaksakan mencoblos semua caleg DPRD yang telah memberinya uang, maka suara yang cuma satu itu dianggap rusak dan tidak bisa dihitung. Dalam kondisi terakhir ini, para pengupah terzholimi karena sudah membayar namun tidak mendapatkan jasa yang dijanjikan. Berbuat zholim hukumnya haram.

Fatwa asal ini kemudian dikritik oleh seorang alim yang Kiai Zahro kenal baik dan anggap sebagai pihak yang peduli dengannya. Orang itu berkata: “Syeikh, fatwa antum benar [secara fikih]. Tapi saya yakin banyak mudharat-nya”. Dalam Bahasa Indonesia, mudharat artinya bahaya atau dampak buruk yang disebabkan oleh suatu zat atau suatu tindakan. Intinya, Kiai Zahro menceritakan bahwa orang ini membujuknya untuk mempertimbangkan kembali fatwa tersebut.

Kiai Zahro mengaku memikirkan kata-kata orang ini. Dia berkata

Saya pikir-pikir betul juga itu… [Jika dipandang] secara fikih sosial dan fikih politik, [politik uang] jelas banyak mudharat-nya.

Kiai Zahro menegaskan bahwa memang ada dalil atau argumen fikih untuk menjustifikasi fatwa asalnya. Hanya saja, setelah mempertimbangkan potensi bahaya yang berasal dari praktik politik uang, dia memutuskan untuk merevisi fatwa ini dengan menggunakan konsep “menutup jalan yang membawa kepada bahaya” atau sadd adz-dzari’ah. Setahu penulis, konsep ini juga dipakai untuk mengharamkan seorang lelaki dan perempuan yang bukan mahram berdua-dua-an di tempat sepi, karena dikhawatirkan bahwa perbuatan itu akan membawa kepada perzinahan (suatu maksiat besar yang dianggap berbahaya oleh agama Islam).

Baca juga:  Donasi Digital dan Ilusi Kedermawanan: Belajar dari Kasus Agus Salim

Ada perbedaan yang kentara antara fatwa asal dan fatwa revisi Kiai Zahro tentang money politics. Jika dalam fatwa asal, pemilih harus mencoblos si calon yang memberi uang atau hadiah lain, maka di fatwa revisi, mencoblos calon dimaksud justru tidak boleh dilakukan. Berikut kutipannya

Jika panjenengan (anda, Basa Jawa) diberi uang oleh caleg atau calon politik lainnya, silahkan diterima… Tapi hukumnya haram memilih yang memberi… Mengapa? Karena kalau kita memilih yang memberi, itu risywah: sogok atau suap atau apapun namanya. [Uang pemberian tersebut] menjadi haram. Supaya halal, pilih calon yang lain.

Kutipan di atas perlu dianalisis perlahan-lahan karena mengandung beberapa lapisan data. Pertama, cukup jelas bahwa di dalam fatwa revisi ini, konsep upah-mengupah tidak lagi dipakaikan kepada praktik politik uang. Kiai Zahro sekarang mengikuti pendapat arus utama dalam isu ini dengan menggunakan konsep risywah atau sogok-menyogok yang diharamkan agama. Pergantian konsep di atas menyebabkan berubahnya status suatu perbuatan secara radikal. Awalnya, tidak mencoblos calon yang memberi uang dianggap sebagai kezholiman, namun sekarang justru dipandang sebagai kewajiban. Artinya, dulu mengandung dosa, sekarang bernilai pahala. Mengapa? Karena menghindari perbuatan haram (misalnya, risywah) itu hukumnya wajib.

Hal kedua yang bisa diamati dari kutipan di atas adalah bahwa Kiai Zahro memakaikan konsep risywah pada politik uang tanpa melarang pemilih mengambil pemberian dari calon politik. Ini menarik karena biasanya keharaman risywah berujung pada perintah pada semua pihak agar jangan sampai terlibat di dalamnya, entah sebagai penyogok, penerima sogok atau pihak yang mempertemukan keduanya. Namun Kiai Zahro dengan tegas mengatakan “silahkan terima!” Bagi profesor di bidang fikih ini, menangkal risywah tidak musti dilakukan dengan menolaknya. Seseorang cukup mengabaikan keinginan si penyogok. Selama si pemilih tidak mencoblos si calon, maka uang yang diambilnya bukan uang sogok. Menurut Kiai Zahro, itu uang halal. Lebih jauh, dirinya merekomendasikan agar penerima politik uang tidak menjanjikan akan mencoblos si pemberi, agar pemilih tidak dianggap menipu calon itu. Singkatnya, tanpa mencoblos sang calon, pemilih terbebas dari dosa risywah (menerima suap). Selanjutnya, tanpa berjanji akan memilih si pemberi, pemilih terbebas dari dosa khid’ah (menipu).

Hal ketiga yang terlihat dari fatwa revisi ini adalah bahwa Kiai Zahro tidak bersimpati pada para calon politik yang telah memberi uang kepada pemilih. Jika kita teruskan menonton video fatwa ini, kita dapat menemukan beberapa ungkapan Kiai Zahro yang “menyalahkan” para calon. Misalnya, beliau mengatakan bahwa para caleg itu sudah

tahu [bahwa politik uang] itu dilarang undang-undang [pemilu], koq [mereka] tetap memberi. Berarti [calon-calon itu] cari masalah.

Bahkan di video fatwa ini, Kiai Zahro menyebut ungkapan “kapokmu kapan?!” yang ditujukan kepada para calon. Ungkapan ini kurang lebih maknanya “rasain lo!” atau “itu salahmu sendiri” yang menunjukkan ketidaksetujuan pada perilaku seseorang.

Baca juga:  Mencermati Sentimen Kebencian terhadap Islam di Swedia (1)

Berdasarkan video ini, kita dapat menebak kemana Kiai Zahro melabuhkan simpatinya. Terlihat sekali bahwa dia cenderung membela pemilih. Dia biarkan para pemilih menerima pemberian caleg. Katanya, kalau pemilih menolak, “mungkin tidak akan diberi lagi selamanya”. Lagi pula, dia menyadari bahwa pemberian dari caleg ini ada masanya, “menerimanya cuma pas pemilu saja kan?!” Mempertimbangkan ini semua, Kiai Zahro mencoba mengamankan para pemilih dari dosa risywah. Strateginya pun dicarikan yang mudah bagi mereka.

Konteks sosial

Barangkali berguna jika kita melihat konteks yang lebih besar, misalnya, masyarakat di mana Kiai Zahro hidup. Beliau tinggal di Jawa Timur. Wilayah ini pernah disurvei kecenderungannya dalam isu politik uang. Pada pertengahan 2017, data Indikator Politik Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 4 dari 10 orang Jawa Timur menganggap bahwa politik uang itu wajar. Ini adalah angka yang tinggi dalam sikap terhadap politik uang yang disurvei di berbagai wilayah di Indonesia. Bandingkan dengan data survei Indeks Perilaku Anti-Korupsi milik BPS untuk tahun 2017 dan 2018. Secara nasional, hanya ada sekitar 2 dari 10 masyarakat Indonesia yang menganggap wajar atau sangat wajar jika calon politik memberi uang atau barang ke calon pemilih. Ini berarti bahwa tingkat toleransi masyarakat Jawa Timur terhadap politik uang dua kali lipat lebih tinggi dari level toleransi di tingkat nasional.

Yang lebih menarik lagi, data Indikator Politik Indonesia tahun 2017 itu juga menunjukkan bahwa pemilih di Jawa Timur yang tidak menganggap politik uang sebagai hal yang wajar belum tentu akan menolak jika ditawari uang atau hadiah lainnya. Ternyata, kebanyakan responden, apapun sikapnya terhadap politik uang, akan mau menerima pemberian dari calon politik. Jadi di dalam masyarakat Kiai Zahro, menerima uang dari caleg atau calon politik lainnya adalah praktik yang jamak terjadi.

Selain itu, data survei yang sama juga menunjukkan bahwa meskipun telah menerima pemberian calon politik, kebanyakan pemilih akan mencoblos calon yang mereka sukai, yang belum tentu calon yang memberi mereka uang. Istilah populernya, mencoblos dengan “mengikuti hati nurani”. Artinya, saran Kiai Zahro agar pemilih menerima uang dari calon dan kemudian mencoblos calon yang lain itu sesuai dengan kecenderungan masyarakatnya. Dapatlah kita katakan bahwa fatwa Kiai Zahro adalah fatwa yang lentur terhadap penerimaan politik uang untuk masyarakat yang mayoritasnya mau terlibat dalam praktik politik uang.

Kesimpulannya, dari fatwa-fatwa Kiai Zahro ini kita belajar bahwa risywah bukanlah satu-satunya konsep yang dapat dipakaikan pada praktik politik uang. Ada konsep ijarah atau upah-mengupah yang berujung pada bolehnya pertukaran uang dan jasa antara calon politik dan pemilih. Meskipun fatwa asal ini direvisi, di mana Kiai Zahro kemudian memakaikan konsep risywah, pemilih tetap saja boleh menerima uang dari caleg. Dengan kata lain, Kiai Zahro bersikap simpatik pada masyarakat pemilih. Inilah yang membedakan Kiai Zahro dengan Ustadz Abdul Somad yang melarang pemilih memakai uang itu untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Wallahu A’lam bi as-Shawab

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top