Sedang Membaca
Baliho Tolak Politik Uang & Fatwa UAS
Ahmad Muhajir, MA
Penulis Kolom

Ahmad Muhajir adalah dosen Fakultas Syariah UIN Antasari, Kalimantan Selatan. Sedang menyelesaikan program doktoral di Australia.

Baliho Tolak Politik Uang & Fatwa UAS

Foto Baliho Anti Politik Uang Uas

Beberapa hari jelang Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Gubernur Kalimantan Selatan muncul pemberitaan menarik. Salah satu calon gubernur, Denny Indrayana, mempertanyakan penertiban oleh Bawaslu terhadap baliho atau spanduk yang berisi pesan anti-politik uang (Muhammad Risanta, detiknews, 30 Mei 2021).

Spanduk-spanduk itu ada yang bertuliskan ancaman hukuman terhadap pelaku politik uang dalam hukum negara dan ada pula yang berisi fatwa dari Ustadz Abdul Somad (UAS) tentang politik uang dalam hukum Islam. Sang cagub merasa heran dengan langkah Bawaslu ini karena menurutnya baliho-baliho tersebut bagian dari “ikhtiar bersama menolak politik uang”.

Saya sendiri menyaksikan spanduk-spanduk tersebut terpasang di dua titik strategis di sekitar kediaman saya yang termasuk wilayah yang akan melaksanakan PSU. Yang menarik perhatian saya terutama fatwa UAS. Alasannya sederhana: fatwa itu termasuk dalam sejumlah fatwa ulama dan penceramah yang saya analisis dalam naskah disertasi saya. Fatwa UAS ini menarik untuk ditelaah karena popularitas sang ustadz dan cara beliau menyampaikannya.

Di satu sisi, fatwa ini memiliki unsur penggetar bagi pihak-pihak yang ingin menggunakan strategi politik uang. Namun di sisi lain, fatwa UAS ini bisa dikutip secara tidak lengkap sehingga ada aspek keagamaan penting yang hilang. Menurut saya, masyarakat perlu mengetahui fatwa UAS secara utuh. Jika tidak, pemilih bisa terjatuh dalam tindakan yang tidak dianjurkan oleh UAS dan banyak ulama lainnya. Jadi tulisan ini mengandung catatan kritis, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap upaya memberantas praktik politik uang.

Dalam spanduk yang saya lihat, sebenarnya saya tidak langsung mengenali bahwa tokoh yang ditampilkan di situ adalah UAS. Yang terlihat adalah karikatur seseorang berkopiah hitam, baju dan celana putih dengan sorban di pundaknya tanpa ada identitas spesifik. Saya faham kalau tokoh tersebut seorang ustadz karena di sampingnya ada karikatur seorang laki-laki bermasker yang bertanya: “ustadz, apa hukum money politik?” yang kemudian dijawab dalam Bahasa Banjar: “ambil duitnya, jangan pilih urangnya”. Penanya berkomentar: “tapi kami takut dosa, ustadz”. Sang ustadz merespon: “tidak, saya yang nanggung dosanya.” Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa pemilih yang menuruti anjuran ini tidak akan berdosa. Sang ustadz lalu mengulangi fatwanya “ambil duitnya, jangan pilih urangnya!!” Seandainya saya tidak membaca berita di atas, mungkin saya tidak akan menyadari identitas sang ustadz di spanduk tersebut. Lagi pula, pesan utamanya diungkapkan dalam Bahasa Banjar, sehingga saya sempat mengira bahwa sang ustadz mungkin Urang Banjar. Namun, Denny menyatakan bahwa kalimat itu merupakan “penggalan dari ceramah yang disampaikan oleh salah satu tokoh agama terkemuka, yaitu Ustadz Abdul Somad” (Muhammad Risanta, detiknews, 30 Mei 2021).

Baca juga:  Mengapa Awal Puasa Berpotensi Berbeda dan Lebaran Bisa Dirayakan Bersama

Keterangan Cagub Denny bahwa spanduk itu berisi “penggalan” memang akurat dan harus dipahami secara harfiah. Artinya, fatwa di situ tidak lengkap disebut. Ibaratnya, bagian kepalanya ada, sementara bagian ekornya tidak ada. Semasa meneliti fatwa tentang politik uang, saya memang menemukan bahwa UAS memberi arahan tentang bagaimana muslim sebaiknya menyikapi politik uang. Saya telah memeriksa 49 video fatwa UAS khusus tentang isu ini yang dapat saya temukan di YouTube pada tahun 2019. Video-video tersebut berasal dari 29 ceramah beliau di berbagai tempat di Indonesia. Saat saya menulis artikel ini, sebagian besar dari video-video tersebut masih dapat diakses. Berdasarkan riset tersebut, secara singkat dapat saya katakan bahwa UAS memiliki dua fatwa soal politik uang. Fatwa pertama kurang lebih berbunyi: tolak politik uang, hukumnya haram. Adapun fatwa kedua termuat sebagiannya di spanduk yang sedang kita bicarakan di sini.

Versi lengkap fatwa UAS yang kedua berisi dua bagian. Bagian pertama berbunyi “ambil uangnya, jangan coblos orangnya”. Bagian kedua, yang tidak ada di spanduk, berisi pesan kurang lebih sebagai berikut,  “Uangnya jangan kau pakai sendiri, karena uang itu haram untukmu dan keluargamu. Serahkanlah uang itu untuk pembangunan masjid, pesantren atau berikan kepada fakir miskin, orang jompo dan anak yatim yang membutuhkan.” Pesan ini termuat dalam 13 dari 49 video YouTube yang saya periksa tahun 2019. Bagian kedua dari fatwa ini penting untuk diketahui masyarakat, karena di situ UAS membicarakan penggunaan uang atau sembako yang diterima dari calon politik tadi. Tanpa itu, bisa muncul asumsi bahwa UAS mengizinkan pemilih menggunakan pemberian dari calon politik untuk konsumsi pribadi. Padahal itu, menurut UAS, hukumnya haram.

Baca juga:  Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih

Sebagai ilustrasi, berikut saya nukilkan fatwa UAS soal politik uang. Ini berasal dari ceramah UAS di Mesjid Agung Al-Karomah, Martapura, Kalsel pada 9 Desember 2018. Videonya masih bisa disaksikan di channel YouTube Al Karomah TV dengan judul “Live Tabligh Akbar Bersama Ustadz Abdul Somad”, dari menit 2:02:10 hingga 2:03:34. Dengan kata lain, fatwa lisan ini disampaikan hanya dalam waktu 1 menit 34 detik. Seperti biasanya, UAS membacakan pertanyaan dari jamaah.

“Pak ustadz yang saya cintai, apa hukumnya menerima uang dalam pemilu?”

“Whooo…” jamaah merespon dengan gemuruh.

UAS lalu menyebutkan pertanyaan ini dalam bahasa Arab untuk jamaah yang hanya paham bahasa itu. Kemudian UAS mengulang pertanyaan ini dengan bahasa yang sedikit berbeda.

“Apa hukum ngambil uang sogok?”

UAS lalu membacakan hadis dalam Bahasa Arab tentang laknat Nabi Muhammad terhadap orang yang menyogok dan yang disogok.

Menariknya, UAS lalu menyambung dengan pernyataan berikut:

Ambil uangnya, jangan coblos orangnya!

Jamaah tertawa dengan keras secara bersamaan. Sambil tersenyum, UAS bertanya kepada jamaah: “Setuju?”

Jamaah menjawab serentak: “Setuju!”

UAS meneruskan, “Ambil uangnya, serahkan ke panti jompo, anak yatim, fakir-miskin. Setuju?”

Jamaah menjawab: “Setuju!”

UAS berkata lagi, “Ambil uangnya, jangan coblos orangnya. Setuju!! (dengan suara keras). Serahkan ke anak yatim. Setuju.”  Suaranya pelan dan kepala tertunduk lemas.

Baca juga:  Nahdlatul Ulama Sesudah Ini (Bagian Pertama)

Jamaah tertawa serentak karena memahami joke ini. UAS lalu mengatakan:
“Sekali haram, tetap haram.”

Demikianlah nukilan dari ceramah UAS yang berisi fatwanya tentang politik uang. Cukup jelas bahwa beliau tidak menginginkan penerima politik uang untuk mengonsumsinya sendiri. Namun poin ini tidak termuat dalam spanduk yang menghimbau orang untuk “ambil duitnya, jangan coblos urangnya” dengan tambahan penjelasan bahwa sang ustadz yang akan “menanggung dosanya”.

Untuk pendidikan pemilih, bisa jadi fatwa UAS yang terpotong dalam spanduk itu dianggap cukup menarik. Masyarakat diarahkan untuk tidak memilih calon yang bermain politik uang meskipun tidak dilarang menerima pemberian dari calon itu. Jika nasihat ini diikuti masyarakat, pengguna strategi politik uang akan sangat khawatir. Mungkin ada yang mengurungkan niatnya beli suara.

Namun, untuk kepentingan menjelaskan yang halal dan yang haram, fatwa lengkap UAS harus dimaklumatkan. Dan bukan hanya UAS yang menganggap uang sogok dari calon politik itu haram. Ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, lalu Majelis Ulama Indonesia serta banyak ulama secara perseorangan telah menyampaikan pesan serupa. Artinya, urusan ini lebih besar dari sekedar kualitas pemilu atau upaya mengalahkan pelaku politik uang. Ini urusan dunia-akhirat!

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top