Prof. Dr. KH. Ahmad Syafii Maarif atau lebih akrab di telinga kita dengan Buya Syafii Maarif telah kembali ke Rahmatullah pada Jumah, 27 Mei 2022 kemarin. Ucapan duka dan rasa kehilangan, mengalir deras sebagaimana yang kita saksikan di berbagai media sosial yang berlomba-lomba mengirimkan doa untuk mendiang Buya Syafii Maarif yang sudah “pulang”. Jelas! Bangsa Indonesia telah kehilangan insan cendekiawan Muslim, ulama yang wajib kita hormati dan disegani khazanah keilmuan dan agenda perdamaian bagi bangsa Indonesia.
Buya Syafi’i Ma’arif, selain menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah 1998-2005, beliau adalah seorang intelektual Muslim Indonesia yang mempunyai kiprah dan sepak terjang mentereng dalam diskursus keberagamaan, keilmuan, dan keindonesiaan. Salah satu tonggak sejarah keintelektualan Buya Syafii Maarif adalah saat ia merantau di Negeri Paman Sam, tepatnya di Universitas Chicago.
Seperti yang kita tahu, Buya Syafii Maarif di mata seorang Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) adalah seorang “pendekar dari Chicago”. Perihal itu ditulis Gus Dur dalam esai di Majalah Tempo edisi 27 Maret 1992 yang bertajuk Tiga Pendekar dari Chicago.
Ketiga pendekar yang dimaksud Gus Dur tersebut antara lain: Nurcholish Madjid, Amien Rais, dan Buya Syafii Maarif sendiri. Bagi Gus Dur, Buya Syafii Maarif tidak begitu risau dengan prospek kekhasan Islam sebagai sistem seperti anggapan Amien Rais. Ia lebih dekat kepada pandangan Nurcholish Madjid yang mengutamakan aspek kultural Islam. Tetapi, sebagai “orang organisasi”, ia juga menekankan arti penting upaya memasuki pusat-pusat kekuasaan (power centers).
Dengan memiliki kewenangan pemerintahan, orang-orang gerakan Islam sebagai “budaya bangsa”. Mungkin akan lebih nges kalau pandangan ini disemboyankan sebagai “Islam yes, politik Islam yes”.
Gus Dur menggarisbawahi bahwa, di satu sisi ketiga pendekar Chicago mempunyai perbedaan atas pandangan dan pemikiran yang menjadi “kesatuan” antar ketiganya. Namun, di sisi lain, mereka bertiga sama-sama memiliki komitmen untuk mengembangkan Islam sebagai cara hidup, dalam bentuk sistematik atau “hanya” kultural.
Selain itu, ketiga pendekar dari Chicago itu juga merasakan kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan umat Islam disegala bidang, untuk mengejar ketertinggalan mereka selama ini. Maka, mereka sependapat akan perlunya perubahan mendasar dalam pandangan hidup kaum Muslim, yaitu: etos dan disiplin kerja, serta etika sosial.
Apa yang diungkap Gus Dur di atas tentang ketiga pendekar dari Chicago telah menyiratkan kepada kita bahwa, mereka memiliki agenda dan pemikiran visioner untuk umat Islam dan bangsa Indonesia. Wa bil khusus Buya Syafii Maarif yang menggaungkan ide-ide inklusifnya untuk mencari persenyawaan kreatif dan produktif antara keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan, antara kearifan lokal dan visi global.
Yudi Latif dalam opininya bertajuk Guru Bangsa Berpulang yang termuat di Harian Kompas edisi Sabtu, 28 Mei 2022 menerangkan bahwa agenda pembaruan pemikiran yang visioner dan kecendekiawaan Buya Syafii Maarif dimulainya saat mengenyam studi di Universitas Chicago. Horizon pemikiran baru diperolehnya selama menempuh studi doktoralnya di Universitas Chicago yang disertai dengan keterpautan diri dengan tokoh-tokoh dalam jaringan pembaruan pemikiran Islam menjadi katalis bagi pergeseran corak pemikirannya.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa studi Buya Syafii Maarif di Universitas Chicago yang kemudian Gus Dur menyematkan sebagai seorang “pendekar”. Kiranya, sematan tersebut tiada berlebihan karena sumbangsih dan dedikasinya kepada bangsa Indonesia lewat semesta keintelektualannya.
Lebih lanjut, Yudi Latif menganggap bahwa Buya Syafii Maarif menjadi juru bicara civil Islam. Yaitu, sebuah corak keislaman yang berusaha mengatasi dikotomi antara kesalehan keagamaan dengan kesalehan kewargaan yang memberikan lokus pemikiran-pemikiran segar bagi kader-kader muda Muhammadiyah. Hal itu serupa dengan warisan pemikiran visioner Gus Dur yang diilhami oleh generasi-generasi muda Nahdlatul Ulama.
Sehingga, Buya Syafii Maarif dan Gus Dur yang masing-masing melalui gerbong Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama telah menyuguhkan “air segar”. Yang mana, air segar itu harus kita teguk sepuas-sepuasnya oleh generasi muda untuk kemajuan peradaban bangsa Indonesia lewat gagasan-gagasan dan keilmuannya.
Wahai Buya Syafii Maarif, engkau tidaklah meninggalkan bangsa ini. Tetapi, engkau telah “pulang”. Selamat bersua Gus Dur disana. Silahkan guyon dengannya. Pemikiranmu, buku-bukumu, opini-opinimu tidak akan lekang oleh perubahan zaman dan akan selalu kita buka dan diskusikan. Sugeng tindak Buya. Suwargi langgeng. Alfatihah.