Sedang Membaca
Jawa dan Lika-liku Penerjemah(an)
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Jawa dan Lika-liku Penerjemah(an)

Pada abad XX dan XXI, penerjemah itu profesi memiliki patokan-patokan perlahan mapan. Situasi berbeda untuk abad-abad belakang dengan sekian tokoh, perisitiwa, dan bukti bahwa penerjemah dan penerjemahan dalam “kesamaran” pemahaman. Pekerjaan berkonsekuensi gaji, penghormatan, gengsi, religiositas, etis, dan lain-lain.

Kita mewarisi pengabdian orang-orang dalam membuat jejaring pengetahuan melalui otoritas kebahasaan. Sejarah bergerak dengan bahasa-bahasa menghubungkan pelbagai negari, saling pengaruh iman, ilmu, kebiasaan, dan lain-lain. Perjumpaan berlangsung meski memicu pula konflik-konflik mengaitkan “penerjemahan” dengan dakwah, perdagangan, kolonialisme, dan sebaran pengetahuan baru. 

Kita ingin menilik masalah “penerjemah” dan “penerjemahan” di Jawa, sejak ratusan tahun lalu. “Penerjemahan memungkinkan peredaran dan percampuran pengetahuan ilmiah, teknologi, linguistik, dan sastra dengan mengarungi jarak jauh secara geografis maupun kultural,” penjelasan Ronit Ricci dalam buku berjudul Menerjemahkan Islam: Lintas Bahasa, Budaya, dan Zaman (2017). Ia memberi perhatian besar untuk Jawa. Pada saat meriset bertema menerjemahkan Islam di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Ronit Ricci dihadapkan masalah pelik dalam kasus di Jawa. Beragam istilah digunakan dengan makna-makna berdekatan atau jauh berbeda. 

Pada abad XVIII dan XIX, “penerjemah” memberi keterangan atas hasil kerja adalah njawakaken (men-Jawa-kan atau membuat menjadi Jawa) atas sekian naskah beragam bahasa berasal dari pelbagai negeri.

Pada kasus untuk bahasa Jawa, orang menggunakan sebutan mbasakaken (menjadikan berbahasa Jawa krama). Kerja “penerjemahan” dalam naskah-naskah kesusastraan dan keagamaan memuat pula masalah nembangaken, mengubah bentuk dalam tembang. Pilihan menunaikan misi memberi penjelasan atau arti atas suatu naskah disebut nyarwani atau nyarwakaken. Kekhasan sering dijumpai dalam kasus Jawa adalah orang-orang bekerja dengan sekian bahasa selalu mengawali permintaan maaf di halaman-halaman awal, berlangsung sejak abad IX. Mereka mengaku “bodoh”, “kurang pengetahuan” “kurang luwes dalam bahasa”, dan “sering salah”. Kita menemukan ada etika dan siasat dalam penerjemahan.

Baca juga:  Membaca Islam di Era Post-Truth

Ketekunan dalam penerjemahan naskah-naskah agama mula-mula berbahasa Arab dan kesusastraan beragam bahasa dipengaruhi Islam memungkinkan Jawa terdapat dalam “jaringan kepustakaan dan kosmopolis Arab”. Sejak ratusan tahun silam, bahasa Arab berpengaruh besar dalam perkembangan bahasa Jawa melalui kerja-kerja penerjemahan. Penjelasan itu membantah Raffles dalam The History of Java memberi “ejekan” tak argumentatif: “… bahasa Jawa tak atau sedikit berhutang pada bahasa Arab.” Penjelasan dan pembuktian terapik bisa kita simak dalam buku terbaru Nancy K Florida berjudul Jawa-Islam di Masa Kolonial: Suluk, Santri, dan Pujangga Jawa (2020).

Koleksi naskah di Solo mengesahkan bahwa kesusastraan Jawa terpengaruh Islam, melimpah dari abad ke abad. Penghadiran naskah-naskah kesusastraan piwulang dan keagamaan menjadi bukti pengaruh bahasa Arab bagi para pengarang atau penerjemah di Jawa. Tokoh terpenting sastra Jawa bernafaskan Islam adalah Yasadipura I. Nancy K Florida juga memberi sebutan beragam dalam kerja kesusastraan di Jawa abad XVIII dan XIX. Yasadipura I itu “menggubah”, “menerjemahkan”, dan “menggubah kembali”. 

Kerja penerjemahan membawa perubahan dan percampuran pelbagai hal. Penerjemahan berkaitan iman, seni, ideologi, teknologi, etika, ilmu, dan lain-lain. Masalah bahasa menjadi pokok dalam membawakan atau mengantarkan pengertian-pengertian mungkin mengalami ralat atau tetap.

Di buku berjudul Menginterpretasi untuk Menerjemahkan: Interpreter Pour Traduire (1995), M Lederer menguji: “Menerjemahkan bahasa atau menyampaikan makna? Benar-benar alternatif yang sering dipertanyakan dalam penerjemahan.”

Baca juga:  Meneroka Kejatuhan dan Hati karya S. Rukiah

Masalah itu selalu berulang, dari zaman ke zaman. Penerjemah tak cuma berurusan bahasa asal dan sasaran tapi ia memanggul tumpukan misi. Penerjemahan itu kerja berat, terbukti mengubah sejarah berlangsung di Eropa, Arab, Asia, dan lain-lain.

Di Indonesia, masalah penerjemah dan penerjemahan ditekuni oleh Benny Hoedoro Hoed meski para pembaca mengenali sebagai pakar semiotika. Di buku berjudul Penerjemahan dan Kebudayaan (2006), ia menunjuk pengaruh Arab lekas diketahui dari pilihan istilah. Kata dasar “terjemah” berasal dari bahasa Arab: tarjammah bermakna ihwal pengalihan dari satu bahasa ke bahasa lain. Kita menduga saja asal kata itu sering terlupa setelah kita sering mengacu bahasa Inggris. Terjemahan lazim mengingatkan translation. Masalah-masalah mendasar dan sampingan dalam penerjemahan memastikan terjadi pula pengalihan, percampuran, atau konflik kebudayaan. 

Pada abad XXI, kita semakin memiliki pergaulan terbuka dengan penguasaan beragam bahasa. Penerjemahan menjadi misi “mutlak” dan kolosal. Terjemahan itu kelumrahan. Kita justru gampang melupa bahwa babak-babak sejarah terjemahan itu ruwet dan masih bergelimang masalah-masalah pelik.

Di Jawa, penerjemahan itu memiliki jalan panjang tak semua diketahui atau terbaca secara terang pada masa sekarang. Hasil studi Ronit Ricci dan Nacy K Florida mengesankan pergulatan terjemahan di Jawa melibatkan pihak-pihak adu kepentingan: pemerintah kolonial, filolog Eropa, pendakwah, kaum bangsawan, santri, penerbit, dan lain-lain. Kita lama terlena dengan warisan-warisan sastra (berbahasa) Jawa tapi mudah meluputkan penasaran dan kemauan mengerti episode terjemahan mengandung segala konsekuensi masih terasakan sampai abad XXI. 

Baca juga:  Sabilus Salikin (9): Lafal Dzikir yang Paling Utama

Di buku berjudul Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia dengan editor Henri Chambert-Loir (2009) kita semakin mengerti bahwa terjemahan itu sangat pelik, sejak ratusan tahun lalu. Di Jawa, kerja penerjemahan tercatat mula-mula dari keraton mengartikan maksud raja bermisi kekuasaan dan agama. Pada masa lalu, penerjemah itu sosok terhormat dengan beban-beban berat. Ritual dan kepekaaan diperlukan untuk menunaikan perintah penerjemahan ke bahasa Jawa. Pada masa berbeda, penerjemahan dilakukan oleh pelbagai pihak, tak cuma keraton atas titah raja. Masa demi masa berlalu, catatan-catatan atas kerja-kerja penerjemahan pada masa lalu tak terjamin bisa terbaca (utuh), setelah pencanggihan-pecanggihan terjemahan pada abad XXI. Terjemahan itu ilmu terhormat dan terpenting, dipelajari di universitas-universitas dan memberi kejutan-kejutan atas jejaring kepustakaan dan hubungan pelbagai negara. Begitu.  

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top