Sedang Membaca
Jihad Santri di Era Banjir Informasi
Khairul Anwar
Penulis Kolom

(Tim Media Ansor Kota Santri, Alumni Pascasarjana UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan)

Jihad Santri di Era Banjir Informasi

Whatsapp Image 2023 08 19 At 12.04.28

“Jika dulu para kiai berjihad mengorbankan darah dan air mata melawan penjajah dan mempertahankan kemerdekaan menggunakan bambu runcing, maka sudah saatnya sekarang, santri berjihad meramaikan media sosial dengan konten-konten agama berkualitas, bermanfaat, santun, dan menyejukkan.”

Kalimat inspiratif penuh makna tersebut saya temukan dalam buku Literasi Digital Santri Milenial karya Abdullah Hamid.

Tak dapat dimungkiri memang, bahwa kita saat ini hidup di era digital. Era digital merupakan buah dari pesatnya perkembangan teknologi yang semakin canggih. Kalau kata Nasida Ria, kita hidup di zaman dimana tidur ditemani mesin, kerja serba mesin, dan makan minum dilayani mesin.

Derasnya kemajuan zaman telah mewarnai sendi kehidupan manusia. Kita tak bisa mengelak, apalagi menghindar. Mau tak mau kita harus bersentuhan dengan teknologi dalam keseharian. Kita mau makan, cukup andalkan benda kotak yang ada digenggaman kita. Hubungi abang GoFood maka makanan dalam hitungan menit sudah sampai rumah kita.

Begitulah, transformasi zaman yang diiringi kecanggihan teknologi.

Makin pesatnya dunia digital, telah dibuktikan dengan hadirnya berbagai platform media sosial maupun media online yang saban tahun, makin menjamur. Mulai dari facebook, twitter, instagram, hingga portal media online. Sebuah media yang hanya bisa diakses jika kita punya jaringan internet.

Berdasarkan informasi yang saya ketahui, pengguna internet di Indonesia pada 2023 mencapai 215 Juta Jiwa.  Dari data tersebut, artinya sekitar 78,19% penduduk Indonesia dari total populasi 275,77 juta jiwa adalah pengguna Internet. Nah, yang paling banyak diakses oleh pengguna internet adalah media sosial.

Salah satu pengguna media sosial adalah kalangan santri. Santri menurut KH. Mustofa Bisri, bukan hanya yang mondok saja, tapi siapa pun yang berakhlak seperti santri, dialah santri. Artinya, meski seseorang tidak menempuh pendidikan di pesantren, tetapi selama ia punya akhlak yang baik, maka ia bisa disebut santri.

Baca juga:  Al-Ghazali Menjawab Pertanyaan Seputar Ketuhanan: Benteng Akidah Orang Awam

Sama seperti manusia pada umumnya, santri yang bernafas di era digital, punya ruang gerak lebih luas. Dengan memiliki media sosial, santri bisa melakukan apa saja, termasuk berkomunikasi, berdakwah, berjualan, nyetatus, ngonten, dan lain-lain.

Memang benar, adanya medsos membuat segala aktivitas kita yang tadinya ribet, susah, menjadi lebih mudah, efektif, dan efisien. Apa-apa serba online, pokoknya. Di medsos lah, kita bisa mengaktualisasikan diri, membranding diri, dan lain sebagainya.  Medsos juga lah yang menjadi sarana ampuh untuk menyebarluaskan segala informasi. Santri era digital kini berjihad lewat medsos.

Santri zaman now, tidak lagi berjihad dengan membawa bambu runcing, menembakkan peluru ketapel, atau mengacungkan celurit. Itu dulu. Ketika para ulama dan santri bersatu padu mengusir penjajah dari negeri ini.

Zaman kekinian, eranya banjir informasi, santri punya tugas baru. Yakni berdakwah di ruang digital. Dakwah santri di ruang digital bisa dilakukan melalui saluran Youtube, media sosial Facebook, instagram, twitter atau melalui tulisan-tulisan yang disebar ke media online, sebut saja nu online, alif.id, islami.co, pesantren.id, dan lain sebagainya.

Di ruang digital, santri, baik yang mondok atau tidak, harus menjadi pribadi yang aktif. Maksudnya, santri jangan hanya menjadi konsumen atau penikmat konten orang lain, tetapi harus tampil juga sebagai produsen. Di media sosial facebook, misalnya, santri perlu memberi pemahaman kepada khalayak luas tentang ilmu yang dipelajarinya di pesantren. Apa yang disampaikan oleh Kiainya, perlu ditulis ulang di dunia maya. Itu penting. Supaya masyarakat awam tercerahkan dengan konten tersebut.

Baca juga:  Kitab Tafsir Terbitan Muhammadiyah di Kantor NU

Santri harus aktif mengisi ruang digital, entah di media sosial, atau media online. Produksi konten-konten positif, misalnya tentang Islam Rahmatan Lil Alamin, Islam Nusantara, Aswaja, dan berbagai keilmuan lainnya yang bermanfaat untuk masyarakat luas.

Dalam buku Literasi Digital Santri Milenial dijabarkan bahwa bentuk kontennya tidak melulu lewat tulisan, tetapi bisa berupa video, pamflet, atau podcast. Santri perlu mengidentifikasi dirinya sendiri terkait kelebihan yang ia miliki. Apakah ia seseorang yang expert di dunia menulis, editing video, podcast, atau desain grafis. Menebar kebaikan dengan skill yang dimilikinya.

Lalu pertanyaannya, kenapa santri perlu berdakwah di dunia maya? Menurut Gus Hamid, karena santri mempunyai sanad keilmuan yang tersambung (muttasil) sampai ke Rasulullah saw, sehingga kualitas keilmuannya otoritatif (diakui kealimannya).

Sekarang ini kalau kita senang berselancar di dunia maya, maka kita akan menemukan banyak sekali ulama-ulama NU khususnya yang berdakwah melalui media sosial pribadinya atau media sosial milik lembaga/organisasi. Sebut saja Gus Mus, Gus Baha, Gus Kautsar, Ning Imaz, hingga yang sedang naik daun saat ini Gus Iqdam.

Nah, penting sekali bagi seorang santri dalam menggunakan perangkat elektronik (hape atau laptop) untuk menyebarluaskan pengetahuan Islam ramah, Islam yang toleran,atau Islam yang menyejukkan. Gunakan perangkat elektronik tersebut sebaik mungkin, jangan dipakai hanya untuk scroll status orang lain doang. Akan menjadi lebih bermanfaat ketika bisa digunakan untuk menyebarluaskan pengetahuan agama atau ilmu umum yang mencerahkan.

Baca juga:  Sabilus Salikin (25): Islam, Iman, dan Ihsan

Segala keilmuan atau apa-apa yang akan dishare oleh santri di dunia maya, tentu saja tidak boleh sembarangan atau asal posting. Misalnya, ketika santri ingin membagikan sebuah informasi yang ia dapat di grup whatsApp, maka ia perlu menelaah terlebih dulu berkaitan dengan kebenaran informasi tersebut. Jangan sampai seorang santri menjadi penyebar hoaks.

Santri harus bisa membedakan mana berita atau informasi hoaks dan mana berita yang benar. Bagaimana caranya? Lakukan tabayyun. Tabayyun (konfirmasi), disebut juga sebagai cek dan ricek. Ketika berita tersebut sudah kita cek dan ricek, kita konfirmasi kebenarannya, maka tanpa pikir panjang bisa kita bagikan.

Namun sebaliknya, apabila berita itu tidak bisa kita pastikan kebenarannya, maka, ya, jangan disebar. Nanti malah dapat menimbulkan “kekacauan”. Intinya, tabayyun merupakan salah satu kunci para santri dalam menghadapi derasnya banjir informasi, yang setiap hari pasti kita dapati.

Akhir kata, kita, yang katanya santri, sudah semestinya berbuat yang terbaik kepada teman-teman kita, orang lain, guru kita, orang tua kita, dan siapa pun manusia di muka bumi ini, dengan cara berjihad di ruang digital. Caranya dengan membumbui media sosial yang kita miliki dengan konten-konten yang maslahah. Dunia digital adalah ruang yang bisa kita jadikan jembatan untuk meraih pahalanya Allah swt. Wallahu’alam bissawab.

Judul Buku: Literasi Digital Santri Milenial

Penulis: Dr. Abdulloh Hamid, M.Pd

Penerbit: PT Elex Media Computindo

Jumlah hlm: 194 halaman

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top