Dalam mukadimah kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, dan al-Tanbihat al-Wajibat, Gus Ishom, sang mentahqiq kitab karya Hadratus Syaikh M. Hasyim Asy’ari, menyebut bahwa sepulang dari tanah Hijaz, kakeknya ini tidak hanya berkecimpung dalam bidang dakwah dan pendidikan saja, namun beliau juga terjun dalam bidang “al-harakat al-ijtima’iyah” (pergerakan sosial kemasyarakatan). Tak heran jika sejumlah ulama lantas menyebut Hadratus Syaikh sebagai ulama yang aktivis.
Hal ini dapat dilihat dari pemikirannya yang tertuang dalam sejumlah karya tulisnya yang fenomenal. Kitab Irsyadus Sari memuat setidaknya 23 karya tulis Hadratus Syaikh M. Hasyim Asy’ari, dengan catatan kitab al-Tibyan yang memuat empat kitab di dalamnya (Muqaddimah al-Qanun al-Asasi, Risalah fi ta’kid al-akhdz bi madzahib al-a’immah al-arba’ah, Al-Mawa’idz dan Al-Arba’ina Haditsan) dihitung satu kitab. Karena Gus Ishom di dalam Irsyadus Sari juga menyertakan keempat kitab tersebut dalam al-Tibyan. Namun jika kita hitung secara terpisah, maka terdapat 27 karya tulis Hadratussyaikh di kitab Irsyadus Sari.
Jika dipetakan ke dalam beberapa fan kelilmuan, kitab-kitab yang ditulis Rais Akbar NU yang termuat dalam Irsyadus Sari itu memiliki tipologi keilmuan yang beragam. Mulai dari aqidah, fiqih, tasawuf dan adab, yang tertulis dalam empat format, yaitu kitab, risalah, terjemah dan naskah pidato.
Di luar itu, ada beberapa karya Hadratus Syaikh yang belum termuat, antara lain kitab Kaff al-‘Awam ‘an al-Haudl fi Syarikah al-Islam, Hasyiyah ‘ala Fath al-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari dan al-Qala’id fi Bayan Ma Yajib min al-‘Aqaid. Dua kitab terakhir ini sebenarnya telah disebutkan di mukadimah kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, dan al-Tanbihat al-Wajibat oleh Gus Ishom. Namun hingga saat ini, kedua kitab tersebut masih belum diketahui keberadaannya. Selain itu ada beberapa risalah kecil, seperti Risalah fi Arba’ Nashihat.
Dilihat dari faktor dan motif penulisannya, kebanyakan kitab karya Mbah Hasyim memang ditulis sebagai respon atas kondisi sosial yang melingkupinya. Kitab-kitab yang ditulis tidak lepas dari fenomena sosial yang melatarbelakanginya, di saat agama dipahami dan dipraktikkan secara salah. Kitab-kitab tersebut ditulis dengan latar sosial antara tahun 1913 hingga 1947 M.
Kitab yang pertama ditulis Hadratus Syaikh adalah Kaff al-‘Awam ‘an al-Haudl fi Syarikah al-Islam (1913 M), sedangkan yang terakhir adalah Ihya’ ‘Amal al-Fudlala’, yaitu naskah pidato beliau dalam pembukaan muktamar ke-17 di Madiun, Jawa Timur.
Kebanyakan karya tulis Hadratus Syaikh merupakan respon terhadap paham Wahabiyah yang digaungkan oleh Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan ekses modernisasi yang melahirkan paham “an laa Madzhabiyyah” (paham tanpa mazhab) yang digaungkan oleh Syaikh Muhammad Abduh.
Selain dua itu faktor itu, yang melatarbelakangi penulisan Hadratus Syaikh antara lain karena ada penyimpangan praktik keagamaan, atau sebagai landasan filosofis dan sikap sosial NU ataupun sebagai tuntunan keagamaan. Paling tidak ada tiga belas kitab yang ditulis dengan tujuan sebagai tuntunan keagamaan. Sebagian besar kitab ini tidak ditulis tanpa menyebutkan latarbelakang penulisan serta penanggalan kapan kitab ini selesai ditulis.
Tiga belas kitab tersebut antara lain: al-Nur al-Mubin, Muqaddimah al-Qanun al-Asasi, al-Arba’ina Haditsan, Risalah Tauhidiyyah, Risalah ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Dlau’ al-Misbah, al-Manasik al-Sughra, Risalah fi Jawaz al-Taqlid, Jamiah al-Maqashid, Risalah fi al-‘Aqaid, Risalah fi al-tashawwuf, Risalah fi al-Masajid, Risalah fi Arba’ Nashihat.
Dari sejumlah kitab hadratus Syaikh yang ditemukan, ada sekitar sepuluh kitab memiliki “sabab al-wurud” sebagai motif penulisannya. Beberapa kitab tersebut antara lain:
1. Kaff al-‘Awam ‘an al-Haudl fi Syarikah al-Islam. Kitab ini diselesaikan malam kamis, 18 Ramadlan 1331/21 Agustus 1913. Hadratus Syaikh menulis kitab ini sebagai respon atas organisasi Sarekat Islam. Kitab ini mendapat sanggahan dari gurunya, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi dalam kitabnya yang berjudul Tanbih al-Anam fi al-Radd ‘ala Risalah Kaff al-‘Awam ‘an al-Haudl fi Syarikah al-Islam.
2. Al-Jasus fi Bayani Hukmi al-Naqus yang selesai ditulis malam senin, 7 Rabi’ul awal 1335/1 Januari 1917. Kitab ini lahir sebagai respon atas temuan saat Hadratus Syaikh mengantarkan istrinya, Nyai Masrurah berobat ke sebuah Rumah Sakit, lantas beliau menjumpai gereja yang menggunakan kentongan sebagai bagian dari ritual peribadatannya, kasus di daerah Sumobito Jombang. Kitab ini mendapat sanggahan dari KH. Faqih Abdul Jabbar Maskumambang dalam kitabnya Hazzur Ru’us fi Radd Jasus ‘an tahrim Naqus.
3. Adab al-Alim wa al-Muta’allim yang selesai pada hari Ahad, 22 Jumadil Tsaniyah 1343/17 Januari 1925. Kitab ini berisi keutamaan ilmu dan adab seorang murid dan guru dalam belajar-mengajar. Dikarang sebagai jawaban atas kebutuhan murid untuk memahami adab sementara mereka sering kesulitan dalam mengkajinya.
4. Ziyadah al-Ta’liqat yang selesai malam Sabtu, Jumadil ula, 1352/ September 1933. Kitab ini berisi tanggapan Hadratussyaikh atas syair KH. Abdullah bin Yasin yang berisi tentang tuduhan bahwa NU telah menyimpang dari syari’at Islam, dengan mengutip penggalan surat al-Nisa’ ayat 105. Kitab ini juga mengutip fatwa para kiai NU atas kasus yang sama, yang dimuat dalam majalah Suara Nahdlatul Ulama
5. Al-Tanbihat Al-Wajibat yang ditulis hari Ahad, 14 Rabiul Tsani 1355/4 Juli 1936. Kitab ini menanggapi perayaan maulid di suatu pesantren di Kediri dekat Madiun yang merayakan maulid dengan hal-hal mungkarat, seperti berkumpulnya muslim dan muslimah dalam satu lokasi.
6. Tamyiz Al-Haq min al-Bathil, selesai ditulis pada bulan Jumadi Tsaniyah 1359/Juli 1940. Kitab ini merespon pemahaman agama yang melenceng dari syari’at oleh seorang Kiai di dusun Sukowangi, Karangtengah, Kandangan, Kediri setelah Hadratussyaikh mengutus dua muridnya, Kiai Makki dan Kiai Yusuf.
7. Al-Durar al-Muntasyirah fi al-Masail al-Tis’a al-‘Asyara yang diselesaikan pada hari Rabu, 9 Sya’ban 1359/11 September 1940. Kitab ini agaknya ditulis Hadratussyaikh M. Hasyim Asy’ari sebagai kelanjutan dari kitab Tamyiz al-Haq min al-Bathil.
8. Al-Tibyan, ditulis pada hari Senin, 20 Syawal 1360/senin 10 November 1941. Sebagai respon terhadap seorang kiai yang berkhalwat di dalam kamarnya dan meninggalkan interaksi sosial, sehingga disangka sebagai wali yang keramat.
9. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzahib al-A’immah al-Arba’ah. Kitab yang tidak terdapat keterangan tanggal penulisan ini berisi penekanan akan pentingnya menganut salah satu dari empat madzhab dan mengikuti pendapat jumhur ulama bagi orang awam. Kitab ini ditulis sebagai counter analysis atas pendapat Ibn Hazm tentang haramnya taqlid dan metodologi istinbat hukum dalam Islam.
10. Al-Mawa’idz, berisi seruan kepada ulama untuk bertqwa, kembali kepada al-Qur’an, mengamalkan hadis, dan meneladani para ulama salafus shalih. Motif kitab ini ditulis adalah perpecahan yang terjadi di kalangan ulama dan umat Islam Indonesia yang disulut oleh Pemerintah Hindia Belanda terkait undang-undang perkawinan dan lembaga peradilan.
Selain kitab-kitab yang telah disebutkan di atas, Irsyadus Sari juga memuat dua naskah pidato Hadratussyaikh, yaitu pertama, Al-Inhadl, naskah pidato pada pembukaan Muktamar ke-14 di Magelang pada tanggal 14 Jumadil Ula 1358/2 Juli 1939. Naskah pidato ini berisi respon sosial yang terjadi kala itu, meliputi sikap NU kepada pemerintah, seruan qunut nazilah, solidaritas kepada rakyat Palestina, dan sikap kepada penghina Nabi Muhammad Saw. Kedua, Ihya’ ‘Amal al-Fudlala’, naskah pidato pembukaan muktamar ke-17 di Madiun. Naskah ini secara umum berisi kritik sosial dan sikap politik NU terhadap pemerintah kala itu.
Dari karya-karya Hadtratussyaikh yang lahir dari fenomena keagamaan umat Islam Indonesia kala itu, cukuplah kita simpulkan bahwa Hadratussyaikh memang seorang ulama yang aktifis. Ulama yang memerankan fungsinya sebagai pengontrol sosial kemasyarakatan dan keagamaan. Bukan seorang ulama ansich yang hanya bergumul dengan kitab, madrasah, masjid dan murid-murid yang mengaguminya. Apa yang telah ditempuh oleh Hadratussyaikh dalam sejarah perjuangannya, sebenarnya merupakan sebuah penerapan konkret atas idealismenya sebagai seorang ulama, yang termanifestasikan dalam pernyataannya di kitab al-Tanbihat al-Wajibat, yaitu:
ويحرم على العالم أن يسكت عنه لأنه يوقع العوام في اعتقاد أمر على مخالفة الشرع
Artinya: Haram bagi orang alim membiarkan (perkara yang bercampur dengan kemungkaran), karena bisa menyebabkan orang awam meyakini perkara yang tidak sesuai dengan syara’. Allahu a’lam