Sedang Membaca
Gus Dur dan Gusmao Merekatkan Indonesia-Timor Leste
Munawir Aziz
Penulis Kolom

Kolumnis dan Peneliti, meriset kajian Tionghoa Nusantara dan Antisemitisme di Asia Tenggara. Kini sedang belajar bahasa Ibrani untuk studi lanjutan. Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom.

Gus Dur dan Gusmao Merekatkan Indonesia-Timor Leste

Apa yang dilakukan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika pertama kali kunjungan ke Timor Leste, pada masa awal kepemimpinannya sebagai presiden Indonesia?

Naiknya Gus Dur sebagai presiden Republik Indonesia, di tengah prahara dan turbulensi politik yang luar biasa. Gus Dur hadir di tengah pusaran konflik sosial yang rumit, ekonomi sedang ambruk, dan kesatuan-persatuan negara yang terancam.

Masa awal reformasi, menjadi titik ujian yang nyata bagi bangsa Indonesia. Pun bagi Gus Dur, yang saat itu terpilih sebagai Presiden, selepas kepemimpinan BJ Habibie. Gus Dur dilantik menjadi presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 1999, yang didampingi Megawati Soekarnoputri sebagai wakilnya. Gus Dur memegang tampuk kepemimpinan negara Indonesia, pada masa kritis awal reformasi, yang ditandai dengan keinginan warga Indonesia untuk memutus mata rantai politik Orde Baru tinggalan Jenderal Soeharto.

Ketika Gus Dur menjabat sebagai presiden, tepat pada saat itulah konflik-konflik memanas di berbagai kawasan Indonesia. Tragedi Mei 1998 masih menyisakan konflik panjang dan trauma, terutama bagi kelompok minoritas. Orang-orang Tionghoa banyak yang menyelamatkan diri ke Australia, Singapura dan Amerika Serikat, karena situasi tanah air yang tidak aman, kebencian berbasis etnis begitu menggelora.

Di sisi lain, Gus Dur juga menghadapi dilema pada posisi yang sulit, ketika menghadapi kenyataan Timor Leste lepas dari Indonesia. Memang, melalui sejarah panjangnya, kita bisa memperdebatkan bagaimana Timor Leste, yang pada masa Orde Baru dikenal sebagai Timor Timur, pada proses bergabungnya dengan Negara Indonesia.

Operasi-operasi intelijen dan militer sejak 1975 hingga 1998, tentu saja menjadikan kawasan Timor Leste sebagai medan operasi bagi angkatan bersenjata Indonesia. Beragam operasi militer dan intelijen, dari Ali Moertopo, Benny Moerdani, Wiranto, hingga Prabowo Subianto, pernah terlibat dalam operasi militer di Timor Leste.

Baca juga:  Antara Taubat, Hijrah, dan Egoisme

Di antara operasi militer itu, yakni operasi militer Seroja pada 7 Desember 1975. Operasi ini, diselenggarakan oleh militer atas perintah penguasa Orde Baru, untuk menduduki kawasan Timor Leste. Operasi ini menggulingkan pemerintahan Fretilin, yang dipimpin Xanana Gusmao.

Selanjutnya, tragedi Santa Cruz pada 12 November 1991 juga meninggalkan luka mendalam bagi orang-orang Timor Leste. Ketika itu, tentara Indonesia membantai para demonstran dengan senapan mesin, di kawasan pemakaman Santa Cruz, Dili. Sekitar 250 orang tewas, dalam tragedi berdarah ini.

Orang-orang di sisi timur Nusa Tenggara Timur ini, merasakan beragam kondisi politik-kekuasaan, mulai dari Hindia Belanda, Portugal, hingga era Orde Baru. Ribuan nyawa menjadi pertaruhan dari proses panjang membentuk identitasnya, mencari formula terbaiknya sebagai sebuah negara-bangsa.

Hingga kemudian, melalui proses referendum pada 30 Agustus 1999, warga Timor Leste menginginkan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara resmi, Timor Leste merdeka sebagai bangsa-negara, pada 20 Mei 2002.

Lalu, apa yang dilakukan Gus Dur ketika pertama kali mengunjungi Timor Leste? Gus Dur mengajak semua pihak, dari elite pemimpin hingga rakyat di kawasan itu, untuk rekonsiliasi. Mereka yang ingin meneruskan sekolah di Indonesia dipersilakan memasuki sekolah serta perguruan tinggi, dengan dukungan beasiswa.

Dalam sebuah acara di depan markas besar UNTAET (United Nation Transitional Administration in East Timor), di bekas Kantor Gubernur Timor Timur, Gus Dur bertemu dengan Presiden CNRT Xanana Gusmao didampingi Administrator Transisi Sergio Vieira de Mello. Gus Dur juga berceramah di hadapan 4000 warga Timor Leste yang ingin mendengar misi presiden Indonesia, yang merasa seperti di rumah sendiri.

Baca juga:  Menanti Benturan Berikutnya antara Negara dan Umat Islam dengan Ikhwanul Muslimin

“Timor Timur dan Indonesia tidak dapat dipisahkan, satu sama lain. Jika Anda berada dalam tekanan, kami juga berada dalam tekanan. Terima kasih kepada Tuhan atas kesulitan dan penderitaan masa lalu, sekarang semuanya telah berlalu,” ucap Gus Dur, sebagaimana terarsip dalam media Tais Timor (13 Maret 2000). Tais Timor merupakan media yang dikelola oleh UNTAET.

“Silahkan kembali ke Indonesia, kalian tidak perlu takut. Bahkan mereka yang tidak belajar di Indonesiapun disambut kedatangannya,” ajak Gus Dur.

“Saya mau meminta maaf atas semua kejadian yang terjadi di masa lalu. Kepada para korban dan keluarga korban insiden Santa Cruz dan teman-teman yang dikuburkan dalam kuburan militer. Keduanya adalah korban dari kejadian yang kita sama-sama tidak inginkan,” ungkap Gus Dur.

Di antara rumusan pertemuan Gus Dur dengan petinggi Xanana Gusmao, yakni (1) menguatkan hubungan bilateral antara Indonesia dengan Timor Leste. Yakni, saling mengirim wakil/mendirikan kantor penghubung di Dili, Jakarta dan Kupang, Timor Leste. (2) Sepakat untuk mengadakan pembahasan guna menyelesaikan masalah-masalah yang muncul setelah penyerahan kekuasaan di Timor Timur kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk pengembalian barang-barang museum dan hak milik pribadi, status pengungsi dan pensiunan bagi orang Timor Timur yang dulu menjadi pegawai negeri sipil.

Kemudian, (3) memberikan kesempatan belajar dan beasiswa, kepada para mahasiswa Timor Timur untuk belajar di lembaga-lembaga sekolah tinggi. (4), menghendaki adanya hubungan ekonomi, perdagangan, penanaman modal, sosio-kultural dan kerjasama yang sah. (5), mempromosikan pemerintahan yang demokratik, menghormati hak asasi manusia, dan kebebasan-kebebasan dasar di Timor-Timur dan Indonesia.
Selanjutnya, (6), memberikan garis batas kekuasaan di wilayah Timor Timur (7) memberikan akses keuangan dan hubungan perdagangan serta penanaman modal, (8), memperbaiki jalur transportasi udara, darat, dan laut, serta telekomunikasi dan pos. (9), merencanakan pencapaian tingkat saling percaya, tentang pemberian bantuan hukum, peradilan dan masalah hak asasi manusia.
Serta, (10), membentuk sebuah Komisi Bersama antara UNTAET-Indonesia, dengan beberapa sub-komisi yang berhubungan dengan bisnis, lingkungan, perdagangan, kesehatan, budaya, pendidikan dan hak asasi.
Hubungan yang harmonis dengan Indonesia, dirasakan betul oleh mantan Perdana Menteri dan Presiden Timor Leste, Ramos Horta. Hubungan antar negara yang baik ini, dimulai sejak Indonesia dipimpin oleh presiden Abdurrahman Wahid.
“Indonesia berbesar hati menerima negara yang memutuskan untuk memisahkan diri dari RI. Ini merupakan contoh kedewasaan. Tidak banyak negara yang dapat menunjukkan kedewasaan secamam ini,” ungkap Horta, sebagaimana dilansir CNNIndonesia (20 Juli 2015).
“Ribuan polisi kami dilatih di Indonesia. Perusahaan Indonesia, seperti Telkomsel, Bank Mandiri, Garuda, Sriwijaya Airlines, sangat berkembang di negeri kami, dengan penerbangan dari dan ke Indonesia ada setiap hari,” jelas Horta.
Gus Dur membangun landasan hubungan bilateral yang harmonis antara Indonesia dan Timor Leste. Melalui diplomasi kemanusiaan, Gus Dur mengobati luka lama seraya menjemput masa depan dengan perdamaian. Ini warisan kebijakan yang sangat berharga.[].

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top