Sedang Membaca
Mendaras “Pada Sebuah Kapal” Karya Nh. Dini
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Mendaras “Pada Sebuah Kapal” Karya Nh. Dini

“Buku adalah anak rohani bagi pengarangnya”, ujar sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta Toer. Kalimat azimat Pram inilah yang berkelebat dalam benak saya pasca-mengetahui berita kematian Nh. Dini (82 tahun) pada Selasa, 4 Desember 2018.

Dengan membaca karya-karyanya, kita dapat mempelajari dan merefleksikan (secara terus-menerus), serta mengarifi kontribusi intelektual Nh. Dini terhadap perkembangan kesusastraan modern Indonesia. Nah, dalam tulisan ini, saya hanya akan menganggit salah satu novel karya perempuan kelahiran Semarang pada 29 Februari 1936 ini: Pada Sebuah Kapal (Pustaka Jaya, 1973).

Dalam novel Pada Sebuah Kapal, Nh. Dini menulis tentang perempuan Jawa yang melakukan kontak langsung dengan dunia Barat (Eropa), berhubungan dengan pria Eropa, dan menghabiskan waktu dalam masyarakat Barat.

Pada Sebuah Kapal terdiri dari dua bagian, “Penari” dan “Pelaut”. Di bagian pertama, Sri, seorang perempuan Jawa, menjadi narator tokoh; di bagian kedua, Michel, seorang warga negara Prancis, mengambil alih peran itu.

Dalam “Penari”, sejumlah peristiwa dalam kehidupan Sri disajikan secara kronologis mulai dari saat ia berusia tiga belas tahun sampai berumur tiga puluh tahun. Masa kecilnya di Semarang dan tahun-tahun ia hidup dan bekerja di Jakarta dikisahkan secara bertahap.

Dalam jangka waktu singkat selama delapan belas bulan Sri bertemu Saputro dan Charles. Sebuah hubungan percintaan berkembang antara Sri dan Saputro. Yakin akan cinta masing-masing pihak, mereka bersenggama sebelum menikah. Persis sebelum pernikahan mereka, Saputro mati dalam sebuah kecelakaan.

Ada elipsis (peniadaan cerita) selama sepuluh bulan sesudah peristiwa ini, dan kemudian Sri menikah dengan Charles Vincent. Karena elipsis ini, motivasi Sri menikahi Charles Vincent tetap menjadi misteri bagi kita. Walaupun begitu, kenyataan bahwa pernikahan itu adalah sebuah kegagalan segera tampak jelas; setelah tiga bulan berlalu, Sri mengatakan bahwa ia telah melakukan kesalahan besar.

Tiga tahun masa perkawinan, saat Sri, Charles, beserta anak perempuan mereka tinggal di Jepang, digambarkan secara singkat. Setelah itu, perjalanan kapal yang penting selama tiga minggu dari Saigon ke Marseilles dikisahkan dengan sangat rinci.

Sri bertemu dengan Michel selama perjalanan itu, jatuh cinta dengannya, dan berselingkuh. Pikiran Sri tentang hubungan barunya beserta dengan segala implikasi yang dibawanya menyita banyak tempat dalam narasi. Sembilan bulan usai perjalanan kapal itu, kita diberitahu bahwa perkawinan Sri tetap seperti sediakala, dan bahwa Sri dan Michel bertemu dua kali lagi di Jepang.

Bagian “Pelaut” dibuka pada satu titik yang sudah diceritakan dalam “Penari”–yakni perjalanan kapal dari Saigon ke Marseilles. Peristiwa-peristiwanya tidak dikisahkan secara kronologis melainkan diselang-selingi kilas balik ihwal masa lalu Michel.

“Pelaut” berhenti lebih kemudian dalam fabula tinimbang “Penari”, dengan kabar dari Sri kepada Michel bahwa ia, suami dan anaknya akan pindah ke Paris. Novel itu berakhir di sini, dengan menyisakan kemungkinan bahwa Sri dan Michel akan meneruskan hubungan di luar nikah mereka.

Sri adalah figur sentral dalam bagian I. Ia adalah sang narator, dan yang ditampilkan ialah pandangannya terhadap berbagai peristiwa. Tokoh-tokoh lain ditampilkan hanya melalui persepsinya.

Baca juga:  Siapa Sastrawan Perempuan Setelah Nh. Dini?

Seperti yang telah dijelaskan, Sri berasal dari sebuah keluarga Jawa. Ia pindah dari Semarang ke Jakarta dan kemudian meninggalkan Indonesia untuk hidup di luar negeri (Jepang, Prancis). Ia mempraktikkan tarian tradisional Jawa dan Bali, serta dari situ ia banyak memperoleh identitas keindonesiaannya, yang merupakan bagian dari identitas pribadinya.

Suaminya, Charles, tidak menghargai bakat Sri sebagai penari dan tidak memberikannya dukungan. Sri harus menyerahkan sebagian identitasnya karena pernikahan dan sikap Charles. Saat meninggalkan lingkungannya yang ia kenal di Indonesia, Sri harus menyesuaikan diri dengan gaya hidup yang baru. Masalah ini masih disertai dengan perasaan teralienasi. Selain itu, Sri juga tidak mampu memperoleh keseimbangan emosional dalam pernikahannya, sehingga ia semakin merasa terkucil.

Sebagai seorang narator, Sri memberi ulasan pribadi mengenai pernikahannya. Karena ia adalah fokalisatornya, maka kita hanya menerima pandangan yang sepihak mengenai Charles. Charles digambarkan sebagai pihak yang bersalah atas kegagalan pernikahannya, sedangkan Sri adalah korban. Sri dengan cepat meniadakan kehadiran Charles. Baginya, Charles adalah lelaki kasar yang sama sekali tidak dapat memafhumi posisinya, serta mengerti perasaan-perasaannya.

Dengan mempertahankan penilaian priyayi terhadap orang lain, Sri menganggap sikap halus sebagai norma yang positif baik bagi laki-laki maupun perempuan. Ia menganggap dirinya halus. Sikap acuh tak acuh menutup perasaan Sri yang sebenarnya penuh kejijikan terhadap Charles:

Pada saat-saat berdua, dia lebih tampak kelembutannya dan mulai membicarakan bayi yang akan segera lahir. Aku tidak memperhatikannya. Kalau bayi itu lahir biarlah dia berbuat sekehendak hatinya. …Dengan berhati-hati aku memalingkan mukaku untuk tidak melihat kemarahannya, dan kuusap perlahan perutku untuk melembutkan perasaan muak dan benciku kepada bapak anak yang kukandung (155-156).

Penilaian Sri terhadap Charles seluruhnya bersifat negatif, dan ia tidak menunjukkan keinginan sedikit pun untuk memperlunak pandangannya. Standar penilaiannya terhadap orang lain sangat gabir, dan sepertinya penilaian tersebut tidak bakal berubah.

Akan tetapi, kedua kekasihnya, Saputro dan Michel, benar-benar dinilai positif. Karena metode penyajian yang sepihak dan betubi-tubi ini, kita cenderung akan memihak memihak Sri. Bernas bahwa Sri tidak menyamakan Timur dengan halus dan Barat dengan kasar, sebagaimana yang sering dilakukan sebagai warisan masa kolonial.

Peran Sri sebagai ibu sangat luar biasa. Kejijikan Sri terhadap Charles diproyeksikan pada hubungan antara ia dengan anak perempuannya, “Aku melihat anakku baru keesokannya… Dia tidak tampan, tiba-tiba aku berkata seorang diri. Aku mengingini seorang anak laki-laki tetapi yang lahir adalah seorang bayi perempuan yang amat jelek. Sebentar aku merasakan kekecewaan yang dalam,” (157) dan, “Kalau anakku menangis, aku tidak selalu dapat menengoknya ke atas. Dan untuk seterusnya dia kubiarkan tumbuh tanpa aku sering-sering di sampingnya” (158).

Hubungan ibu-anak ini dapat diteroka dengan menggunakan masa kanak-kanak Sri sendiri. Sri hanya mendapat sedikit cinta dari sang ibu, yang membesarkan anak-anaknya menurut aturan ketat adat Jawa dan terutama sekali mengekang kebebasan anak-anak perempuannya. Ibu dari Sri sangat menekankan pentingnya kesucian anak-anak perempuannya selama mereka belum menikah.

Alih-alih menganggapnya penting, Sri tidak menjaga keperawanannya sampai saat pernikahan dan ia yakin bahwa tidur dengan Saputro adalah sikap yang benar meski hal itu berlawanan dengan konvensi sosial.

Sri sangat menyadari apa yang ia lakukan saat melanggar batas-batas yang ditetapkan atasnya sebagai seorang gadis Jawa. Sebagai seorang pramugari, ia menjalani hidup yang ditentang oleh orang lain karena menurut standar masyarakat Jawa tradisional, pekerjaan itu memberikan terlalu banyak kebebasan bagi perempuan.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (5): Tanqih al-Qaul al-Hasis fi Syarh Lubab al-Hadis Karya Muhammad bin Umar al-Nawawi al-Bantani

Meskipun demikian, tatkala Saputro mati, Sri tidak bisa melepaskan diri dari tekanan sosial. Masyarakat Jawa mengutuknya karena ia mejadi perempuan lajang yang sudah tidak suci lagi. Perbedaan dalam hal kebebasan seksual di Timur dan Barat berperan penting bagi Sri sejak saat itu. Hal ihwal itu merupakan salah satu alasan utama mengapa ia menikahi Charles meski belum mengenalnya dengan baik.

Bagian pertama Pada Sebuah Kapal memuat kisah hidup Sri sebagaimana yang ia ceritakan. Sri sadar akan nilai dan identitas pribadinya serta mengetahui kemampuannya sendiri. Sri tahu bahwa dirinya menarik bagi banyak pria. Melalui tarian, ia mengekspresikan identitas dirinya. Meski ada pelbagai batas kaku masyarakat atas dirinya sebagai seorang perempuan, dalam dua kesempatan saat ia harus memilih antara tetap berada di dalam batas-batas yang telah mapan itu atau mengekspresikan kebebasan individualnya, ia memilih untuk mengutamakan dirinya. Dalam kesempatan perdana, ia melanggar aturan kesucian sebelum menikah dan dalam kesempatan kedua, ia melanggar aturan monogami.

Kali pertama Sri mendahulukan kepentingan dirinya di atas tekanan sosial, ia harus membayarnya dengan rasa bersalah serta ketakutan akan penolakan sosial. Pernikahannya yang gegabah dengan Charles dimaksudkan untuk melindungi diri dari masa lalu.

Kali kedua Sri melanggar aturan dan berselingkuh dengan Michel, ia membuat satu langkah menuju kebebasan pribadi. Akan tetapi, hubungan itu ternyata tidak memberikan solusi yang tepat bagi problematikanya. Sri tetap terperangkap dalam kekangan penindasan perkawinannya yang berantakan. Ia tetap tergantung pada Charles, dan tetap berperan sebagai ibu bagi anaknya, meski ia menyatakan yang sebaliknya. Sri tidak banyak menunjukkan semangat juang berupaya untuk mengubah hidupnya.

Contohnya, dalam satu kesempatan, ia meminta Charles untuk mempertimbangkan perceraian; ketika Charles bertanya adakah ada laki-laki liyan, Sri tidak menjawab, yang berarti menghindar dari mengatakan kebenaran. Sri tidak punya cukup inisiatif serta keberanian untuk menjalankan rencananya.

Di akhir cerita, ia tetap menjalani pernikahannya yang tidak bahagia. Ini memberikan makna ganda pada tindakannya: di satu sisi, ia memutuskan pola-pola lama dan memberi kesempatan pada dirinya untuk berubah; di sisi lain, ia menarik diri, takut terhadap kemungkinan menjalani hidup sebagai seorang perempuan yang benar-benar mandiri dan bebas.

Oleh sebab itu, menurut saya, novel ini tidak terlihat mengajak sidang pembaca untuk melakukan perubahan yang radikal terhadap pelbagai nilai dan norma yang telah ada.

Ketidaksetaraan antara lelaki dan perempuan tidak benar-benar dihapuskan di sini, terutama sekali karena Sri jatuh lagi ke dalam peran tradisional dalam hubungannya dengan Michel.

Baca juga:  Kisah Wangsa dalam Pergolakan: Membaca Keluarga Gerilya

Kalakian, bagian kedua membahas perjalanan kapal dari Saigon ke Marseilles melalui sudut pandang Michel, dan di tengahnya terdapat beberapa beberapa bagian mengenai masa lalu Michel. Penekanan bagian ini adalah pada perkawinan Michel yang tak bahagia dan pengalaman-pengalamannya dengan perempuan.

Michel bukanlah “buaya”; lebih tepatnya dia adalah seorang lelaki nan lembut dan pemalu. Akan tetapi, dia punya banyak pengalaman dengan perempuan. Sebagai seorang pelaut, dia mendapati dirinya berada dalam situasi di mana monogami tidak menjadi keharusan:

Kami laki-laki ditakdirkan untuk menjadi makhluk yang tidak setia. Masing-masing dari kami telah berkeluarga. Tapi itu bukan sebab yang kokoh untuk membelokkan cara hidup kami. … Kami kebanyakan laki-laki tidak akan menolak kesempatan yang tersedia untuk tidur dengan perempuan lain, terutama jika isteri yang disahkan undang-undang berada beratus kilometer dari kami. Mengecap tubuh perempuan dan mencinta mungkin berlainan (333-334).

Dalam kasus Michel, selalu pihak perempuan (Prancis) yang mengambil inisiatif, tetapi hubungan-hubungan ini tidak banyak berati baginya. Hubungannya dengan Sri adalah sebaliknya. Kini dialah yang harus mengambil langkah pertama, dan dia menghargai sifat Sri yang pemalu, lembut, dan artistik.

Sri mengungkapkan keraguannya dan ia menyebut-nyebut tindakan persetubuhan; Michel membiarkan bagian tindakan seksual tidak terungkap dalam penceritaan. Bagaimanapun juga, pandangan yang benar-benar berbeda tidak ditampilkan.

Namun, kenyataan bahwa pandangan laki-laki berbeda dengan pandangan perempuan jelas terlihat dalam bagian ini. Bagi kedua jenis kelamin, pernikahan bisa merupakan suatu kekangan, tapi para lelaki dapat hidup bermakna di luar pernikahan (dalam pekerjaan atau hubungan lain), sedangkan perempuan tergantung kepada suami dan terikat kepada anak-anak mereka.

Sarjana Tineke Hellwig lewat bukunya, Bercermin dalam Bayangan: Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia (2003), berpendapat bahwa dalam novel Pada Sebuah Kapal Nh. Dini, kontak antara Timur dan Barat menimbulkan konflik dan penyesuian. Kedudukan perempuan dalam masyarakat (yang berbeda dengan kaum pria) dicermati dalam kelindannya dengan kebebasan sosial serta seksual.

Aturan-aturan perempuan dalam masyarakat Barat sedikit dikomparasikan dengan pelbagai aturan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Setelah membandingkan orang-orang Eropa dengan orang-orang Indonesia, Sri mendapati bahwa keperawanan, kesucian, kesetiaan perkawinan, dan monogami kurang diamati dengan ketat di Barat.

Masyarakat Barat dipanggungkan oleh Nh. Dini sebagai sebuah masyarakat di mana setiap orang, laki-laki dan perempuan, memiliki tanggung jawab individual serta dapat ditanyai tentang pilihan-pilihan mereka, sedangkan dalam konteks Indonesia, rasa komunitas serta tekanan kolektif lebih besar dan perempuan dibelenggu dengan segala macam batasan-batasan.

Oleh sebab itu, perempuan Indonesia memiliki lebih sedikit hak untuk menentukan hidupnya tinimbang perempuan Eropa. Orang lain yang akan membuat keputusan untuk mereka sehingga mereka tidak perlu lagi menyibukkan diri dengan hal-hal semacam itu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Scroll To Top