Sedang Membaca
Sinyal Kuota Kemendikbud (2): Kuota untuk Keluarga Miskin
Anggi Afriansyah
Penulis Kolom

Santri di Pondok Pesantren Cipasung, Jawa Barat (2002-2005). Ia menyelesaikan strata satu (S1) Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraaan di Universitas Negeri Jakarta (2005) dan kemudian melanjutkan strata dua (S2) di Departemen Sosiologi Universitas Indonesia (2014). Sekarang bekerja sebagai Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI. Tinggal di Bekasi, Jawa Barat.

Sinyal Kuota Kemendikbud (2): Kuota untuk Keluarga Miskin

2

Sebelum kebijakan kuota diberikan, beberapa guru honorer pernah diskusi via chat messanger dengan saya. Menurut mereka, meski dana BOS memberi ruang untuk pembelian kuota bagi guru dan siswa, tidak semua dari mereka mendapatkan kuota tersebut. Ada seorang teman yang bercerita bahwa selama masa pandemi, ia hanya mendapatkan satu kali pulsa internet dari sekolahnya. Ia adalah guru honorer.

Padahal menurutnya, untuk belajar daring, kuota yang digunakan begitu boros. Sementara tidak ada alokasi dari pemerintah maupun sekolah, meski dana BOS sesungguhnya dapat dimanfaatkan. Ternyata realisasinya tidak mudah dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari.

Untuk membeli kuota agar pembelajaran tetap berlangsung, guru honorer tidak dapat mengandalkan gajinya yang tidak seberapa dan sering dibayar per triwulan secara rapel. Mereka kemudian berstrategi melakukan beragam hal agar tetap dapat membeli kuota  dan menjamin pembelajaran tetap berlangsung.

Teman saya misalnya berjualan online agar ia dapat tetap membeli kuota dan mencukupi kehidupan yang semakin sulit. Selain mendidik dia juga harus melakukan kewajibannya sebagai kepala keluarga, menafkahi keluarganya.

Cerita tersebut tentu tidak dapat digeneralisasi, tetapi menjadi satu contoh konkret betapa soal kuota sangat menjadi hal penting di masa pandemi ini.

Pemberian kuota oleh pemerintah sangat dinanti oleh para guru terutama guru kontrak dan honorer. Kuota tersebut juga dinantikan oleh para siswa yang berasal dari keluarga miskin. Pandemi telah merontokkan ragam pekerjaan yang digeluti oleh orangtua mereka.

Di saat pemerintah menganjurkan semua pihak menahan diri dan berdiam di rumah, keluarga miskin harus tetap berjuang ke luar rumah karena tidak ada pilihan. Banyak juga mereka yang harus menelan pil pahit mengalami pemutusan hubungan kerja. Kondisi tersebut tentu berefek pada kondisi pembelajaran anak-anak.

Baca juga:  Satu Tuhan, Beda Agama: antara Al-Hallaj dan Gus Dur

Anak-anak keluarga miskin ini harus tetap membeli kuota internet agar tetap belajar. Problem lainnya, bagi keluarga miskin yang rata-rata bersekolah di sekolah yang kapital infrastruktur dan SDM gurunya terbatas mereka juga terkendala untuk mengakses beragam aplikasi pembelajaran yang ada di daftar buku saku Kemdikbud.

Jika demikian, daftar tersebut tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya. Kuota dan daftar tersebut adalah medium belajar. Kapasitas guru dan orangtua tetap menjadi utama untuk mendukung pembelajaran berlangsung.

Situasi ini tidak mudah bagi keluarga miskin maupun guru-guru yang memiliki keterbatasan akses. Pada sisi ini peran pemerintah daerah untuk mendampingi guru-guru di sekolah serta para orangtua menjadi krusial.

Cerita seorang teman lain misalnya, ada orangtua yang bahkan menggunakan aplikasi whatsapp saja kesulitan. Orangtua tersebut kemudian memilih datang ke sekolah untuk mendapatkan tugas mingguan yang diberikan oleh guru. Ia kemudian, dengan mengambil risiko tentunya, mendatangi siswa-siswa secara rutin agar pembelajaran tetap dapat dilaksanakan.

Tentu ia dan para guru lainnya mendapatkan risiko besar ketika harus datang ke rumah siswa. Namun, menurutnya keluarga miskin tidak bisa dibiarkan saja. Tanpa didatangi ke rumah mereka tidak akan bisa belajar sebab orangtua tidak memiliki kapasitas untuk mendampingi anak seperti keluarga kelas menengah.

Ada momen sedih ketika ia datang ke rumah seorang siswa yang tak memiliki gawai. Ketika ia datang, ternyata mereka tidak memiliki rumah tinggal layak. Keluarga tersebut tinggal di tempat yang bahkan tidak layak disebut rumah. Yang penting bisa tinggal dan meneduh, rasanya demikian.

Baca juga:  Pamer Hapalan Alquran Surah-Surah Pendek

Anak yang ia ajar ternyata baru tiba di rumah karena harus memulung barang bekas. Ia hanya terdiam. Kuota dan gawai jelas tidak bermanfaat untuk anak tersebut. Sebab, mereka tidak belum dapat memanfaatkan alat tersebut untuk pembelajaran.

Biayanya mahal dan tak terjangkau, sebab semua pendapatan dari pekerjaan orangtua dan bantuan anak-anak yang ikut bekerja hanya untuk menyambung hidup. Perhatian penuh kasih adalah yang utama. Kehadirannya dan para guru untuk tetap mendidik menjadi sangat penting.

Pada titik inilah kritik terhadap pemberian kuota mendapatkan porsi yang tepat. Lalu bagaimana nasib mereka yang tidak dapat meregistrasi kartunya ke pemerintah? Ini kelemahan dari kebijakan kuota yang dibuat oleh Kemdikbud. Di sisi lain, siapapun selama memiliki kartu yang diregistrasi dapat mendapatkan bantuan, tidak kaya tidak miskin.

Di satu sisi memang pemerintah berupaya memberikan bantuan ini secara merata. Namun, yang kemudian menjadi catatan adalah kebijakan ini bias kelompok sosial ekonomi menengah atas yang sejak awal memiliki akses memadai terhadap gawai dan kuota. Bias ini yang perlu diperhatikan oleh pemerintah.

Mekanisme bantuan kuota ini perlu juga mendapatkan perhatian. Siapa yang harus mendapatkan kuota? Prioritas bagi siapakah kuota ini? Di sini data memegang peranan penting. Asal sekolah misalnya menjadi peta dasar utama bagi pemberian kuota.

Beberapa orangtua yang merasa dirinya mampu misalnya, memilih untuk tidak meregistrasi kartunya karena lebih memilih agar bantuan tersebut dialokasikan kepada pihak yang lebih membutuhkan, anak-anak keluarga miskin yang selama ini kesulitan untuk belajar secara daring.

Baca juga:  Hari Anak: Bagaimana Agama Melindungi Anak?

Catatan lainnya, jika menyimak anak-anak keluarga miskin yang tidak memiliki gawai adalah terkait perhatian pemerintah terhadap situasi tersebut. Bagaimana strategi pemerintah bagi anak-anak yang tidak terakses internet di wilayah 3T ataupun anak-anak keluarga miskin baik di desa maupun di kota yang tidak memiliki gawai?

Selama ini stategi yang dilakukan semata mengandalkan guru-guru berjiwa tangguh yang menghadapi risiko terpapar Covid-19. Ada guru yang menembus hutan demi anak-anak, ada komunitas yang aktif mendampingi anak-anak miskin kita yang kesulitan belajar, ada kelompok yang membangun wifi gratis dan gawai untuk membantu anak-anak untuk belajar. Hal ini tentu perlu mendapatkan perhatian ekstra dari pemerintah.

Kondisi yang sudah dipaparkan memang tidak khas Indonesia. Data UNICEF dan Save The Children (2020) memaparkan bahwa jumlah anak yang hidup dalam kemiskinan multidimensi telah melonjak menjadi sekitar 1,2 miliar karena pandemi COVID-19.

Analisis kemiskinan multidimensi menggunakan data tentang akses ke pendidikan, perawatan kesehatan, perumahan, gizi, sanitasi dan air dilakukan lebih di 70 negara. UNICEF (2020) bahkan memperingatkan bahwa situasi tersebut kemungkinan akan memburuk dalam beberapa bulan mendatang.

Kita tentu berharap pandemi ini segera berlalu. Tapi sambil menunggu pemerintah beserta beragam pihak yang perduli dengan pendidikan harus berjibaku mencari cara yang paling minim risiko dan berpihak kepada keluarga miskin yang selama pandemi semakin terpinggirkan. Hadirnya bantuan kuota, dengan berbagai catatannya, menjadi salah satu ikhtiar untuk membantu mereka yang terpinggirkan. Tentu, dengan ragam perbaikan seperti saran-saran dari berbagai pihak. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top