Malam-malam seorang teman mengirim broadcast yang berisi semacam refleksi beberapa hari setelah terjadi gempa dan tsunami di Sulteng. Dengan penuh heroik menyarankan agar pesan berantai itu disebarluaslan bahkan kalau perlu dimuat di media nasional.
Inti pesan yang entah dari mana itu kira-kira begini: Palu sedang disayang Allah. Dengan bencana, Palu telah dibersihkan dari tempat dan orang-orang maksiat. Pusat pelacuran terbesar di Sulawesi di Tondo rata dihantam tsunami, gadis-gadis malam Pantai Talise jadi mayat; hotel berbintang lima, juga tempat-tempat karaoke, perjudian, dan perzinaan amblas ditelan bumi dan lumpur. Sedangkan, banyak masjid-masjid yang kokoh berdiri, pesantren-pesantren tak kena dampak, dan pusat-pusat dakwah yang tetap eksis.
Sekilas tak ada masalah dari pesan tersebut. Bahkan penulisnya tampak sedang merenung dan memunguti puing-puing hikmah dari musibah yang memporak-porandakan kehidupan mayoritas warga Palu dan Donggala. Tak heran, ketika tulisan itu diunggah di Facebook, ramai-ramai orang berkomentar “subhanallah” dan dengan suka rela membagikannya lagi untuk orang lain agar turut “tercerahkan”.
Yang perlu dicermati tentu adalah tingkat akurasi data yang disajikan. Menyimpulkan bahwa seolah-olah kerusakan mayoritas menimpa institusi-institusi “bejat” adalah persoalan. Mendikbud sudah memaparkan data bahwa 2.376 gedung sekolah rusak akibat gempa Palu. Ini baru lembaga pendidikan formal. Sementara lembaga pendidikan nonformal dan informal jumlahnya bisa jadi lebih banyak. Artinya, ada jutaan anak yang proses pendidikannya terganggu pascagempa dan tsunami. Ini pun baru data di sektor pendidikan, belum lembaga pemberdayaan, lembaga bantuan sosial, rumah sakit, koperasi, danain sebagainya.
Jika diamati lebih lanjut, logika “renungan hikmah” semacam itu tak jauh beda dari nalar kebanyakan orang yang gemar memvonis bahwa bencana datang sebagai azab Allah. Bencana dinilai sebagai manifestasi murka ilahi atas dosa-dosa manusia selama ini. Lalu kenapa bencana itu juga menimpa orang beriman?
“Itu hanya imbas, karena korban tinggal di lingkungan maksiat,” kata mereka.
Persoalan kunci dari logika-logika tersebut terletak pada berkembangnya pikiran untuk membuat hierarki korban bencana. Meski sering tak disampaikan eksplisit, logika semacam itu jelas berangkat dari asumsi bahwa ada korban yang patut dikasihani, namun ada pula korban yang memang layak binasa. Yang muncul akhirnya respons psikologis yang ambigu. Ia berduka tapi sekaligus bersyukur. Sikap seperti inilah yang secara sosial bisa menciptakan luka baru bagi kalangan luar Islam. Meski sama-sama korban, seolah-olah Muslim dan non-Muslim punya jenjang nasib “sial” yang berbeda. Begitu juga, ustadz dan anak punk, bu guru dan perempuan karaoke, dan seterusnya.
Jika dibiarkan beranak-pinak, cara berpikir begini bukan tidak mungkin akan berimplikasi lebih jauh. Korban yang dilihat secara “berbeda” bisa jadi akan mendapatkan respons bantuan secara berbeda pula. Nalar penghierarkian korban berdampak pada penghierarkian empati. Padahal, dalam sudut pandang nurani kemanusiaan, setiap korban bencana harusnya setara. Yang membedakan hanyalah jenis keperluan yang sifatnya relatif dan parsial. Tidak boleh ada penanganan yang diskriminatif.
Korban bencana dengan latar belakang identitas apa pun sesungguhnya mempunyai kerentanan yang hampir sama. Kita bisa berkaca misalnya pada situasi krisis yang dialami para pengungsi muslim Suriah dan Rohingya. Kesulitan hidup membuat kehidupan mereka hancur. Demi memenuhi hajat ekonomi, gadis-gadis belasan tahun dinikahkan, anak-anak dipaksa bekerja kasar dengan gaji sangat murah, penjarahan menjadi kebiasaan baru, dan prostitusi mulai ditoleransi. Artinya, dalam situasi krisis, kriminalitas dan kemaksiatan lazimnya bangkit dan berkembang lebih cepat daripada aktivitas institusi dakwah dan pendidikan. Sehingga, asumsi bahwa lewat bencana Palu dibersihkan dari “sampah masyarakat” perlu diperiksa lagi relevansinya.
Namun demikian, yang lebih penting dari pengategorian mana yang sampah dan mana yang bukan adalah empati kemanusiaan kita pada korban. Bila tidak mampu mengulurkan bantuan secara konkret, minimal dengan tidak menambah luka mereka. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan membuang persepsi bahwa ada hierarki korban. Apakah bencana itu azab atau ujian, juga bukan ranah manusia untuk melakukan penghakiman.
Bencana semestinya mengaktifkan kerja-kerja kemanusiaan daripada sibuk menyalahkan orang. Mengapa kita (tidak semua) gemar membuat hierarki korban bencana? Jangan-jangan karena kita lebih suka menudingkan jari ke muka orang lain ketimbang ke dada sendiri, lebih gemar mengoreksi orang lain daripada diri sendiri.