Sedang Membaca
Kisah Sufi Unik (46): Ibnu Atha’ Pernah Mencuri Merpati Hingga Menobatkan Perampok
Mukhammad Lutfi
Penulis Kolom

Alumnus Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Kisah Sufi Unik (46): Ibnu Atha’ Pernah Mencuri Merpati Hingga Menobatkan Perampok

Doc 6564 0

Ibnu Atha’, nama lengkapnya Ahmad bin Muhammad bin Sahl bin Atha’ al-Adami, salah satu sufi terkemuka Baghdad abad keempat Hijriyah. Sematan al-Adami di belakang namanya dinisbatkan pada perkampungan bernama Adam di wilayah Baghdad. 

Dalam catatan al-Sulami dalam Ṭabaqat al-Ṡūfiyah  dikatakan Ibnu Atha’ bersahabat dan banyak dipengaruhi oleh Imam Junaid dan Ibrahim al-Maristani. Perihal tahun kelahirannya beberapa kitab tidak banyak menyebutkan, namun tahun kematiannya disebutkan dalam Ṭabaqat al-Ṡūfiyah, Ṭabaqat al-Auliyā’, Tārīkh Baghdad, Siyar A’lam al-Nubala’, yaitu di tahun 309 Hijriyah.

Catatan Ibnu Mulqan dalam Ṭabaqat al-Auliyā’ menginformasikan, suatu ketika Ibnu Atha’ pernah bercerita tentang emas dan perak yang begitu berharga di mata manusia. Syekh Ibnu Atha’ menjelaskan, apa sebab emas dan perak begitu digandrungi oleh manusia? Sebabnya tak lain karena dulu sewaktu nabi Adam di surga dan melanggar aturan Allah, semua makhluk yang ada di surga menangis, namun beda halnya dengan emas dan perak. Emas dan perak sama sekali tidak menangisi kedurhakaan Adam atas aturan Allah.

“Mengapa kalian berdua tidak menangisi Adam?” tanya Allah kepada emas dan perak.

“Kami tak akan menangisi makhluk yang mendurhakai Tuhannya,” jawab emas dan perak.

“Atas kuasaku, akan aku jadikan kalian berdua (emas dan perak) sesuatu yang berharga, dan akan aku jadikan bani Adam (manusia) pelayan bagi kalian,” tegas Allah kepada emas dan perak.

Baca juga:  Tasawuf Menggilas Ekstremisme di Maroko

Pada kisah yang lain, Syekh Ibnu Atha’ pernah begitu menyesali perbuatan dosanya yang ia perbuat semasa muda. Begini kisahnya;

Alkisah beberapa orang mendatangi tempat Syekh Ibnu Atha’. Orang-orang tadi dibuat bingung melihat Syekh Ibnu Atha’ yang menangis tersedu-sedu. Mereka lalu memberanikan diri untuk bertanya kepada Syekh Ibnu Atha’.

“Wahai Syekh Ibnu Atha’ apa yang membuatmu menangis sesegukan seperti itu?” tanya mereka.

“Aku menangis mengingat kesalahan yang pernah aku lakukan ketika muda dulu, saat itu aku pernah mencuri seekor merpati milik seseorang. Sekian lama peristiwa itu berlalu, namun aku senantiasa mengingatnya. Aku pun lalu mengganti merpati itu senilai seribu dirham kepada pemiliknya. Meski demikian, hatiku tetap gelisah dan selalu menangis apabila teringat dosa yang kuperbuat itu.” tutur Syekh Ibnu Atha’.

Kisah yang lain dalam Tazkirat al-Auliyā’ menyebutkan, bahwa Syekh Ibnu Atha’ bersama anak-anaknya pernah dirampok saat tengah perjalanan.

Diceritakan, Syekh Ibnu Atha’ memiliki sepuluh anak laki-laki, kesemuanya berkepribadian baik dan memiliki paras yang tampan. Suatu hari Syekh Ibnu Atha’ bersama kesepuluh anaknya sedang menempuh suatu perjalanan, tiba-tiba ada sekawanan perampok yang menghampiri rombongan Syekh Ibnu Atha’. Kawanan perampok itu lalu melucuti harta dan perbekalan Syekh Ibnu Atha’ dan anak-anaknya. Tidak berhenti sampai di situ, kawanan perampok itu juga menghabisi anak-anak Syekh Ibnu Atha’ satu persatu, sementara itu Syekh Ibnu Atha’ hanya memandangi perampok itu dan tertawa. Kesembilan anaknya telah terbunuh, sekarang tersisa satu anaknya yang masih hidup. Satu anaknya yang masih hidup itu heran melihat ayahnya yang hanya tertawa saja melihat anaknya dihabisi.

Baca juga:  Kisah Sufi Unik (9): Bisyr bin al-Harits, Sang Sufi Telanjang Kaki

“Wahai ayah, apakah engkau tak memiliki perasaan? Kesembilan anakmu terbunuh, sementara kau hanya tertawa saja memandangi anakmu dihabisi nyawanya,” tanya anak Syekh Ibnu Atha’ yang masih hidup.

“Wahai anakku, kau ini bicara apa. Aku tak kuasa melawan setiap kehendak Allah yang menimpakan peristiwa ini kepadaku. Allah maha perkasa, sementara aku ini lemah, Allah maha tahu dan maha melihat, dan Allah juga sangat mampu menghentikan perbuatan keji kawanan perampok itu,” tutur Syekh Ibnu Atha’.

Mendengar perkataan Syekh Ibnu Atha’, kawanan perampok itu lalu tercengang, dan menyesali perbuatannya.

“Wahai Syekh, kenapa tidak sedari tadi engkau berkata seperti itu. Andai saja engkau mengatakannya sejak awal, pastilah kami tidak sampai merampok dan membunuh anak-anakmu,” ucap kawanan perampok itu penuh penyesalan.

Berikut ini kalimat sufistik dari Syekh Ibnu Atha:

شَرُّ الطَّاعَاتِ طَاعَةٌ أَوْرَثَتْ عَجَبًا، وَخَيْرُ الذُّنُوْبِ ذَنْبٌ أَعْقَبَ تَوْبَةً وَنَدَمًا

“Syarru-l-ṭā’āti ṭā’atun auraṡat ‘ajaban, wa khoiru-l-żunūbi żanbun a’qaba taubatan wa nadaman.”

“Seburuk-buruk keta’atan adalah taat yang melahirkan rasa ujub (membanggakan diri), dan sebaik-baik dosa adalah dosa yang berujung dengan pertaubatan dan penyesalan.”

ذِكْرُ الثَّوَابِ عَنْ ذِكْرِ اللهِ غَفْلَةٌ عَنِ اللهِ

“Żikru-l-ṡawābi ‘an żikri-l-llāhi ghoflatun ‘ani-l-llāhi.”

“Mengingat pahala karena berzikir kepada Allah adalah bentuk lalai dari Allah.” 

Baca juga:  Sufi dan Seni (4): Arsitektur dan Seni Visual Sufi

Wallahu A’lam.  

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
4
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • شَرُّ الطَّاعَاتِ طَاعَةٌ أَوْرَثَتْ عَجَبًا، وَخَيْرُ الذُّنُوْبِ ذَنْبٌ أَعْقَبَ تَوْبَةً وَنَدَمًا

    “Syarru-l-ṭā’āti ṭā’atun auraṡat ‘ajaban, wa khoiru-l-żunūbi żanbun a’qaba taubatan wa nadaman.”

    “Seburuk-buruk keta’atan adalah taat yang melahirkan rasa ujub (membanggakan diri), dan sebaik-baik dosa adalah dosa yang berujung dengan pertaubatan dan penyesalan.”

    keren nih kutipannya, tulisan yang penuh dengan renungan.

Komentari

Scroll To Top