Nabi Muhammad Saw tidak pernah menyatakan diri memiliki sifat-sifat adimanusia. Dia adalah, dan selalu ingin menjadi, seorang hamba yang menerima wahyu (Q. 41: 5).
Dia diutus untuk membawa pesan keimanan, etika, dan harapan yang menjadi peringatan kepada seluruh manusia akan kehadiran-Nya, tuntunan-Nya, dan datangnya Hari Kepulangan dan Perjumpaan.
Dengan membawa pesan ini, di sepanjang hidupnya Nabi selalu mendengarkan perempuan, anak-anak, laki-laki, budak, orang kaya dan miskin, juga orang terbuang. Dia mendengarkan, menyambut, dan menenteramkan mereka. Meskipun terpilih di antara para penghuni bumi, dia tidak menyembunyikan kerentanan dan keraguan dirinya; pada kenyataannya, sejak awal sekali, Tuhan telah membuatnya ragu terhadap dirinya sendiri, sehingga dia tidak pernah lagi meragukan kebutuhannya akan kehadiran Tuhan, dan memperlihatkan kepadanya kekeliruan dirinya, sehingga dia harus mencari pengampunan-Nya yang sempurna dan tetap bersikap toleran terhadap sesama manusia.
Kelahiran
Dalam karyanya yang monumental ihwal sirah Muhammad, Ibnu Hisyam menuturkan bahwa Ibnu Ishaq menetapkan dengan jelas dan tepat hari kelahiran Nabi, yakni pada Senin malam, 12 Rabiul Awal, tahun Gajah. Riwayat lain menyebutkan bulan yang berbeda, tapi sejauh ini tanggal itu telah disepakati para ulama dan masyarakat Muslim. Karena kalender Islam menggunakan perhitungan bulan, kita sulit menentukan dengan akurat bulan kelahirannya dalam kalender Masehi, tapi “tahun gajah” yang dimaksudkan oleh Ibn Ishaq bertepatan dengan 570 M.
Nabi terakhir ini terlahir dalam keluarga besar bangsawan Makkah, Bani Hasyim. Mereka dihormati suku-suku Makkah dan sekitarnya. Nasab yang terhormat ini berkelindan dengan sejarah pribadinya yang sangat memilukan. Ibunya, Aminah, sedang mengandungnya selama dua bulan ketika ayahnya, Abdullah, meninggal dalam perjalanan ke Yatsrib (Madinah), sebuah kota di sebelah utara Makkah. Terlahir sebagai anak yatim, Muhammad kecil harus menempuh kehidupan di Makkah dalam kondisi yang sangat kontras. Di satu sisi, dia keturunan terhormat, namun di sisi lain dia sangat rentan karena tidak berayah.
Nama Muhammad, yang kala itu kurang populer di Semenajung Arab, berasal dari mimpi ibunya ketika ia masih mengandung. Konon, mimpi itu juga telah memberitahukannya tentang kelahiran “pemimpin umat ini” (sayyid hadzihi al-ummah); mimpi itu juga memberitahukan bahwa ketika bayinya lahir, ia harus mengucapkan kalimat: “Aku meletakkan dirinya dalam lindungan Yang Maha Esa [al-Wahid] dari segala kejahatan para pendengki.” Diselimuti kebimbangan antara kesedihan ditinggal mati suaminya dan kegembiraan menyambut kelahiran anaknya, Aminah berulang-ulang menyatakan bahwa ada tanda-tanda unik yang menyertai kehamilannya, yang diikuti oleh proses persalinan yang sangat mudah.
Padang Pasir
Aminah segera menyadari bahwa ia adalah ibu dari seorang anak yang luar biasa. Hal ihwal yang sama juga dirasakan oleh kakek Muhammad, Abdul Muththalib, yang memikul tanggung jawab untuk merawatnya. Di Makkah, sudah menjadi kebiasaan untuk memercayakan bayi pada ibu susuan dari suku Badui nomad yang tinggal di sekitar padang pasir terdekat. Karena Muhammad anak yatim, semua calon ibu susuan tak mau menyusuinya. Mereka khawatir statusnya itu tidak akan menguntungkan. Halimah bersama suaminya, yang datang paling akhir karena unta tunggangannya kelelahan, memutuskan untuk menerima anak ini meskipun dia seorang yatim, karena perihal itu lebih baik daripada harus dicemooh oleh anggota suku mereka ketika kembali ke rumah dengan tangan hampa.
Akhirnya mereka pulang membawa Muhammad yang masih bayi. Halimah, seperti halnya Aminah, juga menceritakan banyak tanda yang membuat ia dan suaminya berpikir bahwa bayi ini membawa berkah.
Selama empat tahun, anak yatim itu diasuh Halimah dan tinggal bersama Bani Sa’d, suku Badui di padang pasir Arab. Dia menjalani kehidupan kaum nomad di alam yang tandus dan keras, dan sejauh mata memandang, terlihat hamparan pemandangan yang menyadarkan hati tentang kerapuhan manusia, dan menggugah diri untuk merenung dan menyendiri. Meskipun belum dapat memafhuminya, Muhammad segera mengalami cobaan pertama dari Yang Maha Esa, yang telah memilihnya sebagai rasul dan menjadi Pendidiknya, Rabb baginya.
Belakangan, Alquran menceritakan kondisinya saat menjadi seorang yatim berikut pelajaran-pelajaran spiritual yang terkait dengan pengalaman hidup di padang pasir.
Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Oleh karena itu, janganlah kamu berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim. Dan janganlah kamu menghardik orang yang meminta-minta. Dan terhadap nikmat dari Tuhanmu hendaknya engkau menyebut-nyebutnya [dengan bersyukur] (Q. 93: 6-11).
Dalam bukunya In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad (New York: Oxford University Press, 2007), Tariq Ramadan meneroka bahwa rangkaian ayat di atas mengandung beberapa pelajaran: menjadi seorang yatim yang juga miskin sebenarnya merupakan sebuah inisiasi untuk menjadi Rasul Tuhan di masa depan, setidaknya, karena dua alasan.
Pelajaran pertama, tentu saja adalah kerentanan dan kerendahan hati yang secara alamiah pasti dia miliki sejak masa kanak-kanak. Kondisi itu semakin menguat ketika ibunya, Aminah, meninggal saat Muhammad berusia enam tahun. Keadaan semacam ini tak hanya membuatnya benar-benar tergantung kepada Tuhan, tetapi juga membuatnya dekat dengan orang fakir. Alquran mengingatkan Muhammad bahwa dia tidak pernah boleh melupakan perihal itu sepanjang hidupnya, terutama selama masa kenabiannya. Sebelumnya, dia seorang anak yatim dan miskin, dan untuk itulah dia diingatkan dan diperintahkan agar tidak pernah meninggalkan orang-orang yang terpinggirkan dan membutuhkan bantuan.
Dengan merenungkan keteladanan dari kisah pengalaman Nabi, ajaran spiritual kedua yang memancar dari rangkaian ayat di atas sangat valid untuk semua manusia: jangan pernah melupakan masa lalu, masa penuh ujian, lingkungan, dan asal-usul kita, dan berusaha mengubah pengalaman kita menjadi sebuah pelajaran yang positif untuk diri sendiri dan orang lain. Pengalaman masa lalu Muhammad, sebagaimana diingatkan oleh Yang Maha Esa, merupakan sekolah yang darinya dia harus memetik pengetahuan yang berfaedah, praktis, dan konkret untuk membantu orang-orang yang mengalami kehidupan dan kesusahan seperti yang pernah dia alami, karena dari pengalamannya, dia tahu lebih baik daripada orang lain apa yang mereka rasakan dan alami.
Pendidikan dan Alam
Kehidupan padang pasir dapat membentuk diri seseorang dan pandangannya tentang penciptaan dan unsur-unsur alam semesta. Ketika tinggal di padang pasir, Muhammad belajar dari kekayaan tradisi lisan masyarakat Badui dan kemahiran mereka bertutur kata untuk mengembangkan penguasaannya terhadap bahasa lisan. Belakangan, Nabi terakhir ini harus mengandalkan kekuatan kefasihan, keindahan tutur kata, dan lebih dari segalanya, kemampuan menyampaikan ajaran-ajaran universal dan mendalam melalui ungkapan singkat dan tepat. Padang pasir kerap menjadi wilayah yang akrab dengan kenabian karena secara alamiah ia menawarkan cakrawala tanpa batas untuk diamati mata manusia. Bagi masyarakat nomad yang selalu berpindah tempat, ruang tanpa batas itu diasosiasikan dengan kebebasan yang, lagi-lagi berpadu dengan pengalaman kefanaan, kerapuhan, dan kehinaan. Orang nomad belajar untuk selalu berpindah, menjadi terasing, dan memahami siklus waktu di pusat ketidakterbatasan ruang. Kondisi semacam itu merupakan pengalaman hidup kaum beriman, seperti yang kemudian Nabi lukiskan kepada Abdullah ibn Umar dalam ungkapan yang menyiratkan dimensi kehidupan padang pasir: “Hiduplah di muka bumi seperti seorang asing atau pengelana.”
Pada tahun-tahun pertama kehidupannya, Nabi membangun hubungan khusus dengan alam yang terus terjalin sepanjang perjalanan kenabiannya. Alam raya yang dipenuhi tanda-tanda yang mengingatkan kehadiran Sang Pencipta. Dan lebih dari yang lainnya, padang pasir membuka mata manusia untuk mengamati, merenung, dan mencerap makna. Keterkaitan dengan alam sangat mewarnai kehidupan Muhammad sejak dini. Wajar bila kita dengan mudah dapat menyimpulkan bahwa kedekatan dengan alam, dengan cara mengamati, memafhumi, dan menghargainya, merupakan keharusan demi membentuk iman yang mendalam.
Dada yang Terbelah
Pengalaman paling aneh atas diri Muhammad terjadi ketika dia berusia empat tahun, saat dia sedang bermain dengan anak-anak Bani Sa’d dari suku Badui. Halimah menuturkan bahwa anaknya menghampiri ia dan suaminya sambil ketakutan dan memberitahukan mereka bahwa “dua orang berjubah putih menangkap Muhammad dan meletakkannya di atas tanah; kemudian mereka membuka dadanya dan memasukkan tangan mereka ke dalamnya.”
Halimah dan suaminya berlari ke tempat kejadian yang ditunjukkan oleh anak mereka dan menemukan Muhammad sedang gemetar dan pucat. Dia membenarkan kisah saudara angkatnya, sambil menambahkan bahwa setelah membuka dadanya, dua orang itu “menyentuh sesuatu di dalam dada; aku tidak tahu apa yang mereka sentuh.”
Karena sangat terguncang dengan kisah itu dan khawatir jika Muhammad terluka, pasangan suami-istri itu memutuskan untuk mengembalikan Muhammad kepada ibu kandungnya. Awalnya mereka menyembunyikan alasan utama mereka memulangkan Muhammad, tapi karena terus didesak pertanyaan oleh Aminah, mereka akhirnya memberitahukan kejadian itu. Aminah tidak terkejut, bahkan ia menjelaskan bahwa dirinya telah melihat berbagai tanda yang menunjukkan bahwa anaknya telah terpilih untuk menjalani takdir yang unik.
Di masa dewasanya, Muhammad ingat kejadian itu dan mendedahkan bahwa kedua orang itu “membelah dada[nya], mengambil jantung, dan membukanya untuk mengeluarkan darah kotor darinya. Lantas, mereka mencuci jantung dan dada[nya] dengan salju.”
Dalam riwayat lain, dia menjelaskan makna spiritual dari peristiwa-peristiwa itu; ketika berdiskusi dengan para sahabatnya, seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud, dia bersabda: “Tidak seorang pun di antara kalian yang tidak didampingi oleh jin dan malaikat yang ditugaskan khusus untuknya. Aku pun demikian, tetapi Tuhan telah membantuku dan ia [jin, yang dimaksudkan di sini adalah ruh jahat] telah tunduk, sehingga ia hanya menyuruhku berbuat kebaikan.”
Di sini, Nabi membimbing kita untuk tidak memahami peristiwa sebagai sebuah fakta semata, tapi menukik ke dalam dimensi spiritualnya yang lebih penting; sejak masa kanak-kanak, Rasul terlindung dari godaan jahat yang menjangkiti hati setiap manusia. Penyucian hatinya mempersiapkan dirinya untuk mengemban misi kenabian.
Yatim Piatu dan Sang Pendidik
Kehidupan Muhammad merupakan kisah hidup yang berat. Alquran berkali-kali menekankan, Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan (Q. 94: 5-6). Ketika berusia delapan tahun, Muhammad telah menjalani pengalaman getir tak berayah, kemiskinan, kesendirian, dan kematian ibunya dan kemudian kakeknya.
Namun, di sepanjang perjalanan hidupnya, dia selalu menemukan tanda-tanda takdir yang–melalui manusia dan lingkungan–telah menemani dan mempermudah perkembangan dan pendidikan dirinya. Menjelang kematiannya, Abd al-Munththalib meminta anaknya Abu Thalib, paman Muhammad, untuk merawatnya. Abu Thalib menjalankan tugas itu laiknya seorang ayah memperlakukan anaknya sendiri. Saat dewasa, Nabi selalu ingat betapa paman dan bibinya, Fatimah, begitu mencintai dan mengasuhnya. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.
Arkian, kecintaan abadi dan penghormatan mendalam yang terus ditunjukkan oleh kaum Muslim kepada Nabi Muhammad Saw terwujud dalam bentuk kenangan di hati dan ingatan orang Muslim tentang kehidupan Nabi, pelantunan shalawat untuknya, dan keharusan moral untuk meneladaninya dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan Nabi merupakan ajakan menuju spiritualitas. Dia mengajarkan kepada kita bahwa–melalui pelbagai peristiwa, ujian, kesulitan, dan pencarian diri–jawaban yang paling benar untuk persoalan eksistensial lebih sering diberikan oleh hati, bukan oleh akal. Sederhana namun mendalam: mereka yang tidak mencintai tidak akan memahami.