Baru saja berlalu konferensi sufi internasional di Hotel Borobudur Jakarta. Event ini diprakarsai oleh Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdhiyyah (JATMAN). Konferensi ulama tarekat yang berlangsung selama 3 hari, mulai dari tanggal 18 sampai 20 Januari ini menghadirkan intelektual, ulama besar, dan mursyid tarekat dari dalam dan luar negeri. Konferensi mengambil tema “Tasawuf Imam Ghozali, Peran dan Kontribusi Imam Ghozali dalam membangun peradaban dunia yang damai dan harmonis.
Di antara ulama besar luar negeri yang berkesempatan hadir dalam konferensi itu adalah Syekh Mazin Syarif, Syekh Aziz Abidin, dan Syekh Aziz el-Kobaithi Idrisi.
Penulis mengenal Syekh Mazin Syarif sekitar 3 bulan yang lalu, tepatnya paruh akhir Oktober 2017, di Fes, Maroko. Intelektual ini berasal dan berdomisili di negeri yang terletak di ujung Pegunungan Atlas dan bagian utara dari gurun Sahara, Tunisia. Ilmu beliau sangat halus dan teliti. Dan sebagai seorang penyair, yang puisi dan prosanya sering bertandang di dinding Facebook penulis melalui Fanspage pribadinya, banyak kalam yang tak mampu penulis tangkap pada pertemuan itu.
Menerjemahkan kalam beliau secara perkata bukanlah hal sulit. Tetapi ketika perkata ke kata berikutnya menjadi sebuah susunan kalimat, aku tak mampu mencari makna di antara “titiknya”.
Adapun Syekh Aziz Abidin. Penulis bertemu dengan intelektual asal California ini di hotel Wassim, awal Mei 2017, pada acara konferensi tasawuf internasional yang ke-3 di Fes. Sengaja menyambangi beliau ketika sedang sibuk dengan gawainya. Obrolan kami tidak berlangsung lama, sebab harus segera beranjak menjemput para tamu yang berdatangan dari berbagai negara dari mobil di depan hotel itu sendiri.
“Man jarrobal mujarroba fa aqluhu munharifun,” aku masih sangat hafal dengan kalam hikmah beliau itu. Untuk menyederhanakan makna, beliau menganalogikan sambil menunjuk dengan jemari manisnya, “Jika engkau melihat seseorang menyeberang di jalan sana dan lalu tertabrak, dan kamu pun masih tertabrak ketika menyeberang, fa aqluka munharifun (maka akalmu miring).”
Dua hari ini, nama Syekh Aziz el-Kobaithi melalang melintang di majalah, koran, website dan berbagai bentuk pemberitaan lainnya di Maroko ini. Fesnews misalnya, yang mewartakan tokoh bersahaja jebolan universitas Sidi Mohamed bin Abdellah yang juga sempat melakukan penelitian tasawuf di negeri Paman Sam selama bertahun-tahun ini yang sengaja beliau (Syeikhi Aziz) kirim ke kami. Website ini menulis setentang apa yang beliau sampaikan dalam konfrensi internasional itu, sedemikian ini:
Impresi Imam Ghozali di belahan dunia Islam bagian Barat dan Afrika dalam ideologi, teologi, dan atau dalam beragama, kuat sekali. Sebermulanya, pengaruh ini lahir dari fatwa jihad di Andalus pada masa kerajaan Murobithin, hingga terjadinya peristiwa pembakaran kitab Ihya Ulumuddin dan perdebatan-perdebatan agama-ideologi, dan berkelanjutan hingga berdirinya kerajaan Muwahidin. Di akhir pragraf presentasinya, beliau menekankan akan pentingnya kembali kepada pemikiran-pemikiran yang telah di bangun oleh Imam Ghozali demi mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin di era kita sekarang ini.
Dalam pengantar pidatonya, beliau juga menyinggung tentang banyaknya persamaan antara Maroko dan Indonesia. Seperti kecintaan kepada Rasululloh Sholla Allohu Alaihi wa Sallam, Ahlul Bait, dan para Auliya. Dan sebagaimana di ketahui bahwa Maroko merupakan contoh di dataran negeri-negeri Arab, sebab keteguhannya berpegang pada dogmatis mazhab Maliki, teologi Asy’ariyyah, dan tarekat/tasawuf, sudah barang tentu sama dengan metode di negeri Indonesia ini.
Jikalaulah keadaannya sudah sedemikian ini, dan kalaulah keduanya bekerja sama dalam berbagai ruang lingkupnya, maka keduanya seperti sebuah pesawat yang mampu membawa atau merangkul umat Islam.
Dan tak lupa, beliau juga mengingatkan bahwa berpegang pada tasawuf sebagai jalan atau mediasi untuk melakukan perubahan menuju kebaikan, baik secara individual, sosial, dan kemudian dunia, dan menggabungkan antara Syariat (fiqih) dan Hakikat (tasawuf) demi terealisasinya keseimbangan yang kemudian melahirkan muslim moderat adalah sebuah keharusan.
Dan begitu juga halnya dalam melakukan mobilisasi kajian-kajian tasawuf untuk mengekstraksi metode para ulama dalam tazkiah (penyucian) dan mendidik untuk mengkader para pemuda terbaik sebagai generasi.