Sedang Membaca
Para Pelempar Hadis
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Para Pelempar Hadis

Titimangsa 1989, ulama Salafi yang berpengaruh dan produktif, Muhammad al-Ghazali (w. 1996) melakukan sesuatu yang tidak terpikirkan. Dia menulis serangkaian kritik tajam terhadap pengaruh Wahhabi atas keyakinan Salafi. Al-Ghazali merasa gelisah. Dia semakin kesal atas antirasionalisme dan kebejatan mereka yang mengaku sebagai kaum Salafi, dan kaum skipturalis puritan pada umumnya.

Meskipun sadar akan pengaruh Wahhabi pada Islam kontemporer, Al-Ghazali tidak berani mengkritik Wahhabi secara eksplisit atau langsung.

Sebaliknya, dia menyebut mereka sebagai Ahlul Hadits era modern, dan dia benar-benar mengkritisi apa yang dia juluki sebagai literalisme, antirasionalisme, dan pendekatan mereka atas teks-teks Islam yang antiinterpretasi.

Ahlul Hadits merupakan ungkapan halus yang merujuk pada gerakan literalis dalam sejarah Islam yang mengklaim sungguh-sungguh mengikuti tradisi Nabi Muhammad Saw dan juga menggunakan penafsiran dan nalar, tanpa pengaruh “yang merusak”. Ahlul Hadits menyibukkan diri mereka dengan menghimpun, mendokumentasi, dan meriwayatkan hadis-hadis yang dinisbahkan kepada Rasulullah Saw dan para sahabat, dan mengklaim bahwa mereka menyandarkan penilaian hukum mereka pada pelbagai hadis ini, tanpa tercampuri oleh subjektivitas manusia.

Pada abad ke-4 H./ke-10 M., terdapat keserupaan yang kuat antara pengikut Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H./855 M.), pendiri mazhab Hanbali, dan Ahlul Hadits –walaupun Ahlul Hadits menyatakan tidak mengikuti mazhab mapan mana pun dan hanya menjadi pengikut kebenaran.

Kemiripan ini sangat rekat seringkali, sehingga pada satu periode waktu tertentu, istilah Ahlul Hadits merujuk pada para sarjana Hanbali yang literalis dan suka menerjemahkan hukum secara kaku. Yang terpenting, dalam tradisi yurisprudensi, Ahlul Hadits merepresentasikan pikiran tertutup, konservatisme dan kebodohan.

Baca juga:  Maryam dari Basrah

Bagi Al-Ghazali, pada zaman dan eranya, pendekatan kaum Salafi terhadap teks-teks Islam betul-betul mengingatkannya pada literalisme Ahl al-Hadits pada periode pramodern, yang suka mewicarakan hal-hal detail menyangkut aturan tertentu dan menentang setiap orientasi rasionalis di dalam Islam.

Dengan menggunakan istilah Ahlul Hadits untuk mendeskripsikan kaum Wahhabi, Al-Ghazali juga sedang menyentil kontroversi historis lama antara apa yang disebut sebagai kalangan “ahli farmasi” dan kalangan “dokter” Islam. Menurut sejumlah sarjana klasik, mereka yang menghimpun dan meneruskan hadis, Ahlul Hadits, ibarat ahli obat yang membuat dan memelihara bahan kimia, namun tidak tahu bagaimana cara mendiagnosis suatu penyakit atau menentukan obat secara tepat.

Sementara itu, para ahli hukum lebih mirip dengan dokter, yang menggunakan bahan yang disuplai oleh ahli farmasi, tetapi juga memanfaatkan pengetahuan dan penguasaan yang lebih baik untuk memberi pengobatan atas suatu penyakit tertentu.

Demikian pula, Al-Ghazali yakin bahwa Ahlul Hadits era modern, yang juga dia sebut sebagai kaum tradisionis, tahu bagaimana menghimpun dan menghafal hadis, namun tak tahu bagaimana mengolah bahan-bahan sumber itu dengan metodologi hukum, demi menghasilkan yurisprudensi.

Para tradisionis (yaitu, ahli farmasi) tidak mengerti bagaimana mengaplikasikan metode-metode hukum pada bahan-bahan mentah itu, bagaimana menyeimbangkan antara bukti yang saling bersaing dan bertentangan, bagaimana menimbang tujuan-tujuan hukum di hadapan alat atau sarana, bagaimana menilai kepentingan pribadi di hadapan kepentingan publik, bagaimana menganalisis ketegangan antara aturan-aturan tertentu dan prinsip hukum tertentu, bagaimana menyeimbangkan antara penghargaan atas preseden dan tuntutan akan perubahan, bagaimana memafhumi alasan-alasan di balik perbedaan pendapat, dan bagaimana mengkaji banyak kepelikan yang menyertai proses penetapan suatu putusan hukum.

Baca juga:  Rasulullah Sang Pendidik Terbaik

Al-Ghazali berpendapat bahwa kalangan tradisionis tidak terdidik dalam bidang teori hukum atau seluk-beluk metodologi hukum, dan oleh karena itu, tidak memenuhi syarat untuk mengeluarkan putusan hukum.

Kenyataannya, menurut al-Ghazali, ketika para tradisionis ini melangkahi yurisprudensi dan berupaya mempraktikkan hukum, mereka pada akhirnya bertindak sebagai pelempar hadis–yakni, melemparkan hadis-hadis kepada lawan-lawan mereka untuk mengalahkannya.

Arkian, al-Ghazali menahbiskan kaum Wahhabi sebagai tak lebih dari para pelempar hadis-hadis Nabi. Para pelempar hadis, karena kebodohan mereka akan teori dan metodologi yurisprudensi, memperlakukan hukum dengan gaya oportunistik dan tak keruan.

Mereka melacak ribuan pernyataan dan ucapan yang dinisbahkan pada Nabi, demi menemukan apa pun yang bisa mereka gunakan untuk mendukung sikap yang sudah terbentuk dan ditentukan sebelumnya. Dalam kenyataannya, mereka memanfaatkan hadis-hadis yang diriwayatkan mengenai Nabi dengan cara semena-mena dan semaunya, guna mengafirmasi pandangan apa pun yang ingin mereka dukung.

Akibatnya, sikap tradisionis (atau pelempar hadis) ini sering berujung pada merancukan kebiasaan serta preferensi kultural mereka dengan hukum Islam. Mereka suka memilih-milih dalam memungut pelbagai bukti yang mendukung bias budaya mereka, dan kemudian mengklaim bahwa praktik budaya itu adalah bentuk hukum Islam yang diperintahkan.

Al-Ghazali menegaskan bahwa lantaran orang-orang ini tidak bertindak sesuai dengan metodologi yang ketat, atau pendekatan yang berpegang pada prinsip tertentu dalam memikirkan Kehendak Allah Swt, mereka ujung-ujungnya merusak hukum Islam.

Baca juga:  Nabi dan Perang

Al-Ghazali tidak hanya menuduh Ahlul Hadits  atau kaum tradisionis–akhirnya, kaum Wahhabi–sebagai kelompok yang merusak hukum Islam. Dia mengecam Ahlul Hadits  modern, atau kaum Wahhabi, karena mereka menghidupkan fanatisme yang mencemarkan citra Islam secara global.

Al-Ghazali mengingatkan kita bahwa sumber kegagalan umat muslim berada pada diri mereka sendiri. Dia menandaskan bahwa kegagalan untuk mendemokratisasi, menghargai hak asasi, memodernisasi, dan membela reputasi Islam di dunia bukanlah produk dari konspirasi jagat yang membenci Islam.

Menurutnya, jika umat muslim menyalahkan orang lain atas kegagalan yang mereka alami, ini bertentangan dengan etika Islam; umat muslim seyogyanya melihat ke dalam diri mereka sendiri.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top