Menurut Pew Research Center dalam surveynya di 27 negara pada tahun 2019 tentang bagaimana orang melihat peranan agama, 83 % warga Indonesia menganggap agama memainkan peran yang lebih penting saat ini dibandingkan 20 tahun yang lalu. Hal tersebut berbanding terbalik dengan kondisi secara umum di Amerika Utara, Eropa, dan Australia di mana mayoritas warga di sana melihat bahwa agama memainkan peran yang kurang penting dibandingkan dengan 20 tahun yang lalu.
Angka 83 % di Indonesia adalah angka yang tertinggi di antara 27 negara yang disurvey, sementara warga Spanyol, Jepang, dan Kanada yang menganggap agama memainkan peran penting saat ini dibandingkan dengan 20 tahun yang lalu hanya sebanyak (secara berurutan) 7, 8, dan 12 % (lihat https://www.pewtrusts.org/en/trust/archive/summer-2019/how-people-view-religions-role).
Survey Gallup pada tahun 2009 bahkan menyebutkan bahwa 99 % warga Indonesia menganggap bahwa agama adalah bagian yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Survey tersebut juga mengindikasikan bahwa religiusitas paling tinggi ditemukan di negara-negara miskin dan berkembang, seperti Bangladesh, Somalia, Etiopia, dan Niger di mana 100 % warganya menganggap agama sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, mayoritas warga di negara-negara maju, seperti Swedia, Denmark, Norwegia, Jepang, Inggris, dan Finlandia menganggap agama tidak memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari (lihat https://news.gallup.com/poll/142727/religiosity-highest-world-poorest-nations.aspx).
Hasil survey-survey tersebut untuk melihat kondisi di Indonesia sebenarnya bersifat netral, dalam artian bahwa agama tidak dapat dijadikan sebagai, misalnya, faktor penyebab kemiskinan di Indonesia. Survey Pew Research Center, misalnya, memperlihatkan bahwa di negara maju seperti Prancis, sebanyak 39 % warganya melihat bahwa agama memainkan peran yang lebih penting saat ini dibandingkan 20 tahun yang lalu. Sementara itu, dalam survey Gallup, bahkan untuk ukuran negara maju, 70 % warga Singapura, 69 % warga Amerika Serikat, dan 55 % warga Austria menganggap bahwa agama adalah bagian yang penting dalam kehidupan sehari-hari.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa banyak warga negara-negara maju juga masih menganggap agama sebagai sebuah aspek penting dalam kehidupan, yang artinya juga bahwa tidak ada korelasi langsung antara, misalnya, religiusitas dengan kemiskinan.
Kengeyelan Karena Agama?
Namun, dalam pandemi Covid-19 saat ini ada beberapa indikasi bahwa faktor-faktor keagamaan tertentu memiliki pengaruh yang negatif dalam pencegahan penyakit tersebut. Sebelum kita melihat Indonesia, kita akan melihat bagaimana negara-negara lain juga memiliki beberapa pengalaman kontra-produktif dalam hubungan antara agama dan pandemi Covid-19.
Seperti yang kita ketahui, langkah-langkah pencegahan untuk mengurangi kemungkinan tertular Covid-19 antara lain adalah dengan tinggal di rumah, menghindari perjalanan dan kegiatan publik, mencuci tangan menggunakan sabun, dan menghindari menyentuh mata, hidung, atau mulut dengan tangan yang tidak dicuci. Untuk pencegahan publik yang lebih luas, strategi social distancing sangat signifikan untuk mengurangi kontak orang yang terinfeksi dengan kerumunan besar dengan cara menutup sekolah, tempat kerja, tempat ibadah, dan membatalkan pertemuan massal.
Tetapi, dalam praktiknya ternyata tidak mudah melaksanakan langkah-langkah pencegahan di tingkat masyarakat yang luas. Di Bangladesh, misalnya, pada tanggal 18 Maret 2020 puluhan ribu umat Muslim berkumpul di Raipur untuk menghadiri acara doa bersama untuk mencegah penyebaran Covid-19. Menurut kepala polisi setempat, sebenarnya pihak berwenang tidak memberikan izin untuk mengadakan acara tersebut. Namun, dalam praktiknya, pemuka agama di kota tersebut justru mengajak warga untuk bergabung dalam acara doa bersama tersebut sebagai bentuk perlindungan dari Covid-19 (lihat https://www.bbc.com/news/world-asia-51956510).
Tidak hanya di Bangladesh, di Nigeria pihak berwenang juga mengalami kesulitan menghadapi keteguhan hati kelompok-kelompok keagamaan, dalam hal ini pihak gereja. Salah satunya adalah pernyataan ketua the Christian Association of Nigeria (CAN) yang mengatakan bahwa larangan kegiatan keagamaan massal di gereja tidaklah perlu: “Kami percaya bahwa kami tidak akan pernah sampai pada titik di mana kami harus melarang semua layanan [di gereja], dan bahwa gereja akan ditutup” (lihat https://qz.com/africa/1821361/coronavirus-lagos-nigeria-shuts-schools-ban-public-gatherings/).
Tidak di hanya di negara-negara miskin atau berkembang seperti Bangladesh dan Nigeria, di negara maju seperti Amerika Serikat pun, seruan-seruan untuk mengadakan acara keagamaan yang melibatkan masyarakat luas untuk mencegah penyebaran Covid-19 juga marak dilakukan oleh kelompok-kelompok keagamaan. Salah satunya adalah seruan Pastor Rodney Howard-Browne yang mendorong para jemaatnya untuk saling berpelukan, dengan menentang protokol peringatan kesehatan terhadap kemungkinan penularan Covid-19. Senada dengan banyak pernyataan dalam Islam bahwa kematian adalah takdir Tuhan, sang pastor juga mengatakan: “Tuhan akan melindungi kita … dan jika Anda meninggal, Anda akan bersama dengan Yesus … lalu, apa masalahnya” (lihat https://nypost.com/2020/03/17/evangelical-pastor-mocks-pansies-wont-close-church-for-coronavirus/).
Masih di Amerika Serikat, peringatan Saint Patrick’s Day dalam bentuk parade yang juga secara resmi ditunda oleh pihak berwenang, ternyata tetap dilangsungkan oleh sebagian orang di Kota New York pada tanggal 17 Maret 2020 (lihat https://nypost.com/2020/03/17/small-group-marches-for-st-patricks-day-in-nyc-amid-coronavirus-crisis/). Saint Patrick’s Day sendiri adalah perayaan keagamaan dan budaya yang diadakan pada tanggal 17 Maret setiap tahunnya yang bertepatan dengan tanggal kematian Santo Patrick (c. 385 – c. 461), seorang santo dari Irlandia. Saint Patrick’s Day dijadikan sebagai hari raya umat Kristiani pada awal abad ke-17, dan diperingati oleh Gereja Katolik, Gereja Anglikan (terutama Gereja Irlandia), Gereja Ortodoks Timur, dan Gereja Lutheran.
Bagaimana dengan Indonesia? Kita tahu bahwa walaupun acara Jamaah Tabligh (JT) di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan akhirnya dibatalkan oleh pihak berwenang, tetapi ribuan anggota JT sudah sejak beberapa hari sebelumnya berkumpul di lokasi acara dengan menghiraukan larangan untuk mengadakan kerumunan publik. Selain itu, misa penahbisan Uskup Ruteng di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur tetap berlangsung meski pihak berwenang sudah meminta acara tersebut ditunda karena berpotensi terjadi penularan Covid-19. Kita juga tahu bahwa ada banyak kerumunan publik lainnya dalam acara-acara keagamaan yang tetap berlangsung walaupun sudah ada himbauan atau bahkan larangan dari pihak berwenang. Apakah tingkat religiusitas yang tinggi dari warga Indonesia menjadi penyebab kondisi tersebut?
Konservatisme Keagamaan Penyebabnya?
Dalam tulisan saya sebelumnya di Alif (https://alif.id/read/yp/sekularisme-konservatisme-keagamaan-dan-birokrasi-otoritarian-di-indonesia-b224559p/), saya menjelaskan bahwa konservatisme keagamaan marak terjadi di dunia saat ini, termasuk di negara-negara maju. Di Amerika Serikat, misalnya, ia ditandai oleh kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016, dan di Inggris, ia ditandai dengan adanya Brexit, atau keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa pada tahun 2016. Keduanya mengindikasikan fenomena yang semakin berkembang di seluruh dunia, yaitu bahwa dunia menjadi semakin religius.
Di tulisan tersebut saya juga menjelaskan bahwa religiusitas sering dibangun di atas ketidakpuasan. Transformasi sosial yang cepat yang ditandai oleh industrialisasi, urbanisasi, dan modernisasi dapat menghasilkan kekecewaan di antara segmen masyarakat tertentu, seperti kaum muda, kelompok borjuis kecil, dan anggota kelas menengah lainnya yang mengalami frustrasi dalam mobilitas sosial dengan cara melawan cara hidup modern (Ismail 2006, 11-13).
Dalam kengeyelan terhadap langkah-langkah pencegahan Covid-19, terutama ketika kelompok-kelompok keagaaman tetap melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan yang melibatkan kerumunan publik, di sana terlihat bahwa baik di negara miskin, berkembang, atau maju, dan dalam beragam agama (dalam contoh yang saya sampaikan hanya Islam dan Kristen), argumen-argumen konservatisme keagamaan sering bermunculan di antara kelompok-kelompok keagamaan tertentu yang ditandai dengan pemahaman literal yang sangat ketat karena dikaitkan dengan teks-teks suci, dogma, atau ideologi tertentu, dan perasaan yang kuat tentang pentingnya mempertahankan perbedaan antara kelompok-kelompok keagamaan tertentu dengan kelompok-kelompok keagamaan lainnya. Ini artinya, seperti yang sudah saya jelaskan di atas, tingginya religiusitas warga Indonesia sebenarnya bersifat netral. Dalam artian bahwa religiusitas tidak dapat dijadikan sebagai penyebab kengeyelan. Namun, salah satu bentuk religiusitas yang membahayakan, yaitu konservatisme keagamaan, adalah yang justru berperan besar dalam terciptanya kengeyelan tersebut.
Dalam kaitannya dengan situasi pandemik Covid-19 sekarang ini, pada kasus-kasus di atas, nilai-nilai konservatif sangat didasarkan pada kepercayaan agama tertentu, dan upaya-upaya tersebut secara umum ditekankan pada peningkatan peran agama dalam kehidupan publik, bukan hanya dalam ranah privat (Petersen 2005). Secara umum, kaum konservatif menyukai institusi dan praktik yang telah berevolusi secara bertahap dan merupakan manifestasi dari kesinambungan dan stabilitas yang dilembagakan untuk mempertahankan identitas keagamaan mereka.
Kengeyelan kelompok-kelompok keagamaan tertentu dalam menentang langkah-langkah pencegahan untuk mengurangi kemungkinan tertular Covid-19 yang telah dikampanyekan oleh pihak berwenang di seluruh dunia mengindikasikan bahwa ada permasalahan serius pada kelompok-kelompok keagamaan tersebut yang condong dengan pemahaman keagamaan yang konservatif. Keyakinan untuk berserah diri kepada Tuhan sebenarnya bukanlah sesuatu yang negatif, bahkan ia sebenarnya menjadi sebuah keniscayaan bagi pemeluk agama. Tetapi, ketika hal tersebut menjadi tindakan yang kontra-produktif dengan protokol pencegahan sebuah pandemi, dan berpotensi menyebabkan pandemi tersebut memiliki dampak penyebaran yang semakin meluas, tentu saja ia menjadi bertentangan dengan keyakinan untuk berserah diri kepada Tuhan yang dijalankan oleh kelompok-kelompok keagamaan lainnya yang cenderung moderat.
Dalam banyak kasus sebelum masa-masa pandemi ini, konservatisme keagamaan yang pada akhirnya melahirkan pemahaman dan praktik keagamaan yang sempit, sering kali menjadi penyebab dasar, pemicu, atau bahkan penyebab utama perselisihan-perselisihan dan konflik-konflik atas nama atau bernuansa agama. Jika pandemi ini terus berlangsung lama—tentu saja kita tidak berharap seperti itu—saya khawatir bahwa argumen-argumen keagamaan konservatif ini akan tetap menjadi penghalang dalam pencegahan penularan Covid-19, apalagi jika ia diserukan oleh pemuka agama populis yang memiliki banyak pengikut dan juga politisi populis yang gemar mencari panggung politik untuk kepentingan pribadi mereka. Pihak berwenang harus bisa bersikap tegas menyikapinya sebelum terlambat, dan warga beragama yang cenderung moderat harus ikut aktif mencegahnya.