Sedang Membaca
Seabad Usmar Ismail (3): Ia Tetap Asing
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Seabad Usmar Ismail (3): Ia Tetap Asing

Whatsapp Image 2021 03 30 At 5.39.43 Pm

Pada babak akhir pendudukan Jepang, Usmar Ismail mulai mengerti puisi-puisi bermisi bangsa-negara kadang bermuslihat. Ia sempat menjajakan sastra propaganda tapi menjadikan peristiwa 1945 sebagai penentuan pembuatan jalan lain. Usmar Ismail merasa tak wajib bergerak melulu dalam puisi.

Di geliat-geliat revolusi, kesadaran atas beragam perubahan dan ketakjuban-ketakjuban zaman diolah Usmar Ismail dalam teks pementasan teater. Puisi tak lagi memadai.

HB Jassin dalam bunga rampai Gema Tanah Air (1948) memberi uraian: “2,5 tahun pendudukan Djepang merupakan masa perubahan dalam tjorak kesusasteraan Indonesia. Oleh perkenalan dengan kedjadian-kedjadian jang hebat dan oleh larangan sensur Djepang, kesentimentilan jang dianggap melemahkan semangat, dilempar kekerandjang sampah. Kesengsaraan dan penderitaan jang sudah dialami dan perkenalan jang lebih dekat dengan maut sesudah proklamasi Indonesia merdeka memberi isi kepada banjak pengertian-pengertian tentang hidup dan mati jang tadinja hanjalah perkataan belaka. Angkatan perang telah mengalami sendiri kepahitan hidup dan tidak hanja melihat dari kesamaran pandangan seorang djedjaka jang didendang lagu asmara.” Usmar Ismail masih muda memilih tak terlalu terjerat di keasmaraan tapi mengartikan gairah revolusi dengan idiom-idiom religius. 

Ia tak menggubah puisi-puisi ingin berselerakan agama atau mendakwahkan keislaman tapi memberi petunjuk tentang pergumulan batin dalam menerjemahkan sastra-religius. Pada masa pendudukan Jepang, HB Jassin menganggap Usmar Ismail termasuk “pengarang jang produktif.” Anggap itu perlahan berubah saat Usmar Ismail memilih berfilm ketimbang menempuhi jalan panjang puisi. Di Gema Tanah Air, dua gubahan prosa Usmar Ismail dipilih HB Jassin turut dalam “penggemaan” sastra berlatar pendudukan Jepang dan revolusi. Kita diingatkan sejenak ada kemauan menggarap prosa, selain Usmar Ismail keranjingan berpuisi menghasilkan buku Puntung Berasap (1950). Episode berpuisi mengesankan kemungkinan pengesahan bagi Usmar Ismail masuk dalam Angkatan 45 meski memilih “selesai”, sebelum besar dan berpengaruh.

Baca juga:  Urwah dan Afra: Kisah Cinta Generasi Tabi’in yang Berakhir Duka Lara

Usmar Ismail untuk tegak sebagai tokoh sastra terasa sulit setelah para pengamat dan kritikus sastra mengabaikan sodoran-sodoran sastra belum dianggap pembaruan. Usmar Ismail bukan pembaharu. Kemauan bersastra kadang masih tercatat tapi belum masuk pengakuan memberi pikat. Sapardi Djoko Damono dalam buku berjudul Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan (2003) mencatat para penggubah puisi jelang Indonesia merdeka tampak lantang dan gumregah. Mereka menulis puisi-puisi menghindari propaganda tapi sanggup mematangkan imajinasi-imajinasi kebangsaan, kemanusiaan, dan kemodernan. HB Jassin membahasakan dengan “ekspresionisme”. Perkara itu terwakili oleh Chairil Anwar. Di pengamatan Sapardi Djoko Damono, puluhan puisi Usmar Ismail tak terlibat jauh dalam pembesaran “ekspresionisme”.

Kita membuka Puntung Berasap (1950) dan mengutip puisi berjudul “Laguku” digubah Usmar Ismail pada akhir 1944. Ia menulis dalam gejolak tapi gagal segarang Chairil Anwar. Kita simak: Betapa tidak/ laguku sedih, suka, ketjewa/ padam bagai sumbu lilin/ didjepit mati / djari tidak mengerti/ hingga terkadang/ hilang pertjaja pada sesama/ tak ada rasa sesama/ aku/ orang asing dialam asing/ lalu/ kubiarkan laguku tjorak segala/ padam/ aku surut/ kedalam gua hati/ tempat mengerti. Ia meninggalkan masa-masa menggelegak dititipi seruan-seruan Jepang. Usmar Ismail mengerti ada keinsafan mengatasi segala muslihat dan mengarahkan diri dalam deru pemuliaan Indonesia. Ia justru tak bergerak jauh dengan “massa” tapi mengabarkan kedirian.  

Baca juga:  Haul ke-14 Edward Said: "Seseorang Telah Mengubah Susunan Mawar Itu"

Kita berganti mengutip puisi berjudul “Skeptikus”. Puisi mungkin menjauhkan “semangat” saat didamba kaum muda pada 1945. Usmar Ismail agak terbujuk filsafat, menaruh dalam puisi secara gampang: Kau ragui segala hidup/ Kau ragui kuat dan lemah/ Tapi hidup itu djuga jang kau budjah/ Engkau orang si banjak-tanja. Kita membaca kegelisahan sosok muda sedang mengalami perang tapi memiliki jurusan jauh dalam merenungkan filsafat kemanusiaan sedang kocar-kacir. Usmar Ismail tak memerlukan diksi-diksi politis saat menjelang Indonesia merdeka. Pilihan berbelok jauh dibandingkan dengan babak menerjemahkan seruan-propaganda Jepang (1942-1943). Pada 1945, Usmar Ismail menulis puisi berjudul “Keadaan”. Kita jangan membaca dengan gema raihan kemerdekaan. Di situ, pembaca menemukan puisi mau berjarak jauh: Lekas pudar njala/ pelita/ dalam kamar dingin/ tidak ada angin/ api/ bisa memanaskan/ kamar jang reda hawa/ minjak tanah mengawang/ dalam ketidak-ada! Puisi-puisi itu melelahkan. Kita menduga Usmar Ismail memilih kesudahan saja ketimbang berlanjut menekuni puisi. 

Aoh K Hadimadja dalam buku berjudul Beberapa Paham Angkatan 45 (1952) memerlukan mengusut masalah puisi atau prosa sebagai pilihan bagi kaum muda mengungkap beragam hal sejak masa sebelum perang sampai babak kemerdekaan. Aoh K Hadimadja menjelaskan: “Sesuatu karangan jang melukiskan rintihan djiwa, kelemahan, kesempitan pemandangan terbit dari hati jang menangis nistjaja menimbulkan perasaan. Disinilah pertimbangan moral menjusul, masjarakat Indonesia sudah terlampau penuh dengan rintihan dan memerlukan kekuatan. Maka adalah tugas sosial pengarang melatih djiwanja mendjadi orang jang sadar dan kuat, agar supaja sesuatu jang memantjar kelak dari batinnja itu menundjukkan bukan seseorang jang lemah. Keindahan dan moral itu bantu-membantu, menegakkan sesuatu hasil-seni jang kokoh.” Gubahan-gubahan Usmar Ismail kadang menempatkan puisi dalam kebalikan menggelegak dan pembesaran semangat. 

Baca juga:  Mengenal Syekh Abdul Ghani al-Bimawi al-Jawi

Puisi demi puisi telah digubah dan dipublikasikan tapi Usmar Ismail jarang jarang masuk perbincangan sastra. Buku-buku garapan A Teeuw, HB Jassin, Ajip Rosidi, Subagio Sastrowardoyo, dan lain-lain memang jarang memberi halaman atau bab untuk Usmar Ismail berpuisi. Kita buktikan dengan membaca buku berjudul Puisi Indonesia Modern (1987) susunan Ajip Rosidi. Pengisahan sejarah perpuisian sejak masa 1920-an sampai 1980-an tak memiliki tempat bagi pembahasan puisi-puisi gubahan Usmar Ismail. Ia tetap saja nama asing dalam kesusastraan Indonesia. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top