Ilmuwan muslim kedua yang meneruskan tradisi intelektual permusikan Islam adalah al-Farabi (latin: Alpharabius). Keilmuan al-Farabi yang paling disorot bahkan adalah minatnya terhadap filsafat dan musik, meskipun tak menampik rumpun keilmuan lain yang juga ia tekuni.
Ia telah membukukan berbagai karya tentang filsfafat dan logika secara eksplisit dan bertahap. Sementara pada musik bukunya Musiqa al-Kabir menjadi karya musik paling fenomenal abad pertengahan yang menjadi ciri khas dasar musik Arab sampai sekarang.
Al-Farabi adalah pakarnya para filsuf. Dunia menjulukinya guru kedua dalam filsafat setelah Aristoteles sebagai guru pertama. Julukan tersebut tidak lain karena al-Farabi bergulat dengan pemikiran Aristoteles secara mendalam, mempelajarinya, memberikan komentar dan syarah serta menulis pemikirannya sendiri. Dalam Islam, para sarjana filsafat meruntut sanad filsafat Islam yang pada hilirnya ia nisbatkan pada al-Farabi. Ia memang sangat mendetail, runtut, sistematis dan juga kolaboratif terhadap filsafatnya. Pendekatan multidimensional adalah syarat mendalami suatu ilmu, al-Farabi justru melakukannya lebih itu
Ia menguasai setiap ilmu yang terhubung dengan filsafat hingga menelurkan buku-buku babon pada bidang bahasa, logika, matematika, fisika, metafisika, etika, politik hingga musik.
Kendati al-Farabi adalah seorang ilmuwan terkemuka, jejak hidupnya tidak banyak ditemukan. Ia lahir di Faryab (Transoxiana) pada 870 M dengan nama lengkapnya Abu Nashr Muhamad Ibnu Muhamad Ibnu Tarkhan Ibn al-Uzalagh. Ayah dan ibunya disinyalir sebagai keturunan Turki karena penyematan nama keluarga di belakang, namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa al-Farabi adalah keturunan Persia.
Baca tulisan terkait:
- Musik dalam Khazanah Islam
- Masih Relevankah Teori Emanasi al-Farabi
- Nala Beermatematika, Humor, dan Tantangan ke Depan
- Al-Biruni, Mencipta Teori Sains hingga Menulis Sejarah Hindu
Al-Farabi kerap berpindah-pindah kota untuk menempuh pendidikan. Di kota kelahirannya ia telah belajar banyak bahasa seperti Arab, Persia, Turki dan Kurdi, lalu pindah ke Baghdad untuk belajar sastra Arab dan logika. Ia sempat pergi ke Harran, pusat kebudayaan filsafat Yunani, tapi tidak lama ia pindah ke Baghdad lagi.
Saat berusia ke-75 tahun ia pergi ke Damaskus dan bertemu beberapa ahli sastrawan, ahli fikih, serta berkumpul dengan ahli filsuf lainnya. Ia menetap di Damaskus dan bergumul dengan ilmu hingga akhir hayatnya.
Setenar kebesaran al-Farabi pada filsafat, setenar itu pula kebesarannya dalam dunia musik. Seluruh pengetahuannya tentang musik ia curahkan dalam sebuah kitab besar “Musiqa al-Kabir”. Buku ini menjadi rujukan utama musik di Timur karena memengaruhi dasar-dasar musik Arab orisinil.
Sedangkan di Barat dan Eropa, buku al-Farabi ini menjadi satu-satunya buku musik paling fenomenal dan paling terkenal dari abad pertengahan yang juga dipelajari oleh sarjana musik dan musisi Barat. Oleh mereka, Musiqa al-Kabir diterjemahkan ke dalam Spanyol, Perancis, dan Inggris.
Penerjemah bahasa Perancis, Rudolphe d’Erlanger, mengatakan bahwa al-Farabi adalah penemu sistem notasi untuk ritme suara vokal. Sedang Fadlou Shehadi mendedikasikan diri untuk al-Farabi pada tulisan di bab ketiga bukunya Philosophies of Music in Medieval Islam, yang mengulas secara eksplisit pemikiran musik al-Farabi.
Dalam buku besar musiknya ini, al-Farabi menjelaskan hubungan interval antara nada dan petikan jari pada senar ud. Ia membahas sangat rinci ukuran dan penggabungan interval menjadi tetrachord serta penggabungan tetrachord menjadi kelompok atau tangga nada.
Di buku itu juga, al-Farabi mengklasifikasikan jenis-jenis vokal dan nada yang ia sebut sebagai “maqam” (tingkatan) yang ternyata mempunyai efek tersendiri bagi pendengarnya. Menurutnya ada 10 mqam:
Maqam pertama adalah maqam rast yang dapat menimbulkan pikiran positif. Kedua adalah maqam bayati yang dapat menentramkan dan menjadikan jiwa lapang.
Ketiga adalah maqam sikah yang senada pada perasaan seseorang yang sedang jatuh cinta. Keempat adalah maqam saba yang membuat perasaan haru dan menyentuh. Kelima adalah maqam hijaz, maqam yang memunculkan emosi dalam jiwa dari yang berasal dari pengalaman seseorang.
Keenam adalah maqam nahwand yang cocok digunakan untuk merenung atau tempat berpkir. Ketujuh adalah maqam jiharkah yang memberikan kesan manis dan mengharukan. Delapan adalah maqam ‘ajam, menimbulkan keceriaan dalam jiwa.
Sembilan adalah maqam kûrd, yang mampu membuat terbahak-bahak. Terakhir adalah maqam ‘iraqi, yang menandakan sebuah peristiwa yang genting dan menyeramkan.
Sepuluh maqam nada rincian al-Farabi ini pada perkembangannya menjadi kurikulum wajib ketika mempelajari ilmu qiraat atau seni baca Al-Qur’an yang hingga kini masih marak dipelajari.
Al-Farabi bukan saja terkenal mahir merumuskan teori musik, tapi juga tersohor sebagai seorang yang sangat piawai memainkannya. Ia adalah musisi, sekaligus komposer lagu. Pernah suatu ketika sultan Damaskus Saif al-Daulah meminta para musisi memainkan musik, al-Farabi yang kala itu berada di sana berseloroh bahwa ada beberapa kesalahan notasi yang dimainkan para musisi sehingga terdengar kurang begitu indah.
Sang sultan yang mendengar kritik al-Farabi itu. Akhirnya memintanya untuk memainkan musik. Bak hipnotis, alunan melodi yang dimainkan al-Farabi membuat audien tertawa terbahak-bahak, kemudian menangis tersendu-sendu hingga akhirnya musik terakhir membuat mereka tertidur. Tidaklah aneh bagi sang maestro musik itu bahwa penemuannya yang jenius tetang rumusan nada maqam pada praktiknya bisa memengaruhi psikis dan biologis manusia.
Malgorzata Gratjer dalam buku The Orient of Music menyebutkan bahwa musik al-Farabi menjadi salah satu dari dua mazhab musik Arab dengan tidak mengenyampingkan versi improvisasinya.
Mazhab pertama adalah versi al-Kindi yang menyatakan musik mempunyai korelasi dengan kosmik dan dalam perkembangannya aliran ini dilanjutkan oleh Ikhwan al-Shafa yang menghubungkan kaitan musik dengan Sang Pencipta alam semesta.
Sementara itu mazhab Farabian yang kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Sina sangatlah antroposentris. Ia meyakini bahwa musik sangat berkaitan erat dengan biologis, jiwa dan psikologis manusia. Meskipun berbeda aliran, kedua mazhab itu sama-sama menggunakan musik sebagai media terapi bagi manusia.m
Musik bagi Al-Farabi adalah bagian dari hidupnya. Ia memang berkutat dengan filsafat sepanjang hayatnya, namun dunia musik tak bisa begitu saja diabaikannya. Hal ini menjadi tinjauan bagi kita hari ini bahwa antara pengetahuan dan musik, filsafat, dan musik mampu seirama dan saling bergandengan. Pantaslah jika dua gelar disematkan padanya sebagai bapak filsafat Islam dan juga tak menghalanginya menjadi “bapak musik” dalam sejarah peradaban Islam.