Alkisah, Bayazid Bastami berniat melakukan perjalanan haji. Setiap singgah di suatu kota, ia mencari seorang alim untuk mereguk hikmah dan kebijaksanaan. Ia juga menganjurkan kepada pengikutnya agar melakukan hal yang sama ketika sedang bepergian. Setelah melewati beberapa kota, Bayazid berjumpa dengan seorang kakek tunanetra. Meski mata zahirnya tak melihat, tapi mata batinnya sangat kuat dan terang bagai matahari. Dengan sekali pandang, Bayazid sudah meyakini derajat kewalian-nya.
Orang tua itu bertanya pada Bayazid: “Kau hendak pergi ke mana? Dan bekal apa yang kau siapkan” Bayazid menjelaskan bahwa ia akan menunaikan haji dan membawa 200 dirham perak. Orang tua tadi kembali berkata: “Kalau begitu, berikan bekalmu kepadaku dan bertawaflah tujuh kali mengelilingiku. Jika Kabah adalah rumah Tuhan, maka dalam hatiku Tuhan juga bersemayam”. Bayazid pun mengikuti anjuran orang alim tadi. Konon, orang tua yang dimaksud dalam cerita ini adalah Nabi Hidhir AS.
Kisah Bayazid ini diabadikan dalam kitab Matsnawi jilid 2 bait 2231-2251. Karim Zamani, salah seorang penafsir terbaik karya Rumi, dalam tafsir Matsnawi menuliskan sumber awal cerita ini terdapat dalam kitab Risalah Annur abad ke-5 Hijriah, juga dalam kitab Tazkiratul Awliya karya Syekh Fariduddin Athar Nishaburi.
Siapa yang tak mengenal nama besar Bayazid Bastami, sufi abad ke-3 Hijriah ini lahir di kota Bastam, Iran. Athar Nishaburi memberikan banyak julukan kepadanya, seperti: Hujjatul Haq Ajmain, Akbar Mashayikh dan yang paling terkenal sampai sekarang adalah Sultanul Arifin atau penghulu para sufi. Junaid Albagdadi juga pernah berkata: “Bayazid di antara kami (para sufi) seperti Jibril di antara para malaikat”. Penghormatan para tokoh tasawuf ini menunjukkan betapa Bayazid memiliki kedalaman makrifat yang tidak diragukan lagi.
Sosok Bayazid juga cukup menarik perhatian Rumi. Ali Ashraf Shadeghi, sastrawan serta ahli bahasa Persia dalam sebuah seminar di kota Shahroad mengatakan, Bayazid memiliki pengaruh kuat dalam karya Rumi, nama Bayazid sendiri disebutkan sebanyak 250 kali dalam kitab Matsnawi. Bahkan, ucapan Bayazid Ma A’zama Sha’ni menjadi topik pembuka pertemuan langit antara Rumi dan Shams Tabrizi.
Kembali pada cerita perjalanan haji Bayazid di atas. Rumi tidak hanya menyampaikan pandangan Bayazid tentang ritual haji. Ia sendiri juga menyuarakan pendapatnya yang sejalan dengan kisah Bayazid dalam Divan-e Shams atau Divan-e Kabir, ghazal ke 648:
Wahai kafilah haji, kemana engkau akan pergi, yang kau cinta ada di sini
Ia begitu dekat, melekat di dinding hatimu, usah berpayah di gurun pasir
Jika kau mampu menangkap gambaran cinta, engkalah kabah itu sendiri
Sepuluh kali telah kau kunjungi Kabah, sekali ini saja kau ziarahi diri
Kabah adalah rumah cintaNya, jika benar kau telah lihat, tunjukan jejak cinta ini
Mana bunga yang kau petik dari taman, mana permata dari lautan rahmat Ilahi
Dengan segala kepayahan yang kau lewati, harta karun itu masih saja terhalang tabir
Jika dibaca sepintas, kisah dan puisi di atas seolah memberikan kesan bahwa Bayazid maupun Rumi tidak mengindahkan ritual haji yang merupakan bagian dari rukun Islam. Namun tentu saja, anggapan itu keliru. Membaca sebuah teks sejarah, tidak cukup hanya bertempu pada teks itu sendiri. Tetapi juga perlu memahami konteks, latar belakang keilmuan, dan penjelasan teks-teks lain dari tokoh yang bersangkutan. Ada beberapa catatan menarik dalam kisah maupun puisi Rumi di atas yang bisa dijadikan bahan renungan.
Pertama, secara historis dapat dilacak, baik Bayazid maupun Rumi sudah pernah melakukan haji. Jadi, cerita di atas bukan bermakna penolakan terhadap kewajiban ibadah haji yang menjadi salah satu rukun Islam. Di dalam puisi ini, bahkan secara jelas disebutkan “Sepuluh kali telah kau kunjungi Kabah”. Artinya, pesan Rumi lebih ditujukan kepada mereka yang telah berkali-kali berangkat haji, namun belum dapat menangkap esensi dari berhaji itu sendiri, yaitu perjalanan menuju makrifat Tuhan.
Kedua, Rumi sebagaimana tokoh tasawuf lainnya, memandang setiap ritual keagamaan itu memiliki dua aspek, zahir dan batin. Dalam cerita di atas, Rumi sedang mengingatkan kembali pentingnya dimensi batiniah dalam ibadah haji. Karena ia yang akan memberikan ruh dan makna pada ibadah tersebut. Sehingga ritual yang dilakukan seseorang tidak hanya menghasilkan kelelahan fisik semata.
Rumi dalam kitab Matsnawi jilid 1 bait 377-380 mengibaratkan orang yang hanya berlomba-lomba dalam ritual tanpa mencari pemaknaan seperti seorang petani yang menyimpan gandum-gandum hasil panennya ke dalam karung, tetapi ia tidak menyadari karung-karung itu selalu dilubangi oleh tikus. Maka, kerja keras petani itu tak berbuah apapun selain kelelahan.
Ketiga, sebagian penafsir menyebutkan, orang tua dalam cerita tersebut merupakan simbol mustazafin yang perlu mendapat bantuan. Karim Zamani pada pengantar kisah tersebut, dalam tafsir Matsnawi memberikan catatan yang menarik: Menghilangkan kesedihan seseorang dan berkhidmat kepada yang membutuhkan lebih utama dari pada melakukan ibadah yang hanya bernilai zahir.
Masih sering kita jumpai di tengah masyarakat, orang-orang yang nyandu berangkat haji hampir setiap tahun. Tetapi mereka abai dengan para tetangga yang sangat membutuhkan pertolongan. Aspek sosial ibadah inilah, salah satu poin yang dipertanyakan Rumi kepada mereka yang hanya mengejar kenikmatan ibadah individual.
Keempat, haji adalah jenis ibadah yang situasional dengan tambahan kata istitho’ah, syarat inilah yang melahirkan tafsir terbuka dalam pelaksanaanya. Situasi dan kondisi tertentu dapat menjadi sebab ditundanya pelaksanaan haji. Pada masa kenabian, Rasul sendiri pernah menunda menunaikan haji karena situasi keamanan kota Mekah yang tidak memungkinkan.
Di tengah situasi pandemi seperti sekarang ini, pelaksanaan ibadah haji juga mengalami penundaan. Banyak jamaah yang sudah bertahun-tahun menanti keberangkatan, harus kembali menunda kerinduan. Bulan haji kali ini, dapat menjadi momentum yang tepat untuk semua kalangan untuk kembali mengevaluasi makna haji yang sesungguhnya. Mereka yang setiap tahun bersama keluarganya melakukan haji plus, bisa menyalurkan sebagian dananya untuk membantu mereka yang terdampak covid 19. Mereka yang baru pertama kali akan melaksanakan ibadah haji, bisa kembali mengumpulkan bekal maknawi.
Rumi dalam kitab Matsnawi jilid 3 bait 2584 pernah berpesan, setiap benda yang ada di alam ini bergerak setiap saat memuji dan bertasbih kepadaNya, maka alangkah indahnya jika kita pun dapat seirama dengan gerak alam ini. Selama ibadah haji fisik masih belum memungkinkan, kitapun bisa tetap ‘berhaji’ dari tempat kita masing-masing dengan belajar menemukan diri untuk menjumpai pantulan Tuhan di sana. Masih menurut Rumi, Kabah menjadi mulia bukan karena bangunannya sendiri, tapi kebesaran pendiri Kabah, Nabi Ibrahim AS yang telah berhasil menempuh perjalanan menuju Tuhan.