Sedang Membaca
Tradisi Bedol Desa Menjemput Haji
Irfan L Sarhindi
Penulis Kolom

Penulis lepas dan Guru di Pesantren Cianjur, Jawa Barat.

Tradisi Bedol Desa Menjemput Haji

IBADAH haji, bagi kita, masyarakat Indonesia, sepertinya bukan semata persoalan ibadah mahdah atau sekadar urusan personal perseorangan. Melainkan, ia juga fenomena sosio-kultural dan bahkan politis.

Untuk memulai, bolehlah kita tengok bagaimana gelar haji, sebagaimana simbol-simbol yang dianggap sebagai simbol Islam lainnya, acapkali digunakan sebagai pengkali nilai jual dan elektabilitas para politikus. Apalagi, ‘haji’ dalam nuansa kebatinan masyarakat kita, sering dianggap sebagai indikasi kesalehan seseorang.

Tidak semua orang berkesempatan diundang bertamu ke Tanah Suci. Pun salah satu ciri haji mabrur adalah perbaikan kualitas akhlak. Lengkaplah sudah keistimewaan yang dimiliki ibadah haji dan jemaah yang melaksanakannya. Bahkan, kendati kita bisa melacak tradisi pemberian gelar ‘haji’ hingga masa kolonialisme Hindia-Belanda, sampai hari ini sebagian dari kita, dengan haru dan bangga, tetap melestarikan prosesi ‘ganti peci’ sebagai simbol tuntasnya ibadah haji: berangkat berpeci hitam, pulang berpeci putih. Kalau perlu ganti seragam jemaah haji warna hijau dengan jubah khas Arab. Walau tentu saja itu bisa dikontestasi.

Tapi taruhlah itu dahulu. Haji sebagai fenomena sosio-kutural tidak berhenti, dan terbatas, sampai di sana saja.

Bagi masyarakat kampung seperti kami, kabar berhajinya salah seorang di antara kami, adalah kabar baik seluruh kampung. Mungkin ini berangkat dari kesadaran kolektif akan perjuangan berdarah-darah menuju Tanah Suci—jual sawah, gadaikan tanah, jual mas kawin, makan garam bertahun-tahun. Sehingga kemudian, keberhasilan yang satu akan dianggap sebagai berkah untuk semua.

Baca juga:  Mengenang Tauhid, Film Haji yang Terlupakan (1/2)

Biasanya, pada Jumat terakhir sebelum keberangkatan jemaah, nama-nama mereka akan diumumkan oleh sesepuh pondok pesantren, atau pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM). Pada hari keberangkatan, bahkan jika itu adalah dini hari, orang-orang akan berkumpul dan mengarak jemaah dari rumahnya menuju perbatasan kampung.

Di sana, adzan akan dikumandangkan. Ketika jemaah naik mobil dan bersama keluarga juga kolega menuju asrama haji, para pengantar kembali pulang.

Ritual prosesi pelepasan ini telah berlangsung bertahun-tahun. Tidak semua jemaah haji berkesempatan untuk kembali pulang, utuh dan sehat, kalau perlu ditambah koper super berat dan bertumpuk oleh-oleh.

Dengan demikian, memberi salam perpisahan yang layak, disertai doa tulus menghunjam langit, tentu amat diperlukan. Bolehlah dikata: para jemaah laiknya tentara yang dilepas ke medan perang. Pulanglah kalian, atau gugur sebagai martir. Untuk sekarang, mari beri mereka prosesi pelepasan yang layak.

Selain itu, kami juga mengoptimalisasi doa melalui tradisi tawassulan, ngaji bersama, biasanya seminggu sekali. Kami mengecek kabar haji saban waktu, tiap hari, membacai daftar nama jemaah yang meninggal. Lega ketika tidak ada nama yang kami kenal. Pertaruhan hari ini selesai. Nafas lega boleh dirayakan. Besok berdebar lagi. Setiap orang seperti bersitegang bersama maut yang mengintai keluarga mereka di tanah-tanah Hijaz, di antara perjuangan berat bersama jutaan manusia di Arafah, Muzdalifah, Mina, dan Mekah.

Baca juga:  Governing The NU: Kewargaan, Kepentingan, dan Khidmah Ingklusif

Untuk itu, ketika semua telah selesai dan jemaah haji pulang; ketika semua orang bisa bernafas lega lebih lama—seolah maut sudah tidak lagi mengintai—disiapkanlah prosesi penjemputan yang ‘tak boleh’ kalah proper dari pelepasan.

Itu kemudian kenapa kadang satu desa dibedol seolah mau berdemo di dekat asrama haji. Kalau perlu menginap di sekitar asrama haji, emperan tidak apa-apa, makan dekat got bau pesing pun tidak masalah. Anak-anak boleh tidak sekolah, kerja bolehlah bolos atau dijalani terkantuk-kantuk. Yang penting para jemaah disambut seperti pahlawan perang.

Itu sebabnya, walau jemaah haji dijadwalkan tiba pukul satu dini hari, misalnya, seperti kloter 1 dari Cianjur, sejak dua hari lalu sudah ada yang datang dan menanti.

Pukul sembilan malam parkiran sudah mulai penuh, jalanan sudah mulai macet. Tradisi bedol desa menjemput jemaah yang pulang tidak hanya berarti bolosnya sebagian anak kecil, tetapi juga pasar kaget untuk para pebisnis kaki lima: pedagang bubur, gorengan, kopi, mainan, peci, buah-buahan.

Dengan tumpah-ruahnya manusia, para petugas penjaga harus ekstra waspada. Yang masuk ke dalam lingkungan asrama haji hanya yang diberi kartu identitas khusus—satu orang per satu jemaah haji. Yang keluar nanti harus diperiksa lagi. Tas jinjing jemaah tidak boleh hilang. Penjemput yang berjejel tidak boleh berdesakan masuk.

Secara teoretis gampang. Dan prosesi penjemputan haji ini bukanlah peristiwa insidental yang terjadi sejarang komet Halley. Alih-alih, ia adalah ritual saban tahun yang sudah tidak asing. Orang-orang mestinya sudah paham, sudah tahu, apalagi yang berhajinya berkali-kali.

Baca juga:  Pertalian Bahasa Arab dan Persia

Tetapi, saking senang dan bahagianya bertemu keluarga, prosesi ini tidak pernah nir drama. Setidak-tidaknya isak-tangis. Lebih lanjut: ketidaksabaran dan caci maki terhadap petugas.

Setelah melewati gerbang pertama, kami tertahan di gerbang kedua. Jemaah haji sudah turun dari bus. Bus sudah meninggalkan asrama. Tetapi gerbang masih belum dibuka.

Sebetulnya, kami bisa menunggu. Malam masih panjang. Tidak ada deadline. Tetapi, sebagian dari kami terlalu besar antusiasmenya, sehingga pagar dirasa perlu dipanjat.

Jemaah yang ia jemput, sepertinya juga tidak kalah tergesanya sehingga ia perlu melemparkan tas jinjingnya kepada si penjemput. Arus bergerak, yang lain berteriak marah-marah, yang seorang menelepon pejabat yang ia kenal—minta tolong dan mengadu.

Tapi demikianlah ibadah haji menjelma menjadi fenomena sosio-kultural yang mengejawantah di tengah-tengah kita, menjadi ritual tahunan yang menyajikan tidak hanya cerita pengalaman luar biasa di Rumah-Nya, tetapi juga kisah-kisah remeh-temeh kami, para pengantar dan penjemput. Telah kembali, sanak famili kami, sehat dan bugar.

Besok ketika koper sudah bisa diambil, oleh-oleh akan mulai dibagi-bagi. Tetangga yang ikut bahagia mengantar dan mendoakan, akan dibagi segelas-kecil air zamzam, mencicipi kurma yang disajikan. Kami saling bertukar hadiah, bertukar cerita, dan lagi-lagi berhajinya yang satu serasa berkah bagi semua.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top