Lebaran mengingatkan makanan. Gambar itu sering ketupat. Masa demi masa, Lebaran telanjur diwartakan dengan gambar-gambar ketupat tampak di koran, majalah, televisi, spanduk, dan lain-lain. Lelaki bermulut gondrong di pinggiran Solo pernah ngambek. Gambar ketupat itu “membosankan” dan mengganggu imajinasi menikmati Lebaran secara sederhana. Lelaki itu merasa bersalah puluhan tahun. Ia mau bertobat dari makanan berlimpahan saat Lebaran. Pertobatan dijalani sekian tahun. Lebaran, ia memilih di rumah dengan sedikit makanan. Ia jarang bepergian. Lebaran janganlah disesaki pengertian-pengertian makanan dan piknik. Oh, ia mulai sombong! Ketupat itu selalu mengingatkan makanan. Ketupat bakal diikuti pasukan makanan beragam rasa, rupa, dan harga.
Di majalah Zaman edisi 10-16 Agustus 1980, kita melihat gambar ketupat di sampul. Gambar itu molek! Ketupat dengan gambar-gambar wayang. Ketupat itu pemandangan, bukan makanan. Gambar dibuat oleh Sukasno. Ketupat mengabarkan majalah Zaman sajikan edisi Lebaran. Ketupat, makanan ingin “dinasionalkan” melalu beragam acara dan tampulan rupa. Gambar itu mungkin belum mendapat saingan atau pengganti. Lelaki di pinggiran Solo pernah berpikiran memberi hak ke setiap orang atau komunitas mengajukan gambar-gambar makanan: beragam. Ia mengaku bosan Lebaran selalu gambar ketupat. Konon, ia memiliki imajinasi makanan dalam peristiwa religius di seantero Indonesia tentu macam-macam. Siapa pengusul atau pengesah Lebaran di Indonesia adalah ketupat? Ia malas menjawab.
Sekian tahun, ia memilih mengartikan Lebaran itu dolan sejenak ke toko buku. Ia berpamitan pada keluarga untuk membeli buku baru menandai Lebaran. Ia pun minta izin tak mengikuti acara-acara piknik atau makan bersama di suatu tempat. Lebaran, ia cenderung ingin mengalami waktu sehari-semalam dengan khatam buku. Ia berjanji mengurangi makan dan minum “selera” Lebaran seperti ditampilkan orang-orang. Jeda dari membaca, ia menulis esai-esai wagu. Peristiwa-peristiwa itu ingin menghindari kemutlakan Lebaran dengan melihat ketupat di meja makan. Lelaki itu memang sombong! Ketupat sering meminta ada telur dan daging. Ia gagal berargumentasi tapi sesumbar: Lebaran itu buku, bukan ketupat.
Tempo edisi 11 Agustus 2013 memuat berita kecil mengenai Waldjinah dan ketupat. Waldjinah diberitakan tak bersama keluarga saat Lebaran, 2013. Tokoh keroncong itu pergi ke Suriname untuk “menembangkan lagu langgam Jawa, hadir dalam peringatan Imigrasi Orang Jawa ke Suriname ke-123.” Di Suriname, Waldjinah memiliki penggemar. Orang-orang Jawa di sana suka melantunkan Walang Kekek, Yen Ing Tawang Ana Lintang, Entit, dan Jangkrik Genggong. Waldjinah bakal di negeri jauh tapi menjanjikan ingin menebus kangen tanah air dengan bersantap ketupat di Suriname. Oh, orang-orang Jawa di sana pun memiliki tradisi ketupat. Sejarah dan pemaknaan ketupat dibawa saat para leluhur bermigrasi, dari Jawa ke Suriname.
Berita itu mengarahkan kita membuka buku berjudul “Indonesia” Pada Pantai Lautan Atlantik: Tindjauan Tentang Kedudukan Ekonomi dan Sosial Bangsa Indonesia di Suriname (1955) susunan Yusuf Ismael. Kutipan pendek: “Selama bulan puasa, tiap malam diadakan traweh di surau atau mesdjid, djuga oleh mereka jang tidak turut berpuasa dan oleh anak-anak.” Buku itu “lupa” tak menjelaskan Lebaran di Suriname. Kita tak menemukan diksi Lebaran dan ketupat. Pada abad XXI, kita berimajinasi Lebaran di Suriname dibingungkan oleh beragam makanan: ketupat, kue, roti, dan lain-lain. Lebaran di Indonesia saja sudah tak terlalu ketupat. Di meja, kita mulai terbiasa melihat makanan-makanan diusahakan “religius” berlatar Lebaran. Sekian makanan itu kemasan: pembelian di toko atau mendapatkan bingkisan dari kantor. Begitu.