Sedang Membaca
Sajabijah, Orang Nusantara yang Tinggal di Arab Era Umar bin Khattab
Kholili Kholil
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Lirboyo-Kediri. Saat ini mengajar di Pesantren Cangaan Pasuruan, Jawa Timur.

Sajabijah, Orang Nusantara yang Tinggal di Arab Era Umar bin Khattab

Saat sedang membuka Tarikh Thabari di bab yang menjelaskan efek Perang Jamal di Madinah saya menemukan keterangan begini:

“Di antara kejadian di masjid itu adalah: Muhammad bin Thalhah—ia ahli ibadah—kebetulan hendak salat di dekat tempat Utsman bin Hunaif berdiri. Sebagian orang Zuthth dan Sayabijah khawatir Muhammad bin Thalhah datang untuk maksud lain..dan seterusnya.”

Zuthth adalah “gipsi”-nya India. Maka perhatian saya tertuju kepada kata “Sayabijah”. Biasanya, kata-kata aneh begini menyimpan misteri. Apalagi kata Sayabijah ini belum pernah saya temui di kitab tarikh sebelumnya.

***

Dalam kamus Lisanul Arab, Ibnu Manzhur berkata bahwa kata Sayabijah juga terkadang disebut dengan Sababijah (سبابجة). Kedua kata ini adalah bentuk jamak dari kata Sabiji (سبيجي) dan kata Sabaj (سابج).

Menurut penjelasan Ibnu Manzhur, beberapa penyair Arab kuno sudah mengenal orang Sababija ini. Bahkan penyair Ibnu Mufarragh dari Kabilah Himyar dalam puisinya menyebut Sababija sebagai “jagoan”. Ibnu Duraid menyebut bahwa Sababija ini berasal dari Hind dan bekerja sebagai buruh kapal. Lebih lanjut, al-Baladzuri menjelaskan bahwa Sababijah dulu tinggal di pesisir Arab dan Persia sejak sebelum Islam. Pertanyaannya: dari manakah sebenarnya Kaum Sababijah ini?

Ketika membaca ulasan Ibnu Manzhur bahwa bentuk tunggal dari Sababijah adalah Sabaj, saya langsung menduga bahwa Sababijah ini adalah orang yang dua abad berikutnya dikenal oleh orang Arab sebagai Zabaj. Zabaj adalah sebutan orang Arab untuk Jawa atau setidaknya pesisir timur Sumatra. Jadi Sabaj adalah satu dialek yang mendahului penyebutan Zabaj.

Baca juga:  Perpustakaan Mahmudiyyah, Imam Suyuthi Serta Polemik dengan As-Sakhawi

Dugaan saya ternyata terbukti. Sejarawan tentang Asia Tenggara terkemuka, Gabriel Ferrand, menulis dalam Encyclopaedia of Islam volume empat bahwa Sababija/Sabaj adalah nama awal bagi Zabaj (baca: Zabag dan Sabag).

Zabaj sendiri menurut Prof. Gerini dalam Research of Ptolemy’s Geography berasal dari bahasa Sanskrit untuk pulau Jawa: Chavakha > Javaka > Jabaj > Zabaj. Huruf K dalam Javaka berubah menjadi huruf J dalam Zabaj karena sama seperti kata jati yang dalam bahasa Sanskrit disebut shaka dan menjadi saj dalam bahasa Arab.

Fakta bahwa Zabaj ini adalah Nusantara bisa kita lihat, misalnya, dalam Masalik wal Mamalik (Jalur dan Kerajaan) karya Ibnu Khurdadzbih ketika menjelaskan kepulauan yang terletak setelah Serandib (Ceylon) yg menengahi India dan Cina:

“Di sini ada daerah Zabaj yang dikuasai oleh Maharaja (مهراج). Di kerajaan ini juga ada pulau yang disebut Burthail yang sepanjang malam selalu terdengar suara gendang. Para pelaut menduga ada Dajjal di situ.”

Gerini berpendapat bahwa Pulau Burthail yang ramai dengan suara berisik di dekat Zabaj adalah daerah Riau. Riau, ujar Gerini, berasal dari kata riuh yang berarti ramai. Deskripsi Riau ini sangat sesuai dengan keterangan Ibnu Khurdadzbih tentang Burthail.

Baca juga:

Baca juga:  Orde Baru: Beras dan Jati Diri

Sementara, Idrisi menjelaskan bahwa Zabaj (Ranaj) ini dekat dengan sebuah gunung. Gunung ini dalam buku lain disebut terletak di Salahat dan dekat dengan Pulau Jabah. Kata Salahat ini diidentifikasi oleh para ahli sebagai selat, mungkin Selat Sumatra dan gunung itu barangkali Gunung Krakatau.

Al-Baladzuri menjelaskan begini dalam Futuhul Buldan (Pembebasan Wilayah):

“Kaum Sababijah, Zuthth, dan Andagar ini dulu termasuk tawanan dan pasukan Persia. Orang Persia menganggap mereka sebagai orang Sind (Pakistan sekarang). Ketika mereka mendengar Kaum Oswari masuk Islam, Sababija dan Zuthth mengikuti jejak Oswari dan mendatangi Abu Musa. Oleh Abu Musa mereka ditempatkan di Basrah.”

Kejadian ini kira-kira terjadi di zaman Sayyidina Umar. Di Basrah mereka bekerja sebagai penjaga gerbang (jalawiza) dan sipir penjara. Sekitar tahun 50 Hijriyah, masih menurut Baladzuri, oleh Khalifah Muawiyah beberapa orang Zuthth dan Sababijah ini kemudian dipindah ke Antakya, Turki.

***

Maka Sababijah dalam kitab-kitab tarikh yang disebut telah masuk Islam sejak zaman Sahabat Umar dan menjadi penjaga Baitul Mal di masa Khalifah Ali ini adalah orang Nusantara. Ferrand mengatakan bahwa fakta ini tidak terlalu mengejutkan, mengingat penduduk Nusantara adalah buruh kapal yang tangguh di masa itu. Bahkan beberapa di antaranya sudah mengkoloni Madagaskar sebagaimana ditulis oleh Qazwini.

Sababijah, yang juga difungsikan sebagai pengusir bajak laut di masa itu, mengingatkan saya pada sumber China yang menyebut adanya “Kun-lun Slave atau Devil Slave dalam anotasi Prof. Hirth di bukunya, Chau Ju-Kua: His Work on The Chinese and Arab Trade.

Kun-lun adalah sebutan orang China untuk wilayah kepulauan Melayu. Kun-lun Slave ini dideskripsikan sebagai budak kulit hitam yang “jika berenang mereka membuka mata.” Mirip dengan Sababijah di Basrah, Kun-lun Slave atau budak dari kepulauan Melayu di China ini selain ditugaskan di laut juga ditugaskan sebagai penjaga gerbang.

Baca juga:  Kiai Mustain Romly ingin Sakti

Baladzuri sendiri menjelaskan bahwa Sababijah tinggal di Kota Thuf yang di masa kini dikenal sebagai Bahrain dan Oman. Memang kedua daerah ini di zaman dulu terkenal dengan intensitas perdagangannya yang tinggi. Abul Faraj Ibn Jakfar dalam bukunya menyebutkan bahwa Sababija juga ditemui di Iran sejak sebelum Islam.

“Setelah Anusyirwan bin Qabadz (Raja Kekaisaran Persia) memakmurkan tiga kota besar,” tulis Ibn Jakfar. “Ia menempatkan orang Sababija untuk menjaganya.”

Maka bisa disimpulkan bahwa sebagian orang Nusantara telah masuk Islam sejak zaman khalifah rasyidah, empat khalifah pengganti Rasulullan saw. Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
2
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top