Semua hal yang dilakukan pada porsi yang sepantas dan sewajarnya, akan baik-baik saja. Tidak berlebihan, dan tidak berkekurangan. Demikian halnya dengan kesedihan. Sebagaimana keriaan, kesedihan adalah bunga kehidupan yang diadakan untuk melengkapi dan menyempurnakan kehidupan.
Dalam kacamata psikologi, sudah lama disebutkan kesedihan sangat bermanfaat bagi kehidupan. Karena kesedihan adalah salah satu dari empat emosi dasar manusia. Di mana ada keriangan atau kebahagiaan, di situ dipastikan mengintai dengan ketat kesedihan, ketakutan, dan kemarahan.
Meski bersedih sangat dimaklumkan, kesedihan yang berlarut-larut tidak selalu dapat diterima dalam budaya siapa saja. Hasilnya banyak orang tidak nyaman menyaksikan kesedihan yang tidak berkesudahan. Betapa pun kesedihan itu lahir dari tragedi yang tak terpermaknai.
Kesedihan tingkat ini, biasanya mampir ke manusia terpilih. Manusia adi, yang sanggup menerima dan mengolah hidupnya dengan tingkat kedalaman yang mencemburukan. Karena tidak semua orang sampai dan mampu berada di maqam ini. Dan dia, siapa pun dia, biasanya telah ditimpakan kelaraan dalam tingkatan yang dapat membuat orang kebanyakan seperti kita, geleng-geleng kepala. Gentar dibuatnya.
Manusia terpilih seperti ini, sangat paham sekali tidak semua doanya dikabulkan. “You can’t win them all,” demikian nasehat para bijak bestari. Karena, saat kita dikalahkah, sangat bisa jadi, kita akan sedang dimenangkan. Entah kapan. Karena semua hal terjadi untuk sebuah alasan yang kuat dan pasti.
Kesedihan tingkat ini, biasanya mengada dan menyapa manusia satu dua, yang mempunyai tingkat pemikulan atas beban cobaan hidup yang luar biasa. Dan tidak sembarang orang bisa.
Meski dalam kazanah Islam, Aidh al-Qarni dengan sangat indah lewat buku magnum opusnya berjudul La Tahzan, berujar, “La Tahzan, Innallaha ma’ana.” Artinya, jangan bersedih hati, Tuhan bersama dengan kita.
Terma ‘kesedihan’, menurut Aidh al-Qarni dinilai sudah menjadi penyakit alam semesta. Muslim atau bukan muslim, hingga ateis sekalipun pasti pernah mengalami kesedihan. Kesedihan berdasar alasan apa pun, tanpa terkecuali. Juga kesedihan mendalam karena alasan sengketa dan sengkarut politik yang sangat melelahkan, dan menelikung kemanusian sekalipun.
Jadi, jangan ‘terlalu’ bersedih. Sebab di setiap kesulitan, sejarah dengan mustahak telah mengajarkan, pasti ada kemudahan. Di setiap masa sulit, Tuhan pasti menyediakan pertolongan. Bukan semata menunggu badai pasti berlalu. Manusia adi, bahkan mampu menari di tengah badai, dengan caranya sendiri. Cara gila yang hanya mampu dilakukan manusia luar biasa. Yang menertawai tragedi dengan canda. Yang menelikung kesedihan dengan tawa.
Manusia “perkecualian, ” yang sudah selesai dengan urusan mengutuki kegelapan, dan lebih memilih merayakan percikan rayya, cahaya di atas cahaya. Karena manusia seperti ini sangat paham sekali, kesedihan akan menjadikan dan membuat dirinya, pelan dan pasti, menjadi lebih mulia, lebih elegan, lebih dewasa, dengan sendirinya.
Atau sebagaimana Fyodor Dostoevsky mendiktekan kepada kita, “Semakin gulita malam, semakin benderang gemintang. Semakin dalam kedukaan, semakin dekat Tuhan!”
Bukankah banyak risalah yang mengajarkan kepada kita, kesedihan yang bergandengan dengan kesengsaraan akan menginspirasi pemikiran mumpuni. Juga melatarbelakangi lahirnya berbagai karya susastra juga karya seni yang adiluhung.
Bahkan ada pemikiran yang menerakan, kesedihan kita adalah citra terbalik keluhuran kita. Turunannya, ada yang meyakini, demi mencapai taraf manusia paripurna, kesedihan bisa malih (berubah) rupa dan menjadi lebih indah, daripada kebahagiaan itu sendiri, jika dimaknai dengan sepenuh kejernihan. Selapang penerimaan. Seikhlas menanggungkan kelaraan.
Jadi, jangan lupa dan jangan malu untuk bersedih. Karena sebagaimana hukum alam, kesedihan akan menguatkan, mematangkan dan mendewasakan.
Huffpost juga pernah menurunkan laporan semua karya seni hebat berasal dari rasa kesedihan dan kesakitan yang tak terpermaknai. Van Gogh melukis The Starry Night saat dalam siksaan emosional tak tertanggungkan. John Lennon dan Paul McCartney menjalin kemitraan kreatif mereka setelah kematian ibunda mereka masing-masing. Demikian halnya saat penyair John Milton menulis Paradise Lost setelah kehilangan istrinya, putrinya, dan penglihatannya.
Kalau Anda mau, bisa menambahkan list sejumlah nama sohor yang melahirkan magnum opus masing-masing, yang didasari dari rasa kesedihan yang dirasakannya. Sebagaimana sejumlah nama sastrawan Rusia dengan karyakarya besar mereka. Juga sejumlah nama besar dari Indonesia. Seperti Soekarno, Hamka, juga Pramoedya.
Jangan tanyakan kesedihan macam apa yang belum mereka cicipi. Dengan kata lain, kesedihan yang dihadapi dengan tepat, akan melahirkan hasil yang hebat. Karena manusia terkuat, memilih untuk tidak mundur saat kesedihan dan turunannya, mendatanginya. Dia justru menari dengan indah di atas kesedihannya sendiri. Pelaut ulung tidak akan pernah gentar dengan ombak besar di hadapannya.
Justru sebaliknya. Mereka mampu mengubah kesedihannya menjadi sesuatu yang bernilai, yang akan membuat dunia justru menghargainya. Mengganjarnya dengan kemuliaan yang tak terpikirkan sebelumnya.
Karena sejarah telah membuktikan, kebajikan terbesar umat manusia adalah kemampuannya mengatasi kesedihan dan kesulitan. Meski sampai saat ini, masih banyak pertanyaan, mengapa kesedihan dan kesulitan yang sama itu tidak, atau belum mengilhami lahirnya pemikiran juga karya sastra dan seni yang mumpuni. Sebagaimana lahirnya sejumlah karya besar pada sebuah masa.
Sudah sedemikian bebalkah kita, sampai-sampai kesedihan tidak mampu menjadikan kita melahirkan apa-apa? Tidak juga selarik sajak yang mustahak dan mangkus?
Tahukah Anda, bahwa Picasso hampir mati dalam gempa bumi pada usia tiga tahun? Atau Frankenstein terinspirasi oleh letusan gunung berapi? Atau Walt Disney menciptakan Mickey Mouse sebagai tindakan balas dendam?
Intinya, latar belakang kesedihan juga tragedi yang menimpa seseorang menerbitkan gagasan, bahwa kesedihan juga penderitaan tidak terjadi dengan sia-sia. Van Gogh mungkin menderita kecemasan, kecanduan, dan kejang yang melemahkan, tetapi penderitaannya memberinya wawasan, dan wawasan itu, pada gilirannya, memberi dunia jenis aliran seni rupa baru yang disebut post-impresionisme.
Juga masih banyak contoh tragik estetik lainnya. Sehingga bahkan muncul anggapan bahwa rasa sakit dan kesedihan mendalam adalah persyaratan utama untuk menghasilkan pemikiran dan karya seni yang hebat. Meski tidak seutuhnya benar tesis ini, dan bisa jadi bagian dari bias proses kreatif semata. Tapi tetap menarik menyelami makna tersembunyi dibalik kesedihan.
Meski tidak dapat didaku juga bahwa karya sastra, pemikiran dan karya seni bercita rasa tinggi, tidak dapat diproduksi tanpa penderitaan, zonder kesedihan. Meski tetap ada anggapan, bahwa hasil pemikiran, apa pun bentuknya, yang diproduksi tanpa penderitaan dan kesedihan sepertinya tidak akan terlalu bagus luarannya.
Atau dengan bahasa lebih sederhana, dapat disimpulkan, untuk apa kita mengasup sebuah pemikiran atau karya seni dan sastra yang diciptakan tanpa konflik, tragedi, perjuangan, atau rasa sakit? Di mana tantangannya? Di mana kedalamannya? Mau di bawa ke mana otak dan hati ini, jika tak disiangi oleh karya-karya berdarah-darah seperti itu?
Meski ada seorang kawan penyair cum novelis mengatakan, jika syarat utama melahirkan karya luar biasa adalah airmata tragedi kemanusiaan, dia lebih memilih tidak perlu ada karya luar biasa, kalau bayarannya nyawa manusia.
Dengan bahasa lain, dia lebih memilih bahagia tanpa drama, daripada keinginan menghasilkan karya yang hebat, tapi tak terperikan tanggungan perihnya? Atau untuk urusan penderitaan dan kesedihan kita serahkan saja kepada para genius lara lapa. Karena itu tugas mereka. Untuk mengolah kesakitan menjadi karya luar biasa. Tugas kita mengasup saja. Yang beratberat serahkan kepada mereka. Manusiamanusia istimewa yang mampu menghadapi kesedihan dengan riang gembira.
Tragedi dan Komedi
Saya sangat yakin, sebagaimana Anda semua pasti maklum jika, “Dunia adalah tragedi bagi mereka yang merasa, tetapi komedi bagi mereka yang berpikir”. Demikian Horace Walpole menasehatkan.
Tragedi dan komedi memang berjarak sebenang. Di mata seseorang atau golongan tertentu, tragedi bisa dilihat dan dimaknai sebagai komedi. Tapi sebaliknya, komedi juga bisa dilihat sebagai tragedi, bagi seseorang atau golongan yang lain. Bergantung dari mana kita menimbang, dan melihat.
Namun apapun itu, tragedi tetap menyesakkan, betapun tampak komedi bagi yang lain. Dan komedi bisa jadi lebih menyakitkan alih-alih membuat terpingkal, bagi yang merasakan, sekaligus berpikir.
Atau barangkali, kita tidak akan pernah merasakan tragedi juga komedi, jika kita tidak pernah merasa dan berpikir sekaligus. Sebuah kemustahilan dalam hidup.
Bagaimana dengan kisah tentang irisan-irisan tragedi dan komedi. Komedi dan tragedi yang banyak terserak dalam kehidupan kita. Sejak kali pertama peradaban mengada. Yang sangat bisa jadi menjadi perulangan dari kisah-kisah yang sudah ada sebelumnya. Karena sebagaimana sunatullah, tidak ada yang baru di bawah matahari.
Hidup adalah pabrik raksasa perulangan, demikian kata guru besar. Tidak juga saat Sophocles menulis Oidipus Rex. Perwira yang harus membinasakan ayahandanya, untuk kemudian menikahi ibu kandungnya sendiri.
Singkatnya, yang saya tulis bukan saja kisah tentang kisah orang-orang yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Tapi, sekali lagi, sekaligus persona yang mau belajar menari di tengah badai, alih-alih menunggu badai pasti berlalu.
Yang telah menanggalkan keluh entah di mana, dan menggantikannya dengan elan vital merayakan hidup dengan segenap deritanya. Kisah para petarung kehidupan. Yang mulai bisa mengejek kesengsaraan, dengan cara jenaka. Yang telah dipukul berbilang kali kelaraan, tapi masih baik-baik saja. Seperti tidak kurang suatu apa. Tetap keras kepala bahagia.
Kisah tentang orang-orang yang menolak menyerah, apalagi kalah, sebelum kehidupan zonder kesedihan benar-benar meninggalkannya. Sebelum nyawa minggat dari raganya.
Ini adalah kisah tentang manusia istimewa, yang tidak kita sadari ada, dekat dan maujud di sekitar kita, tapi diam-diam kita sok bodoh meniadakannya. Ini adalah kisah tentang Anda, semua! Kisah ihwal orang-orang yang tidak hanya sekali berarti, sudah itu mati. Ini adalah kisah tentang manusia-manusia hebat seperti Anda.
Yang terus berkelahi dan berjuang dengan cara masing-masing, dan tanpa disadari telah menghormati garis nasib, dengan cara istimewa. Sebelum akhirnya kehidupan menganjarnya dengan tingkat kesuksesan yang berbeda-beda.
Ini bisa jadi kisah tentang para orang tua kita, yang siap melakukan apa saja demi masa depan anak-anaknya, agar menjadi manusia jauh lebih bermartabat, terhormat juga mulia. Atau kisah tentang saudara-saudara kita yang terus merayakan nasibnya, dengan cara luar biasa. Hingga kehidupan akhirnya dibuat tak enak hati, dan sekali lagi, bahkan berkali-kali mengganjarnya dengan kemuliaannya.
Ini adalah kisah tentang manusia-manusia biasa, dan luar biasa seperti Anda.
Manusia-manusia yang tak melulu mengandalkan kemampuan pintar berpikirnya. Tapi sekaligus mengadalkan ketajaman mata hatinya. Yang tahu kapan berpikir keras, kapan menggunakan instingnya. Kapan mengistirahkan akalnya, kapan mengasah budinya. Kapan mengedepankan pekertinya, kapan menomorsatukan akalnya.
Semacam manusia adi, yang dalam kehidupan nyata gemar berbagi tentang apa saja. Acap berbagai ilmu dan rejeki seperti para nabi. Tapi tetap menjadi manusia utuh dengan sepenuh khilafnya. Persis Anda semua?
Kisah tentang manusia yang meski jauh dari sempurna, tapi tahu kapan harus berserah pasrah. Kapan harus terus bekerja cerdas dan tetap berdoa. Kisah tentang manusia-manusia yang gemar menyajikan kehormatan untuk keluarganya. Persis seperti Anda semua.
Ini adalah potret tentang Anda dan kita semua.