Sedang Membaca
Al-Hallaj, Sang Martir yang Selalu Menginspirasi (1/2)

Al-Hallaj, Sang Martir yang Selalu Menginspirasi (1/2)

Seperti apa awal mulanya, Husain ibn Manshur mendapat sebutan Al-Hallaj, sebuah nama yang berarti pengais (khususnya kapas). Dari cerita buku Tadzkiratul Awliya karya Fariduddin Aththar, pada suatu hari Husain ibn Manshur melewati sebuah gudang kapas dan melihat seonggok buah kapas.

Kemudian secara tak sengaja ketika jarinya menunjuk pada onggokan buah kapas lalu betapa mengherankan dan menakjubkannya. Biji-biji buah kapas itu pun terpisah dari serat kapasnya. Selain hal tersebut dia juga dijuluki Hallaj Al-Asrar—pengais segenap kalbu—karena dia mampu membaca pikiran orang dan menjawab berbagai pertanyaan mereka sebelum ditanyakan kepadanya.

Al-Hallaj terkenal bukan hanya karena keajaibannya, melainkan juga karena kezuhudannya. Pada saat usianya lima puluh tahun, Al-Hallaj memilih untuk tidak mengikuti agama tertentu, melainkan mengambil dan mengamalkan praktik apa saja yang paling sulit bagi nafs (ego)-nya dari setiap agama. Dia tidak pernah meninggalkan salat wajib, dengan salat wajib dia melakukan wudhu jasmani secara sempurna. Ketika Al-Hallaj mulai menempuh jalan ini, dia hanya mempunyai sehelai jubah tua dengan penuh tambalan dan dia pakai selama bertahun-tahun.

Suatu hari, jubah itu diambil secara paksa, dan ternyata ada banyak kutu dan serangga bersarang didalamnya, anehnya ketika ditimbang jubah tersebut beratnya hanya setengah ons. Kezuhudan Al-Hallaj adalah sarana yang ditempanya untuk mencapai Allah, yang dengan-Nya dia menjalin hubungan yang sangat khusus sifatnya, suatu hari, pada waktu musim ibadah haji di Makkah, Al-Hallaj melihat orang-orang bersujud dan berdoa,

“Wahai Engkau Pembimbing mereka yang tersesat, Engkau jauh di atas segenap pujian mereka yang memuji-Mu dan sifat yang mereka lukiskan kepada-Mu. Engkau tahu bahwa aku tak sanggup bersyukur dengan sebaik-baiknya atas kemurahan-Mu. Lakukan ini di tempatku, sebab yang demikian itulah satu-satunya bentuk syukur yang benar.”

Kisah penangkapan dan eksekusi Al-Hallaj sangatlah menyentuh kalbu. Pada suatu waktu, dia berkata kepada sahabatnya, As-Syibli, bahwa dia sibuk dengan sebuah tugas yang teramat penting dan bakal membawa dirinya pada ajal di ujung kematiannya. Ketika dia sudah termasyhur dengan berbagai keajaibannya yang dibicarakan orang dimana-mana, Al-Hallaj kemudian memiliki pengikut dan musuh yang sama banyaknya. Sehingga sampai akhirnya, khalifah mendengar dan bahkan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Al-Hallaj mengucapkan kata-kata yang berkekuatan bid’ah luar biasa. “Ana Al Haqq” – Akulah Kebenaran.”

Baca juga:  Puisi al-Hallaj Jelang Kematian

Banyak musuh Al-Hallaj sengaja menjebaknya untuk mengucapkan Dia-lah Kebenaran, namun dia hanya menjawab, “Ya, segala sesuatu adalah Dia! Kalian bilang bahwa Husain (Al-Hallaj) telah hilang, memang benar. Namun Samudra yang meliputi segala sesuatu tidaklah demikian”.

Jauh hari sebelum tahun penangkapan dan eksekusinya, kala al-Hallaj masih belajar di bawah bimbingan Junaid, dia diperintahkan untuk bersikap sabar dan tenang. Tahun-tahun pun berlalu, kemudian dia datang lagi menemui Junaid dengan mengajukan sejumlah pertanyaan. Dari salah satu jawaban Junaid ada satu yang cukup mengerikan. Junaid mengatan, tak lama lagi Al-Hallaj akan melumuri tiang gantungan dengan darahnya sendiri.

Tampaknya, ramalan itu benar-benar terjadi. Pernah juga Junaid ditanya tentang apakah kata-kata al-Hallaj bisa ditafsirkan akan mampu untuk menyelamatkan hidupnya. Junaid menjawab, “Bunuhlah dia, sebab saat ini bukan lagi waktunya menafsirkan.”

Lalu Al-Hallaj pun dijebloskan ke dalam penjara. Pada malam pertama dia dipenjara, para sipir kebingungan mencari-carinya. Semua sipir merasa heran karena sel tempat Al-Hallaj kosong. Malam kedua, bukan hanya Al-Hallaj yang hilang, akan tetapi penjaranya pun hilang! Berikutnya di malam ketiga, tidak terjadi apa-apa dan semuanya kembali normal. Para sipir penjara bertanya, di mana engkau pada malam pertama? Al-Hallaj dengan sangat tenang menjawab, “Pada malam pertama aku ada di kehadirat Allah, maka dari itu aku tidak berada di sini, selanjutnya pada malam kedua, Allah berada di sini, untuk itu aku dan penjara ini tidak ada. Di malam ketiga aku di suruh-Nya kembali!” Semua sipir hanya terdiam membisu.

Beberapa hari sebelum dieksekusi, suatu malam Al-Hallaj menemui sekira tiga ratus narapidana yang ditahan bersamanya dalam keadaan dibelenggu. Al-Hallaj bilang kalau dia bakal membebaskan mereka semua. Mereka semua heran karena dia berbicara hanya tentang kebebasan teman-teman narapidananya (orang lain), tapi justru dia tidak perduli dengan kebebasan dia sendiri. Al-Hallaj berbicara pada para napi dengan lantang:

“Kita semua dalam belenggu Allah di sini. Jika kita mau, kita bisa membuka semua belenggu ini,” kemudian dia menunjuk belenggu-belenggu di tangan para napi dengan jarinya, dan semua belenggu pun terbuka.

Para narapidana pun heran, namun mereka menyampaikan bersama-sama. Bagaimana mungkin mereka bisa melarikan diri, karena semua pintu terkunci rapat. Lalu Al-Hallaj menunjukkan jari ke arah tembok, maka terbukalah tembok itu. “Engkau tidak ikut bersama kami?” tanya mereka “Tidak, ada sebuah rahasia yang hanya bisa diungkapkan di tiang gantungan!” jawabnya.

Baca juga:  Louis Massignon, Orientalis Dua Citra

Esok hari berikutnya, para sipir penjara bertanya kepadanya tentang apa yang terjadi pada para narapidana lainnya. Al-Hallaj menjawab dengan tanpa beban, bahwa dia telah membebaskan mereka semua. “Mengapa engkau tidak sekalian pergi?” pertanyaan para sipir. “Mereka semua mencela dan menyalahkanku, karena aku memilih harus tetap tinggal di sini untuk menerima hukuman,” jawabnya. Sang khalifah pun mendengar laporan tersebut, lantas berpikirlah khalifah bahwa Al-Hallaj bakal menimbulkan malapetaka bagi negeri.

Untuk itu, paduka memerintahkan, “Bunuh dan cambuklah sampai dia menanggalkan kesombongannya!” Akhirnya Al-Hallaj pun dicambuk tiga ratus kali dengan rotan. Di setiap kali pukulan mengenai tubuhnya terdengarlah suara gaib dari langit, “Jangan takut, tegarkan hatimu hai putra Manshur”. Mengenang peristiwa hari itu, seorang sufi bernama Syekh Shaffar, mengatakan, aku lebih percaya pada akidah sang algojo daripada akidah Al-Hallaj. Sang algojo pastilah mempunyai akidah yang kuat dalam menjalankan hukum Ilahi, sebab suara itu bisa didengar demikian jelas, tetapi tangannya tetap mantap.

Al-Hallaj digiring oleh algojo untuk di eksekusi. Ribuan masyarakat berkumpul untuk menyaksikan. Tatkala Al-Hallaj melihat ribuan orang berkerumun, maka dengan lantang dia berteriak; “Haqq, Haqq, Ana Al-Haqq—Kebenaran, kebenaran, Akulah kebenaran.” bersamaan itu, muncullah seorang darwis lalu memohon pada Al-Hallaj untuk diajari tentang cinta. Al-Hallaj menunjukkan bahwa cinta berarti menanggung derita dan kesengsaraan demi orang lain.

Di situ juga hadir As-Syibli sahabatnya yang bertanya pula, “Apa itu sebenarnya tasawuf?” Al-Hallaj menjawab bahwa apa yang disaksikan Syibli saat ini adalah tingkatan tasawuf paling rendah. “Adakah yang lebih tinggi dari ini?” tanya Syibli selanjutnya. “Kurasa, engkau tidak akan mengetahuinya!”, jawab Al-Hallaj tegas.

Baca juga:  Menghayati Kidung Kematian Rumi

Ketika sudah berada di tiang gantungan, setan datang kepada Al-Hallaj untuk bertanya, “Engkau bilang Aku dan Aku juga bilang Aku. Mengapa gerangan engkau menerima rahmat abadi dari Allah dan Aku, kutukan abadi?” Jawaban Al-Hallaj, “Engkau bilang Aku dan kau melihat dirimu sendiri, sementara aku menjauhkan diri dari ke-Akuan-Ku. Aku beroleh rahmat dan engkau, kutukan.

Memikirkan diri sendiri tidaklah benar dan memisahkan diri dari kedirian adalah amalan paling baik.

Kerumunan orang mulai melempari batu pada Al-Hallaj. Sungguh aneh, saat As-Syibli melempar bunga untuk pertama kalinya, Al-Hallaj menjerit kesakitan. Seseorang bertanya, “Engkau tidak menjerit dan kesakitan ketika dilempari batu, tapi kenapa lemparan sekuntum bunga justru membuatmu kesakitan, kenapa? Al-Hallaj menjawab, “Orang-orang yang jahat dan bodoh bisa dimaafkan. Betapa sulit rasanya melihat Syibli melempar lantaran dia tahu bahwa seharusnya dia tidak melakukan itu.”

Tibalah saatnya sang algojo memotong kedua tangannya. Al-Hallaj malah tertawa liar sambil berkata, “Memang mudah memotong tangan seorang yang terbelenggu. Akan tetapi, diperlukan seorang pahlawan untuk memotong tangan segenap sifat yang memisahkan seseorang dari Allah.” (Dengan kata lain, meninggalkan alam kemajemukan dan bersatu dengan Allah membutuhkan usah keras dan luar biasa). Dilanjutkan oleh sang algojo memotong kedua kakinya. Al-Hallaj tetap tegar berkata,

“Aku berjalan di muka bumi dengan dua kaki ini, aku masih punya dua kaki lainnya untuk berjalan di kedua alam. Potonglah kalau kau memang bisa melakukannya!”

Al-Hallaj kemudian berwudhu, mengusapkan kedua lenganya yang telah buntung kewajahnya, sehingga wajah itu bersimbah darah. “Mengapa engkau mengusap wajahmu dengan darah?” tanya banyak orang. “Karena aku ingin menyucikan diriku dari darah-Nya yang mengalir dan atas nama serta kehendak-Nya semata. Aku sedang berwudhu. Sebab dalam salat cinta yang ada hanyalah penyatuan, dan wudhunya harus dilakukan dengan darah.” Kata-kata terakhirnya yang diucapkannya; Bagi mereka yang ada dalam ekstase “Cukuplah sudah satu kekasih.”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
2
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top