Sedang Membaca
Psikologi Agama (3): Agama dan Kesehatan Mental
M. Fakhru Riza
Penulis Kolom

Mahasiswa Magister Sains Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan aktif di Gusdurian Jogja. Bisa disapa lewat ig: @fakhru.riza dan twitter: @fakhruriza_.

Psikologi Agama (3): Agama dan Kesehatan Mental

Whatsapp Image 2021 08 04 At 00.07.46

Belakangan ini, Psikologi tak semurung dan sesuram zaman Sigmund Freud yang merumuskan pandangannya tentang manusia dari tempat kerjanya di Universitas Vienna, Austria. Sejak murid-muridnya mengkritiknya dan semakin besarnya gerakan mazhab Psikologi Humanistik, pandangan Psikologi tentang hakikat manusia mengalami pembalikan yang sangat signifikan.

Gerakan baru ini memandang manusia secara lebih optimistik. Manusia tak lagi dilihat sebagai penghasrat seks dan agresi, namun manusia memiliki dorongan-dorongan psikologis yang lebih luhur. Psikologi mulai membicarakan tentang kepribadian yang matang dan sehat, semangat aktualisasi diri, dan  pencarian makna hidup.

Gerakan tersebut semakin besar dengan munculnya mazhab Psikologi Transpersonal. Gerakan itu mulai menggali-gali secara serius aspek-aspek transpersonal dan spiritualitas dalam kehidupan manusia. Eksperimen-eksperimen atas pengalaman mistik telah banyak dimulai di kampus-kampus Barat. Pada masa ini agama telah mendapatkan tempat yang cukup penting dalam studi-studi Psikologi.

Agama sebagai Sumber Kesehatan Mental

Jika di masa awal-awal perkembangan Psikologi modern agama kerap dianggap sebagai sumber delusi masyarakat. Maka sejak banyak bermunculan ilmuwan Psikologi yang simpatik dengan agama, mulai ada banyak penelitian yang menemukan bahwa agama memiliki korelasi positif dengan kesehatan mental. Penghayatan agama yang mendalam mampu memberikan kebahagiaan dan pemaknaan hidup.

Sebuah riset meta-analisis A. E. Bergin pada tahun 1986 menemukan bahwa jika riligiusitas dihubungkan dengan kesehatan mental, dari 30 afek yang ditemukan, hanya 7 orang atau 23 % yang menunjukkan hubungan negatif antara agama dengan kesehatan mental. Sedangkan 47 % menghubungkan secara positif agama dengan kesehatan mental dan 30 % nya kosong (Rakhmat, 2021).

Baca juga:  Membicarakan Gus Dur dan Foto-Fotonya

Data ini sebenranya mengonfirmasi bahwa agama memiliki pengaruh positif terhadap kesehatan mental manusia. Ada 47 % yang memiliki korelasi positif dan hanya 23 % yang memiliki korelasi negatif. Mungkin angka ini merepresentasikan seperti yang dikatakan Maslow bahwa agama secara individual memiliki pengaruh positif dan secara institusional sering (bukan seluruhnya) menghambat pengalaman puncak.

Agama dan Coping Stress

Penelitian tentang Psikologi Agama semakin berkembang. Belakangan ini, tren tentang penelitian yang mengaitkan agama dengan coping stress (pemecahan masalah stress mental)  sangat banyak dilakukan. Berbagai penelitian menemukan bahwa pengalaman religius berkorelasi positif dengan penurunan stress pada manusia.

Orang yang memliki pegangan agama yang mendalam memiliki ketentraman dan makna hidup yang cukup stabil. Berbagai ritual keagamaan membuat orang memiliki rutinitas yang lebih teratur, hingga akhirnya berpengaruh kepada kestabilan emosinya. Dengan rutinitas yang teratur orang memiliki peluang lebih sedikit mengalami gejolak emosi yang negatif.

Salah satu perkembangan menarik lainnya adalah banyak penelitian Psikologi yang mulai mendekati ritual-ritual meditasi seperti kaum sufi. Banyak penelitian telah menyimpulkan bahwa berzikir memiliki pengaruh yang positif terhadap kemampuan konsentrasi dan penurunan kecemasan. Pengalaman keagamaan yang sifatnya internal tampaknya memang berdampak positif kedalam kesehatan mental manusia.

Kebersyukuran dan Kebahagiaan

Perkembangan studi Psikologi belakangan ini semakin mengarah kepada upaya untuk mencari sebuah kebahagiaan manusia. Salah satu tema yang menarik adalah tengang konsep kebersyukuran. Kebesrsyukuran (gratitude) telah menjadi salah satu tema Psikologi yang memiliki kaitan erat dengan ajaran agama.

Baca juga:  Belajar dari Film Iran (3): Son of Maryam, Kisah Persahabatan Aktivis Masjid dan Pendeta

Setiap agama selalu mengajarkan kepada para pemeluknya untuk mengamalkan kebersyukuran. Kebersyukuran merupakan sebuah sikap tentang membuka mata, melihat berbagai kebaikan yang hadir kepada kita. Pribadi-pribadi yang penuh kebersyukuran akan jauh dari perilaku yang terobsesi berlebihan terhadap sesuatu yang materil dan duniawi.

Kebersyukuran terkait dengan rasa cukup dan terimakasih atas apa yang telah Tuhan berikan. Rasa kelegaan menerima yang telah diberikan itu ternayata memiliki dampak positif terhadap dunia batin manusia. Rasa syukur secara biologis akan mengurangi aktivasi pada emosi-emosi negatif kita. Produksi emosi positif semakin meningkat dan kita semakin berkurang kecemasannya.

Demikian ini telah menggambarkan bahwa Psikologi semakin mengarah kepada pencarian hakikat manusia secara lebih optimistik. Agama juga memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap kebahagiaan dan kesehatan mental pada manusia. Mungkin hal ini seperti yang dikatakan oleh William James bahwa pengalaman agama akan membangkitkan energi spiritual pada kita. Energi spiritual itulah mungkin yang mengurunkan tingkat stress kita. []

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top