Sedang Membaca
Titik Temu Pemikiran Ekonomi Adam Smith dengan Ibnu Khaldun
Avatar
Penulis Kolom

Mahasiswa Pasca Sarjana UIN SUNAN KALIJAGA.

Titik Temu Pemikiran Ekonomi Adam Smith dengan Ibnu Khaldun

Adam Smith

Dunia keilmuwan memang tidak akan pernah bisa maju tanpa kontribusi aktif manusia untuk mengembangkan berbagai bidang ilmu itu sehingga pada akhirnya bermanfaat bagi dunia sainstis maupun akademis hingga masyarakat luas. Berbagai pemikiran dan konsep teoritis keilmuwan sudah berkembang dari abad ke abad, di antara mereka ada saling kontradiktif, ada saling affirmatif satu sama lain hingga adanya penemuan ilmu baru yang tidak pernah ditemukan sebelumnya.

Perkembangan keilmuwan manusia, termasuk ilmu ekonomi, tercetus teoritis pada abad modern dipegang oleh Adam Smith dan abad pertengahan Islam dipegang oleh Ibnu Khaldun. Sebenarnya pemikiran-pemikiran ekonomi sudah sangat berkembang pada abad ke-15 Masehi dan ilmu ekonomi sebagai cabang ilmu tersendiri baru dilahirkan pada abad ke 18 Masehi, setelah tokoh Adam Smith muncul dalam percaturan ekonomi dengan paham liberalismenya (Herman & Martias, 2009, hal. 23).

Pertama, Adam Smith lahir di Kircaldy (1723-1790 M); ia menempuh perjalanan studinya ke Glasgow hingga akhirnya menjadi dosen di sana; mengajarkan ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Adam Smith paling suka dengan filsafat moral, karena ia gemar membaca diktat tentang alam manusia dari David Hume  (Herman & Martias, 2009, hal. 24).

Berdasarkan penyebab di atas juga ia mempelajari ekonomi-politik, sehingga bukunya pertama kali terbit adalah The Theory of Moral sentiment tahun 1759. Selanjutnya tahun 1776 ia menerbitkan karya yang sangat terkenal An Inguiry In To The Nature and Causes of the Wealth of Nation. Buku ini dianggap sebagai pencanangan pertama tonggak sejarah perkembangan ilmu ekonomi dalam kategori liberalisme (Herman & Martias, 2009, hal. 26).

Baca juga:  Ulama Banjar (94): KH. Ahmad Nabhan Rasyid

Liberalisme ini diartikan aliran ketatanegaraan dan ekonomi menghendaki demokrasi dan kebebasan pribadi untuk berusaha dan berniaga tanpa intervensi pemerintah. Adam Smith berpendapat bahwa individualisme manusia akan memacu pertumbuhan ekonomi dan membangun secara keseluruhan. Sifat invidualisme perekonomian mendatangkan keuntungan selama persaingan bebas. Konsep individualisme liberalisme bertujuan untuk menjadikan individu sebagai fokus atau subjek perhatian (Aida, 2005, hal. 102).

Adapun beberapa intisari pemikiran ekonomi Adam Smith, yakni:

  1. Sumber kekayaan negara adalah produksi hasil kerjasama, tenaga kerja manusia dan sumber-sumber daya kekayaan bertambah dengan peningkatan keterampilan dan efisiensi tenaga kerja
  2. Spesialisasi kerja dan penggunna mesin untuk meningkatkan produksi
  3. Barang mempunyai nilai guna dan nilai tukar. Barang punya nilai yang tinggi, kadang-kadang tidak punya nilai tukar. Sebaliknya ada pula barang yang punya nilai tukar sangat tinggi tetapi tidak begitu berguna
  4. Dokrin Kapitalisme (“dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan untung yang sebesar-besarnya”) dan sistem kepemilikan alat-alat produksi dikuasai perorangan
  5. Persaingan perekonomian modern dengan monopoli swasta atau negara (Herman & Martias, 2009, hal. 35-39).
  6. Kebebasan berusaha, diartikan sebagai kemerdekaan untuk memperoleh hak milik, karena hak milik diperlukan untuk pemeliharaan kemerdekaan pribadi (Dahar, 2012, hal. 61).

Kritisi terhadap konsepsi Adam Smith tentang masyarakat dan individu asosial dan egois, yang motivasi utamanya dalam bertindak adalah pemenuhan kepentingan sendiri. Pandangan ini telah dituduh sebagai tidak memperhatikan kooperasi sosial atau kepentingan umum dari semua individu, karena bertujuan untuk memuaskan kepentingan-kepetingan pribadi tersebut.

Baca juga:  Ulama Banjar (89): KH. Abdurrasyid Nasar

Selanjutnya, Ibnu Khaldun dengan nama lengkap Abd al-Rahman bin Muhammad bin Khaldun al-Hadrawi, dikenal dengan panggilan Waliyuddin Abu Zaid, Qadi al-Qudat. Ia lahir tahun 1332 M di Tunis. Ia bermazhab Maliki, Muhaddits, pakar ushul fiqh, sejarawan, petualang dan sastrawan (Huda, 2013, hal. 105).

Salah satu karya termasyhur dari Ibnu Khaldun adalah Muqaddimah. Muqaddimah menjadikan Ibnu Khaldun sebagai seorang genius polymath (jenius dalam berbagai bakat), karena buku tersebut membincangkan berbagai topik seperti sejarah, geografi, matematika, agama, sistem kerajaan, ekonomi, pendidikan dan lainnya (Huda, 2013, hal. 112).

Perihal ekonomi ini dibicarakan dalam Muqaddimah pada bagian kelima. Motif ekonomi timbul karena tiada batas hasrat manusia. Sedangkan barang-barang memuaskan kebutuhannya itu sangat terbatas. Sebab itu memecahkan soal-soal ekonomi dipandang dari dua sudut, yaitu:

Pertama, sudut tenaga terbagi kepada:

  1. Tenaga untuk mengerjakan barang-barang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, dinamakan “ma’asy” (penghidupan).
  2. Tenaga untuk mengerjakan barang-barang memenuhi kebutuhan orang banyak, dinamakan “tamawwul” (perusahaan)

Kedua dari sudut kegunaannya, yaitu:

  1. Kegunaan barang-barang yang dihasilkan itu untuk kepentingan sendiri, dinamakan “rizqy”.
  2. Kegunaannya untuk kepentingan orang banyak, sedang kepentingan orang mengerjakan tidak menjadi tujuan utama, hal ini dinamakan “kasab” (Huda, 2013, hal. 113-114).

Sisi ma’asy dan rizqy ditujukan bagi kebutuhan diri sendiri. Seperti orang bercocok tanam, tenaga bekerja dan hasilnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kalaupun ada perdagangan, hanya tukar menukar bagi yang membutuhkan barang, ini terjadi pada zaman primitif dahulu.

Baca juga:  Sketsa Singkat Pangeran Diponegoro Sebagai Muslim Jawa

Sedangkan sisi tamawwul dan kasab merupakan usaha ekonomi kepentingan orang banyak memerlukan barang itu. Bagi pengusaha, bukan barang-barang itu diperlukan, tetapi nilai dari pekerjaan atau barang-barang dikerjakan itu. Bagian ini sudah terjadi pada zaman modern, bukan lagi tukar menukar barang, tetapi adanya transaksi jual-beli (Huda, 2013, hal. 115).

Akhirnya Ibnu Khaldun meramalkan bahwa kedua barang galian ini nanti akan mengambil tempat terpenting dunia perekonomian, ialah melayani tiga kepentingan, yaitu: pertama, menjadi alat penukar dan pengukur harga, sebagai nilai usaha (makasib); kedua, menjadi alat perhubungan, seperti deviezen (qaniah); dan ketiga, menjadi alat simpanan di  bank (zakhirah) (Huda, 2013, hal. 116).

Berdasarkan penelaahan di atas, dapat diketahui satu hal pokok pikiran yang sama antara Adam Smith dengan Ibnu Khaldun yakni perihal perusahaan untuk memenuhi kebutuhan barang-barang bagi banyak orang dengan memakai para tenaga kerja untuk efektifitas dan efesiensi barang produksi. Nilai barang adalah paling utama dipakai dalam mendapatkan keuntungan bagi pelaku ekonomi sedangkan produksi barang bukan sebagai tujuan utama. Tukar menukar barang tidak lagi relevan dalam kegiatan perekonomian, akan tetapi penggunaan mata uang dipakai dalam setiap transaksi jual-beli untuk memenuhi kebutuhan para konsumen.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
2
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top