Sedang Membaca
Dakwah Lembut Habib Nusantara (4): Habib Husein Dan Konsep Islam Cinta
Samsuriyanto
Penulis Kolom

pemerhati kajian dakwah, radikalisme dan komunikasi. Saat ini sedang khidmah sebagai Sekretaris LTNU Waru, Sidoarjo, Jawa Timur. Pemuda Hebat Kemenpora RI 2019 ini adalah pengajar pada ITS Surabaya. Penulis buku Dakwah Lembut, Umat Menyambut (2020), Menyelamatkan Negeri: Dari Radikalisme, Covid-19 dan Korupsi (2021), Teori Komunikasi; Membangun Literasi, Menganalisis Situasi (2021) dan dua buku lainnya.

Dakwah Lembut Habib Nusantara (4): Habib Husein Dan Konsep Islam Cinta

Whatsapp Image 2021 05 04 At 21.29.31

Habib Husein Ja’far al Hadar lahir di Bondowoso, 21 Juni 1988. Walaupun secara usia termasuk habib muda, Habib Husein tentu memiliki persamaan dengan Prof. Quraish, yaitu juga berdakwah melalui buku dan tulisan sebagai manifestasi sebagai cendekiawan muda muslim. Alumni Universitas Islam Negeri Jakarta ini memang dikenal berdakwah dengan konsep Islam cinta di kalangan milenial.

Ahlul Bait dan Pesan Cinta

 “Makanya kata saya apalagi Islam kalau bukan cinta. Sebenarnya ini kata-kata dari Sayyidina Ja’far al-Shodiq, salah satu cucunya Nabi. Jadi kata beliau gak ada Islam itu selain cinta. Pokoknya cinta,” kutipan Hubib Husein dalam Youtube Jaktv Official Channel dengan judul Habib Husein Ja’far Al Hadar 17: Apalagi Islam Kalau Bukan Cinta. Bagi Habib dengan jamaah yang disebut pemuda tersesat ini, pada puncaknya yang paling tidak mengesankan cinta dari Islam adalah perang.

Bagaimana mungkin agama cinta namun memerangi, demikian adalah kegelisahan orang yang belum memahami Islam secara utuh. Jika diteliti, perang dalam Islam  dilakukan atas dasar cinta, bukan benci. Hal ini juga disampaikan Samsuriyanto (2020: 23-24) dalam buku Dakwah Lembut, Umat Menyambut bahwa walaupun perang disyariatkan, bukan berarti Islam menjadikan perang secara legal dan membabi buta. Perang dalam Islam memiliki aturan dan menginginkan perdamaian dalam segala hal.

“Sayyidina Ali itu pernah gak jadi mau menebas musuhnya yaitu Amr bin Abdiwud. Karena kenapa? Karena Amr bin Abdiwud  itu ngeludahi dia, nggak jadi.  Kenapa wahai Ali gak jadi? Kata Sayyidina Ali, kalau saya menebas Amr bin Abdiwud, yang menebas itu Ali Bin Abi Thalib karena nafsu dan kebenciannya karena diludahi,” Lanjut Penulis Buku Keislaman Terbitan Gramedia dan Mizan ini. Sayyidina Ali bin Abu Thalib RA. pergi dulu meninggalkan Amr bin Abdiwud agar nafsu dan kebenciannyanya hilang, lalu mengeksekusinya karena Allah SWT. Perang dilaksanakan bukan karena benci, namun agar mereka berubah lebih baik.

Baca juga:  Ulama Banjar (96): KH. Muhammad Khairan Alie

Dalam Islam tawanan perang itu harus diberi makanan seperti yang kita makan. Jika musuh minta berdamai maka kita harus menerimanya dengan tangan terbuka. Jika lawan lari dari medan perang, maka muslim dilarang untuk mengejar apalagi untuk membunuhnya. Perang dalam Islam juga dilarang merusak tumbuhan dan hewan.

Kita membayangkan, perang macam apa yang sangat memuliakan alam ini. Sebab memang peperangan dalam agama yang penuh perdamaian ini dilakukan atas dasar cinta. Di antara yang harus dicintai dalam perang dan dilindungi selain wanita, anak-anak, orang tua dan rakyat sipil adalah tokoh agama dan rumah ibadahnya. Jadi apabila ada rumah ibadah agama lain dibakar dan dirusak bahkan pada saat perang pun harus dilindungi, demikian saat diwawancarai dalam YoutubeJaktv Official Channel.

Islam Cinta untuk Generasi Milenial

Dalam Mata Najwa dengan judul Gelap Terang 2020: Suka Duka Berdakwah di Masa Pandemi (Part 3), Direktur Cultural Islamic Academy Jakarta ini beranggapan bahwa  ada dua kecenderungan utama dakwah di era milenial. Pertama, sebagian orang memandang agama seharusnya memberikan ketenangan namun banyak keributan dihasilkan karena urusan agama (jika dicampur politik biasanya). Sehingga pesan politik lebih banyak daripada nasehat agama yang hanya jadi pembungkus. Masyarakat yang melihat peristiwa ini sebenarnya telah menyaksikan fenomena politik. Sebab gagal dalam memahami kejadian tersebut, akhirnya menjadi sekuler yang acuh tak acuh pada agamanya.

Baca juga:  Ulama Banjar (65): KH. Abd. Muthalib Muhyiddin

Menurut hemat penulis, membicarakan kampanye partai politik dan atau pasangan calon kepala daerah maupun presiden di masjid dan rumah ibadah lainnya adalah tindakan yang harus dihindarkan, agar tidak menyebabkan sikap sekuler bagi penganut agama, terutama bagi muslim. Sebab masjid adalah tempat suci untuk kegiatan beribadah yang memiliki aspek spiritual, tentu jauh lebih mulia daripada politik praktis yang bersifat duniawi.

Kedua, sebagian muslim yang semakin semangat beragama, kemudian memutuskan untuk berhijrah. Di awal pandemi Covid-19 juga ada fenomena orang-orang yang memaksakan ibadah berjamaah padahal jelas dilarang oleh agama, demikian pengakuan Pembicara Seputar Keislaman di TV Nasional ini. Manusia model demikian terlalu berlebihan, padahal ada dimensi keringanan dan kemudahan dalam agama yang boleh diambil oleh seorang muslim ketika dalam kondisi darurat. Ketika memberatkan diri dalam ibadah hingga di luar batas kewajaran serta tidak diiringi oleh dasar cinta, maka bukan tidak mungkin secara perlahan akan meninggalkan ibadah tersebut.

Atas dasar dua fenomena tersebut, Sarjana Filsafat Islam ini berdakwah melalui pendekatan Islam cinta. Islam cinta adalah Islam yang beraspek spiritualitas, sehingga bagi muslim yang semangat beragama adalah lanjutan setelah hijrah secara ritual (semakin rajin salat). Mereka juga diminta hijrah secara lengkap seperti hijrah secara spiritual dan sosial, demikian yang disampaikan Habib Husein dalam Mata Najwa.

Baca juga:  100 Tahun Subagio Sastrowardoyo (1924-2024): Puisi itu Kematian

Ibadah ritual seharusnya memiliki dampak spiritual dan atau sosial. Puasa misalnya, di antaranya agar merasakan kelaparan sebagaimana yang dirasakan oleh fakir miskin. Demikian ibadah ritual lainnya juga memiliki pengaruh. Amat disayangkan, ketika manusia hanya fokus pada ritual, serta tidak peduli dengan efek yang diakibatkan oleh kegiatan keagamaan tersebut.

Sementara bagi yang berpandangan sekuler juga sudah terjawab karena ternyata Islam itu hebat. Sebagaimana diwawancarai oleh Najwa Shihab, Habib Husein juga membahas tentang rasionalitas Islam, sains dalam Islam, aspek Islam yang meneduhkan dan agama yang penuh cinta kasih. Menurut Samsuriyanto (2020: 31) dalam buku Dakwah Lembut, Umat Menyambut sebagaimana mengutip pendapat Acep Aripundin bahwa posisi pendakwah ketika menghadapi mitra dakwah rasional adalah menggunakan metode-metode rasional untuk mengimbanginya baik dalam wawasan maupun ritual keagamaan.

Sehingga kedua golongan manusia di era milenial ini merasa terwakili dengan pesan dakwah yang disampaikan oleh sang Habib. Yusuf Khatir Hasan al-Suriy (t.th: 24) dalam Asalib al-Rasul fi al-Dakwah wa al-Tarbiyyah menyebutkan bahwa dakwah Rasulullah SAW. selalu menghargai manusia. Pendakwah sejatinya sangat penting untuk mengedepankan prinsip kemanusiaan dalam berdakwah. Jika mitra dakwah sudah memperoleh petunjuk, maka dengan mudah menerima ajaran yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia ini. (Biografi Habib Husein lebih lanjut baca di https://jogja.tribunnews.com/2021/03/07/biodata-habib-husein-jafar-dai-berpenampilan-beda-yang-dikenal-akrab-dengan-anak-muda-di-indonesia).

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top