“Tidak (bisa dibilang) sedikit amal yang terbit dari hati orang yang zuhud, dan tidak banyak amal yang terbit dari hati yang berharap (pada dunia).”
مَا قَلَّ عمَلٌ بَرَزَ مٍنْ قَلْبٍ زَاهٍدٍ وَلاَ كثُرَ عمَلٌ برز مِن قَلبٍ رَاغِبٍ
Zahid adalah orang yang hatinya telah berpaling dari dunia. Ia tidak mengambil dari dunia ini kecuali sebatas keperluannya untuk beribadah kepada Allah. Ia makan sekadar untuk membuatnya kuat beribadah. Ia istirahat atau tidur sebatas memberi tubuhnya kesegaran dan semangat menuju kepada Allah. Ia berkeluarga untuk menghindarkan nafsunya dari yang haram dan berkasih sayang karena Allah. Dengan demikian, hatinya dapat khusyuk dan tenang untuk sepenuhnya bersama Allah Swt.
Orang yang memiliki sifat-sifat demikian, kata TGH Muhammad Sarni, sungguh sangat besar nilainya di sisi Tuhan meskipun amalnya tampak sedikit saja. Sebaliknya, amal yang dikerjakan oleh orang yang masih cinta dunia, sekalipun banyak, terbilang sedikit nilainya di sisi Tuhan. Karena amal itu masih bercampur dengan riya’, sum’ah, dan hal-hal yang berkaitan dengan keduniaan dan kepentingan selain Allah. Bahkan, andai saja tampak ikhlas, masih ada syirik khafi (tersembunyi) dalam dirinya, seakan menuju kepada Allah namun dikerjakan dengan nafsunya–untuk dirinya.
Diriwayatkan dari Sahabat Ibnu Mas’ud Ra:
“Dua rakaat dari orang Zahid yang alim lebih baik dari ibadah seorang pengibadah yang bersungguh-sungguh hingga akhir hidupnya.”
Maka tuntutlah kezuhudan ini, hai salik, kenalilah dunia dan keburukan-keburukannya, pandanglah ia sebatas ladang amalmu. Teruslah berjalan dengan kecukupan yang Allah berikan kepadamu, sehingga tampak jelas dunia dan seisinya sebatas mazhar (penampakan), bayang-bayang dari Keagungan Tuhan. Hikmatilah Keindahan-Nya yang menjadi sebab keindahan dunia, dan Kesempurnaan-Nya yang menjadi sebab kesempurnaan dunia.
Dalam kenyataan sehari-hari kita biasa atau pernah mengalami pertentangan di dalam hati kita yang paling dalam. Untuk apa sih kehidupan ini, kita hidup tapi tak boleh mengambil banyak bagian darinya? Untuk apa sih kehidupan ini, ia tampak meriah dan memesona tapi kenyataan lainnya banyak kesusahan dan musibah yang mengesankan keglamoran itu pada hakikatnya sia-sia? Untuk apa kita beramal banyak, toh pada akhirnya semua akan berakhir pada masanya dan hanya amal tulus saja yang dapat bagian dari-Nya?
Jawaban semua ini adalah “rahasia” dalam hati orang yang beramal dengan khusyuk dan penuh keyakinan akan Kasih-sayang Tuhannya. Mereka yang berkesadaran setelah menempuh kesusahan-kesusahan hidup dan mampu mengambil hikmahnya. Jawabab-jawaban itu mungkin tersedia banyak melalui nasehat yang sudah-sudah, atau tercetak di banyak buku, tapi rasanya hambar dalam diri orang yang tak mengenal Tuhannya dan tak beramal hanya karena-Nya.
Kerjakanlah kebaikan, meski sedikit, dan resapi maknanya dalam hati sembari mengesampingkan diri sendiri. Tanamlah kebaikan berkali-kali, terus menerus, dan renungkan manfaatnya untuk diri dengan mengesampingkan hasrat nafsu. Rasakan diri tak ada artinya, dengan amal itu, ketika engkau tenggelam dalam ketakterbatasan karunia-Nya yang bersinar di dalam hati.
Kebanyakan orang menyerah dan kemudian mudah marah, pada dirinya, pada orang lain, pada dunia yang dilihat-dengar-dan-dirasakannya. Ia mencari kesalahan untuk menutupi ketidaktahuannya akan Kasih Zat Yang Tak terbatas, karena ketergesaannya mengambil kesimpulan, padahal ia belum lagi melakukan kebajikan yang sesungguhnya.
Ketika ia berbuat kebaikan, meskipun sedikit namun tulus, ia mulai merasakan Rahmat Tuhan yang luas tumbuh dalam dirinya kemudian memotivasinya untuk mengulanginya lagi, dan lagi, hingga sepenuhnya pemberiannya tak berarti. Pemberian-Nya lah yang mencukupi.