“…Di hari yang indah yang mulia Dipertemuan ini..//amalkan lah ikhlaskan iman//amalkan sifat puji dalam pergaulan//sholawat dan salam untuk rasul junjungan tercinta//semoga bersama mendapat rahmat dari Ilahi//Shollahu rabbuna ala nurril mubin ahmadan mustofa sayyidin mursalin..”
Sayup-sayup terdengar dari mikrofon sekitar lantunan syair diatas menggema seakan mengudang khalayak datang penasaran untuk bergegas melihat, mendengar, dan merasakan sebuah pagelaran menarik.
Sebelumnya satu rombongan muncul setelah bersiap-siap sebelum tampil. Anggotanya ada lelaki, perempuan, tua muda mendominasi pada barisan, dengan berkostum baju lurik dengan iket bermotif batik menempel dikepala ditambah jarik dipinggang dan yang perempuan dengan baju kebaya dan ditambah jarik pula.
Mereka membawa berbagai macam alat pertanian semacam arit (clurit) pacul atau cangkul, ani-ani (alat memanen padi) tampah atau tumbu, dan lain sebagainya. Tentu bukan betul sebuah alat pertanian sungguhan tetapi hanya sebuah replika yang menyerupai benda tersebut.
Berbaris sesuai komando mayoret dengan sigap para anggota mulai menempati posisinya dengan peran masing-masing. Setelah dirasa cukup rapi dan siap barisan sang pelantun sholawat menggemakan sebuah syair diatas sebagai pembukaan, sebuah syair Madah Nabawi atau puisi pujian kepada kanjeng Nabi.
Dilanjut dengan lagu Syubbanul Wathon (Ya lal Wathon) karya Mbah KH Wahhab Hasbulloh dengan semangat dilantunkan. Suara bass menghentak semangat kebahagiaan seakan ikut bahagia atas kembali eksisnya pertanu.
Ya Pertanu, kesenian dari lereng pegunungan Dieng tepatnya di Dusun kalilawang Wonosobo. Sebuah kebahagiaan tersendiri ketika sebuah kesenian yang dikarang oleh dua sejoli yang sama-sama mencintai kesenian dan kebudayaan, yaitu Kiai dan Nyai Masrur pada kurun tahun 1968-69an.
Kesenian yang sudah setengah abad ini merupakan kesenian tradisional yang diinspirasi dari gerakan petani ketika menggarap sawah hingga panen. Sungguh unik memang dari tari ini, sebab gerakannya ini menggabungkan gerak petani dengan diselingi lantunan selawat. Jika di tari Lengger yang kerap tampil di Wonosobo ada gerak melik-melik yang menggabarkan seorang petani, nah ini Pertanu pun juga diinspirasi dari gerak petani.
Gerakannya pun beragam dari masing-masing pemain, misalnya ada yang bertugas mencangkul, menanam, matun atau menyiangi tanaman dan gerakan lainnya yang mana dibagi dari sekitar tiga puluh anggota kesenian tari ini dengan tugas dan posisi masing masing.
Setiap kali tampil tari ini diiringi dengan selawat Badar, sebuah selawat berisikan rangkaian tawasul dengan nama Allah Swt, Rasulullah saw dan para mujahid pejuang Badar karya dari Kiai Ali mashur sekitar tahun 1960. Selawat ini mengiringi setiap gerakan dengan bermacam nada, tempo dan lagu dengan diselingi alat musik bende, kecrek, drumband besar (bass) dan symbal. Memang sedikit berbeda dengan sejak awal pertama diciptakan, yang ebelumnya hanya dengan alat seadanya seperti; kenthongan, tam, dan drum (bass).
Sepuluh nada lagu dari selawat Badar yang dilantunkan dalam menyelingi kesenian Pertanu pun cukup unik dan bisa dikatakan ‘anti mainstream’ dari lagu-lagu saat ini bahkan yang lebih mengagumkan adalah jenis vokal yang diciptakan ini menunjukkan karakter suara dan cengkok yang khas, atau lebih terasa sebagai bersahaja seperti orang desa yang hidupnya jujur, bersahaja, tegas serta dekat dengan alam dan Tuhan.
Kesenian Pertanu –Persatuan Tani NU (Nahdlatul Ulama)– ini gerakannya pun mengikuti tempo dari selawat yang digemakan. Misal, ada nada ketika seluruh penari ini seakan sumringah menunjukkan kebahagiaan panen yang melimpah, switch dari nuansa ini menjadi khusyuk ketika sedikit suluk atau intro lagu istigfar dengan “Astaghfirullah rabbal baraya..” menggambarkan seakan menyimpan pesan memohon ampun kepada Gusti Allah dan bersyukur atas limpahan dan nikmat oleh usaha menanam dengan panen yang maksimal.
Durasi penampilan dari setiap drama tarinya pun beragam kisaran lima menitan tiap lagu, dan ada sesi medang, istirahat jeda dan minum-minum seperti nuansa ketika di sawah. Sepertinya juga akan lebih asyik lagi jika ada interaksi dengan penonton sebab sebuah pertunjukan akan lebih indah jika ada interaksi apalagi jika membawa pesan kepada penonton ketika pulang, menadi bahan cerita maka, jadilah sebuah tontonan tersebut bukan hanya sekedar tontonan belaka namun dapat menjadi sebuah tuntunan
salam mas khusni… mau tau lebih dalam soal pertanu bisa bantu mas? sy triyono wonosobo