Sedang Membaca
Cerita Seru Tentang Dua Orang Kiai

Cerita Seru Tentang Dua Orang Kiai

Kiai Kiai Nu 704256 640x400

Saat itu disekitar medio tahun 1969, kondisi politik Indonesia sedang mengalami pasang surut setelah peristiwa pemberontakan G30S PKI dan masa transisi dari orde lama ke pemerintahan orde baru. Namun demikian tidak mengurangi sedikitpun pada pola keagaman terutama yang di jalankan oleh para kiai NU.

Ada sedikit cerita tentang kejadian yang terjadi di era itu tentang sebuah konsep ketegasan dalam memegang fiqih dalam beragama. Kejadian ini adalah sebuah ketetapan antara dua orang kiai besar NU yang tinggal di kota Jombang Jawa Timur. Beliau adalah kiai Abdul Wahab Hasbullah dan kiai Bisri Syansuri.

Kiai Bisri Syansuri dilahirkan di Kecamatan Tayu, Pati, Jawa Tengah, tanggal 18 September 1886. Ayahnya bernama Syansuri dan ibunya bernama Mariah. Beliau adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Memperoleh pendidikan awal di beberapa pesantren lokal, antara lain pada KH Abdul Salam di Kajen, KH Fathurrahman bin Ghazali di Sarang Rembang, Syaikhona Muhammad Kholil di Bangkalan, dan KH Hasyim Asy’arie di Tebu Ireng, Jombang. Saat belajar tersebut beliau juga berkenalan dengan rekan sesama santri, Abdul Wahab Chasbullah, yang kelak juga menjadi tokoh NU.

Dalam melalui masa pergerakan, bersama-sama para kiai muda saat itu antara lain Kiai Abdul Wahab Chasbullah, Kiai Mas Mansyur, Kiai Dahlan Kebondalem, dan Kiai Ridwan, membentuk klub kajian yang diberi nama Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran) dan sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar. Kiai Bisri adalah peserta aktif dalam musyawarah hukum agama, yang sering berlangsung di antara lingkungan para kiai pesantren, sehingga pada akhirnya terbentuklah organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Keterlibatannya dalam upaya pengembangan organisasi NU antara lain berupa pendirian rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintisnya di berbagai tempat.

Pada masa penjajahan Jepang, Kiai Bisri Syansuri ini terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya.

Pada masa kemerdekaan ia pun terlibat dalam lembaga pemerintahan, antara lain dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), mewakili unsur Masyumi (tempat Nahdlatul Ulama tergabung secara politis). Ia juga menjadi anggota Dewan Konstituante tahun 1956, hingga ke masa pemilihan umum tahun 1971. Setelah wafatnya KH Abdul Wahab Chasbullah, tahun 1972 ia diangkat sebagai Rais Aam (ketua) Syuriah (pimpinan tertinggi) Nahdlatul Ulama. Ketika NU bergabung ke Partai Persatuan Pembangunan, ia pernah menjadi ketua Majelis Syuro partai ini. Beliau terpilih menjadi anggota DPR sampai tahun 1980. Kiai Bisri Syansuri sangat terkenal tegas dan keras dalam menjalankan aturan terutama fiqih.

Baca juga:  Mochtar Lubis (1): Novel dan Manusia Indonesia

Kiai Bisri Syansuri meninggal 25 April 1980 seorang ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang. Kiai Bisri adalah kakek KH.Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden Republik Indonesia keempat dari garis ibunya.

Sementara kiai Abdul Wahab Hasbullah lahir 31 Maret 1888 adalah ulama pendiri Nahdatul Ulama. Kiai Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang ulama yang berpandangan modern, dakwahnya dimulai dengan mendirikan media massa atau surat kabar, yaitu harian umum “Soeara Nahdlatul Oelama” atau Soeara NO dan Berita Nahdlatul Ulama. Beliau diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 7 November 2014 lalu.

Beliau adalah pencipta syair “Ya Lal Wathon” yang banyak dinyanyikan dikalangan Nahdliyyin, lagu Ya Lal Wathon di tulisnya pada tahun 1934. KH Maimun Zubair (alm) mengatakan bahwa syair tersebut adalah syair yang beliau dengar, peroleh, dan di nyanyikan saat masa mudanya di Rembang. Dahulu syair Ya Lal Wathon ini dilantangkan setiap hendak memulai kegiatan belajar oleh para santri.

Dari catatan sejarah berdirinya GP Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU). Berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan mubaligh dan pembinaan kader. Kiai Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional dan Kiai Mas Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang berbeda justru saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan Islam. Dua tahun setelah perpecahan itu, pada 1924 para pemuda yang mendukung Kiai Abdul wahab hasbulloh –yang kemudian menjadi pendiri NU– membentuk wadah dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air). Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Pemuda Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO).

Nama Ansor ini merupakan saran KH. Abdul Wahab Hasbullah Diarsipkan 2020-06-10 di Wayback Machine. —ulama besar sekaligus guru besar kaum muda saat itu, yang diambil dari nama kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah yang telah berjasa dalam perjuangan membela dan menegakkan agama Allah. Dengan demikian ANO dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta teladan terhadap sikap, perilaku dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat predikat Ansor tersebut. Gerakan ANO harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar sahabat Ansor, yakni sebagi penolong, pejuang dan bahkan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan dan membentengi ajaran Islam.

Baca juga:  Sajian Khusus: Mengenal KH. Afifuddin Muhajir

Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal organisatoris belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU. Dimasukkannya ANO sebagai salah satu departemen dalam struktur kelembagaan NU berkat perjuangan kiai-kiai muda seperti Kiai Machfudz Siddiq, Kiai Wahid Hasyim, dan Kiai Dachlan.

Kiai Abdul Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di kalangan Umat Islam Indonesia, khususnya di lingkungan nahdhiyyin. Beliau merupakan seorang ulama besar Indonesia. Dan sekaligus seorang ulama yang menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan terutama kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu kiai Abdul Wahab Hasbullah membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada 1914.

Beliau juga seorang pelopor dalam membuka forum diskusi antar ulama, baik di lingkungan NU, Muhammadiyah dan organisasi lainnya. Ia belajar di Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Mojosari Nganjuk, Pesantren Tawangsari Sepanjang, belajar pada Syaikhona Kholil Bangkalan, Madura, dan Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan Hadratusy Syaikh Hasyim Asy‘ari. Disamping itu, Kiai Wahab juga merantau ke Mekkah untuk berguru kepada Syaikh Mahfudz at-Tirmasi dan Syaikh Al-Yamani dengan hasil nilai istimewa. Kiai Wahab wafat pada 29 Desember 1971 dan dimakamkan di komplek Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, tepatnya di sisi barat Desa Tambakrejo, Kabupaten Jombang.

Kiai Abdul Wahab Chasbullah merupakan pahlawan Nasional dan Ulama inspirator, salah satu pendiri dan penggerak organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama (NU). Beliau juga merupakan santri kinasih dari Hadratusyeh Hasyim Asyari. Kiai Wahab tercatat pernah menjadi lurah Pesantren Tebuireng.

Para ulama NU itu sebenarnya adalah penerus perjuangan Walisongo. Dalam menerapkan dakwah Walisongo mempunyai aneka ragam cara sesuai pemahaman penduduk setempat. Bahkan tidak jarang ada perbedaan tajam antara kelompok garis keras Sunan Ampel yang didukung oleh Sunan Giri dengan kelompok lunak Sunan Kalijaga yang didukung oleh Sunan Bonang.

Demikian juga antara Kiai Wahab dan Kiai Bisri. Walaupun sama-sama pemegang fiqih yang ketat. Kiai Wahab dan Kiai Bisri berbeda strategi dalam penerapan hukum agama. Kiai Wahab cenderung bergaris lunak, sementara Kiai Bisri bergaris keras dalam berfatwa. Ada sebuah cerita yang menarik dari kedua kiai besar tersebut.

Suatu hari ketika menjelang hari raya Idul Adha, seseorang penduduk sekitar Jombang datang menghadap untuk menyelesaikan suatu perkara aturan berqurban pada Kiai Bisri Syansuri. Dia bermaksud melaksanakan qurban dengan menyembelih seekor sapi. Namun sebelum melaksanakan qurban tersebut alangkah afdolnya kalau bertemu dengan seorang ahlinya. Maka berkonsultasi dulu kepada Kiai Bisri, apakah boleh berkurban seekor sapi untuk delapan orang? Ketentuan fiqih, satu sapi untuk tujuh orang. Padahal jumlah keluarganya ada delapan, dia ingin di akhirat nanti satu keluarga itu bisa satu kendaraan agar tidak berpencar dan tercecer.

Baca juga:  Dinamika dan Empat Tokoh Utama Ushul Fikih (4): Thahir bin Asyur; Juru Bicara Maqashid al-Syariah Era Modern

Mendengar pertanyaan tersebut sertamerta Kiai Bisri menjawab “tidak bisa”. Qurban sapi, kerbau atau unta hanya berlaku untuk tujuh orang. Itu sudah ketentuan dalam fiqih tegas beliau. Kemudian orang tersebut mencoba untuk menawar dan bernegosiasi pada Kiai Bisri, “Pak Kiai, apakah tidak ada keringanan? Karena anak saya yang terakhir belum cukup dewasa secara usia, dia berusia baru tiga bulan”.

Dengan menjelaskan dasar hukum fiqihnya secara detail, Kiai Bisri tetap tegas dan bersikukuh menjawab, tidak bisa.

Merasa agak kecewa dan tidak puas, orang tadi mencoba untuk berkonsultasi sekaligus mengadukan persoalannya kepada Kiai Wahab di Tambak Beras. Karena saat itu memang kedua kiai tersebut adalah sangat berpengaruh di Jombang atas keilmuan agamanya. Lalu orang itupun menemui kiai Wahab dan menceritakan persoalan tentang niat berqurbannya itu panjang lebar. Mendengar persoalan yang diceritakan orang itu, Kiai Wahab dengan ringan menjawab, “Bisa, sapi itu bisa digunakan untuk delapan orang. Cuma karena anakmu yang terakhir itu masih kecil, maka perlu ada tambahan.”

Mendengar jawaban Kiai Wahab, orang itu tampak gembira dan sedikit lega.

“Agar anakmu yang masih kecil itu bisa naik ke punggung sapi, harus pakai tangga. Untuk itu, sampeyan sediakan seekor kambing agar anak sampeyan yang masih kecil tadi bisa naik ke punggung sapi.”

“Ah, kalau cuma seekor kambing saya sanggup menambah. Dua ekor pun sanggup asal kita bisa bersama-sama, Kiai.”

Akhirnya pada hari qurban tiba orang tersebut menyerahkan seekor sapi dan seekor kambing pada Kiai Wahab. Semua berjalan lancar dan tak ada satu halanganpun menerpa.

Dari sekelumit cerita di atas tadi, kita mengetahui dengan jelas bahwa pola berdakwah di masyarakat itu memerlukan cakrawala pemikiran yang luas dan luwes. Kiai Wahab menggunakan kaidah Ushuliyyah “Maa laa yudraku kulluh, laa yutraku julluh”, Apa yang tidak bisa diharapkan semuanya janganlah ditinggal sama sekali. Di sinilah peranan Ushul Fiqih terasa sangat dominan dari Fiqih itu sendiri.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top