Penulis di Majalah Nasyath Salafiyah Pasuruan. Saat ini tercatat sebagai Mahasiswa UIN Walisongo Semarang.

Naskah Kitab Samarkand: Jejak Teologi Maturidi di Tanah Jawa

Halaman Awal Naskah Kitab Samarkand

Masyarakat Jawa sampai saat ini dikenal sebagai pengikut sejati Asy’ariyyah. Selain dari pujian sifat-sifat Tuhan di masjid ketika menjelang tarawih, indikasi lain adalah pengkajian kitab-kitab teologi Asy’ariyyah di lembaga pendidikan Islam, dengan kitab yang sangat terkenal seperti: Jauharah at-Tauhīd, Kharīdatul Bahiyyah, Aqīdatul Awwām, dsb. Sehingga tidak salah jika Jawa dikatakan sebagai Asy’ari sejati.

Tapi, masyarakat Jawa hampir pernah mengikuti mazhab teologi lain, yaitu Maturidiyyah. Hal ini terbukti dari banyaknya salinan manuskrip, atau kodeks, yang bermuara pada nama yang tidak asing lagi, Abū Laits as-Samarqandī. Manuskrip yang tersebar di berbagai daerah adalah kitab tauhidnya yang sering dinamai Kitab Samarkandi. Salah satu manuskrip berkode BLAS/SUM/16/AK/14 yang disimpan di Sumenep, Madura, milik seseorang yang bernama Husnan. Manuskrip tersebut berisikan doktrin-doktrin akidah Sunni yang khas Maturidiyyah.

Sebenarnya, tidak ada perbedaan yang mendasar antara Asy’ariyyah dengan Maturidiyyah. Keduanya sama-sama yang membangun teologi Sunni. Hanya saja, pengaruh keduanya berbeda: jika Asy’ariyyah cenderung mengandalkan naqli, maka Maturidiyyah lebih condong ke aqli. Perbedaan corak pemikiran ini pasti mempengaruhi masyarakat di mana teologi itu berkembang.

Dilihat dari jenis kertasnya, sepertinya manuskrip tersebut ditulis menggunakan kertas daluang. Aksara arab yang digunakan juga rapi penulisan maupun penyusunannya. Terdapat makna yang berbahasa jawa pegon sebagai terjemahan dari teks utama. Dalam penulisan tersebut, terdapat rubrikasi atau tinta merah sebagai penekanan bahwa terdapat diskusi baru yang ditulis dengan kata mas’alatun, sebuah pertanyaan. Tidak ada tahun tertulis mengenai penulisan naskah maupun nama penyalinnya. Tapi, dilihat dari penggunaan daluang, kerapian penulisan, dan rubrikasi, mungkin naskah ini ditulis (sebagai kodeks) pada abad 19 atau awal abad 20.

Baca juga:  Resensi Buku: Mbah Moen Sang Kiai Teladan

Masyarakat Jawa yang Asy’ari hampir saja berkiblat pada Maturidi. Abu Laits as-Samarqandi dikenal sebagai ulama yang menganut mazhab Hanafi dan Maturidi. Ensiklopedia tokoh karangan az-Zirkili mencatat Abu Laits sebagai aimmah atau tokoh penting dalam mazhab tersebut. Tentu, jika ini terjadi, kita akan menemui masyarakat Jawa yang berbeda dari sekarang.

Dalam diskusi awal Kitab Samarkand, barangkali kita tidak menemukan hal-hal yang ganjil. Semuanya tampak normal bagi kita yang Asy’ari. As-Samarqandī mendefinisikan keimanan kepada Allah, malaikat, kitab suci, para nabi, hari kiamat, dan qadha Allah sama seperti yang diajarkan kepada kita dalam kitab-kitab tauhid. Malahan, di dalamnya disebutkan perincian yang jarang disebut dalam kitab tauhid level matan, misalnya seperti jumlah kitab suci ada 104 buah, eksistensi Nabi Syits, eksistensi malaikat kurubiyyun dan ruhhaniyyun, dan malaikat yang menyangga matahari. Yah, meskipun bukan sesuatu yang menghebohkan, setidaknya kitab selevel matan ini mau menyinggung hal-hal rinci tersebut.

Letak rasionalitas kitab ini terletak pada 10 halaman terakhir. Dari sini, as-Samarqandi terus menerus membahas mengenai keimanan (tentu dengan logika ala mutakallimin). Ia menanyakan mengenai hakikat keimanan, dan lalu, dijawab dengan penalaran-penalaran khas Maturidi. Misalnya ditanyakan apakah iman itu dapat dibagi? Dari sini logika bermain. Kalangan Asy’ari, An-Nawawi misal, mengatakan dalam Syarh Muslim-nya (juz 1, hlm. 146) bahwa iman itu dapat dibagi, bertambah dan berkurang. Demikian juga menurut Al-Ghazali dalam Ihya’ (juz 1, hlm. 440-441). Alasannya, sebagaimana khas Asy’ari yang mengandalkan naqli, bahwa terdapat hadis yang menyatakan bahwa amal soleh dapat menambah amal, sebaliknya, amal buruk dapat mengurangi iman.

Baca juga:  Sabilus Salikin (5): Dasar Hadis Tarekat

As-Samarqandī berkata lain. Ia berpendapat bahwa iman itu tidak bisa dibagi, atau berkurang dan bertambah. Ia adalah status yang diberikan Tuhan kepada manusia sehingga ia tidak bisa berubah. Logikanya, apakah jika iman berkurang, berkurang pula status keimanannya, padahal keimanan adalah sesuatu yang dituntut dalam agama? Dalam logika hal ini disebut hukum kontradiksi, bahwa keimanan yang berkurang tidak bisa bersamaan dengan iman yang tetap, sehingga seolah-olah ada dua status iman.

Contoh sederhana ini menunjukkan rasionalitas teologi Maturidi. Dan ini bisa saja menggeser kiblat teologi di Jawa. Efeknya mungkin kita yang Asy’ari, atau lebih spesifik, NU, mungkin tidak lagi bersikap setoleran ini dengan problematika keagamaan. Barangkali kita menjadi sangat kritis, terutama ketika menghadapi apa yang disebut adat. Selama ini kita lebih sering bersikap kompromi sebab memang dalil atau penguat masih bisa dicarikan dalam nash keagamaan dengan interpretasi yang mendukung. Tapi, dihadapan akal, hal seperti itu terasa aneh. Mungkin ini yang terjadi jika masyarakat Jawa menjadi Maturidi karena mengkonsumsi tulisan Abu Laits as-Samarqandi yang tersebar masif pada awal abad 20-an.

Lambat laun, teologi Maturidiyyah yang dibawa oleh Abū Laits as-Samarqandī tidak bisa berkembang lebih jauh. Kitab as-Samarqandī yang dikaji di pondok pesantren hanya berupa nasihat-nasihat yang dikenal dengan Tanbīh al-Ghāfilīn. Kekalahan teologi Maturidi oleh teologi Asy’ariyyah adalah karena tradisi di tanah Jawa yang pada umumnya masih menokohkan sosok tertentu beserta karomah-nya (walisongo, para guru, mursyid) dan keawaman masyarakat Jawa itu sendiri. Pada masyarakat yang seperti itulah teologi Asy’ariyyah dapat berkembang dan bertahan, sebagaimana kata Dr. Simuh (2019: 145-146). Sehingga, meskipun teologi Maturidi diakui sebagai teologi Aswaja, hanya saja eksistensinya di tanah Jawa masih kalah dengan Asy’ariyyah. Wallahhu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top