Belajar dari Liverpool. Waktu Luis Suarez hengkang pasca kontroversinya menggigit Ivanovic, Brendan Rodgers tidak ambil pusing. Komentarnya santai saja: “No one is bigger than Liverpool.”
Sepak bola Liverpool memang sepak bola tim, bukan sepak bola bintang. Suarez hanyalah satu di antara bintang yang kemunculannya bisa saja tergantikan oleh bintang-bintang di malam yang kemudian. Nilai kebersamaan yang tersimpul dalam filosofi “We never walk alone” lebih besar dari sekadar ketenaran perorangan.
Benar saja. Bintang-bintang yang lama redup pergi. Bersinarlah bintang-bintang baru yang berhasil mengantarkan Liverpool jadi jawara Eropa pada tahun 2019, dilanjut piala dunia antar klub, sampai kemudian kembali juara liga Inggris setelah 30 tahun lamanya. Semua prosesinya terjadi setelah menyingkirkan Suarez, bahkan tanpa dengan Brendan Rodgers lagi.
Maka kalau ada pelajaran yang bisa dipetik mungkin itu tersimpul dalam keyakinan tersirat Liverpool bahwa: para bintang datang. dan pergi, yang menetap adalah nilai kebersamaan yang mesti dijunjung tinggi.
Rasanya ajaran ini semakin relevan setiap kali datang musim politik. Percaya tidak percaya, masih banyak orang- orang di lingkungan kita yang terjebak dalam pengkultusan mereka para manusia baliho yang didaulat sebagai juru penyelamat setiap 5 tahun sekali.
Kalau ada kaidah yang bisa menjelaskan illat di balik fenomena itu, mungkin apa yang dikatakan Malek Bennabi sang pemikir Aljazair masihlah relevan jadi maklum, “Setiap kali pikiran terbenam, maka terbitlah berhala,” maka amat sangat wajar pengkultusan terhadap tokoh politik masih semarak, toh budaya literasi kita belum juga membaik.
Maka paling tidak, dari Liverpool kita belajar untuk mementingkan kebersamaan, alih-alih saling menghardik karena tokoh-tokoh pilihan.
Sebab dalam banyak hal, politik adalah seni meramu kemungkinan, dan sialnya sebagai rakyat, kita tidak pernah tahu kemungkinan terburuk apa yang akan terjadi. Siapa yang menyangka, tokoh yang kita puja- puja, bela mati-matian eh malah berakhir bertemu di MRT berbagi kekuasaan. Ya, seakan pemilhan hanyalah lakon penuh kepura- puraan.
Itulah boleh jadi harga bagi bangsa yang menganggap tahun politiknya sebagai peristiwa yang sakral. Tentang hidup dan mati, bahkan menjalar ke perdebatan seputar mana yang mewakili Islam dan mana yang bukan. Padahal musim politik, harusnya tak lebih sama dengan musim durian, musim layangan, atau satu musim dalam liga Inggris, yang apapun itu hasilnya, menang atau kalah tim kesayangan kita, dari awal kita tahu, hasilnya tidak bakal merubah nasib kita secara radikal.
Saya menyadari itu, waktu sedang asyik- asyiknya mengobrol tentang Liverpool dan Salah bersama teman- teman, kemudian salah seorang dosen filsafat kami di al- Azhar yang sedang duduk bersama kami tiba- tiba nyeletuk bilang sudah lama berhenti nonton bola, alasan beliau sejenak membuat saya merenung:
“Sebenarnya saya sekarang sudah gak lagi nonton bola, tapi saya senang waktu tahu Salah sering sujud setelah cetak gol. Waktu muda sempat saya senang nonton, tapi semenjak kuliah, saya jadi berpikir begini: menang atau kalah tim kesayangan. saya, besoknya tetep harus berangkat sekolah, paman saya yang kuli bangunan tetap nguli, yang petani tetap nyawah, yang supir Tremco tetep nyupir, hidup kami sama sekali gak berubah. Kalau bola cuma kesenangan batin, maka saya punya banyak alternatif menggantikannya, semenjak itu saya jarang lagi nonton bola.”
Ya, siapa yang berani jamin kesimpulan sang dosen dari Mesir itu terkait Liverpool, Mohammed Salah, pada akhirnya tidaklah jauh berbeda dengan nasib kita setelah pergi ke TPS, dan menemukan Jagoan politik kita ternyata menang, dan ternyata yang kita dapatkan hanyalah kesenangan batin, tidak lebih, tidak kurang. Maka berhentilah membesar- besarkan tahun politik.