Sekian tahun lalu, para pembaca sastra edisi terjemahan bahasa Indonesia terpukau dengan buku berjudul Harun dan Samudra Dongeng (2011). Tampilan sampul buku mengesankan sebagai bacaan bocah. Orang-orang tak ruwet berpikiran umur lekas membaca buku gubahan Salman Rushdie.
Penemuan kalimat-kalimat mengesankan mengenai dongeng membuat pembaca terbujuk memuliakan imajinasi. Halaman demi halaman buku terbaca, tawa tercipta, duka melanda, dan renungan berkepanjangan. Kita belum kehabisan takjub dengan dongeng-dongeng sulit punah di dunia.
Kita mengutip: “Kota itu adalah kota yang paling sedih di antara kota-kota lainnya, sebuah kota yang begitu parah sedihnya sehingga lupa pada namanya sendiri.” Ironi terasakan sejak halaman awal. Kota dan kesedihan berakibat lupa nama. Pada suatu masa, kita menikmati dongeng-dongeng dengan penasaran nama-nama kota, negeri, atau kerajaan. Nama terlalu penting bagi kemendalaman imajinasi.
Salman Rushdie keterlaluan dalam menghadirkan sosok pendongeng. Si anak pendongeng pernah kagum: “… dongeng-dongengnya amat banyak dan berbeda-beda, berselang-seling membingungkan tanpa pernah saling tertukar, dan ia tak pernah membuat kesalahan sekali pun.” Mulut pendongeng membuat orang-orang terkesima menikmati dongeng-dongeng. Sekian kata terucap, imajinasi penikmat bergerak ke sembarang arah. Pendongeng itu bukan penulis tapi telah “menaklukkan” orang-orang di pelbagai kota. Salman Rushdie memberi penggambaran berlebihan: “Bahkan suatu kali di sebuah kita yang disinggahinya, sapi-sapi yang sedang berkeliaran berhenti dan memasang kuping, monyet-monyet melompat mendekat dari atas atap rumah, dan burung-burung nuri di pepohonan menirukan suaranya.”
Tahun-tahun berlalu, pembaca sastra di Indonesia berhak dirundung takjub saat membaca Cara Terbaik Menulis Kitab Suci (2021) gubahan Yudhi Herwibowo. Ia tak berniat menandingi Salman Rushdie. Kita masih tetap mendapat cerita-cerita menakjubkan dituturkan orang-orang di pelbagai kota. Cerita-cerita tak terbiarkan untuk mulut dan telinga saja. Yudhi Herwibowo membuat tokoh-tokoh sebagai penulis. Sekian cerita dicari dan ditulis. Konon, ada janji-janji pembuatan abadi.
Salman Rushdie dengan tokoh bergelimang dongeng. Yudhi Herwibowo bergerak dengan tokoh-tokoh melakukan penulisan. Kita perhatikan penjelasan awal: “Pada masa itu, semua orang masih menyebarkan cerita dari mulut ke mulut, tak banyak yang bisa menulis secara langsung. Orang-orang terpelajar dan kaya mulai menyadari bahwa tulisan adalah sesuatu yang bisa diwariskan untuk masa depan. Maka, mereka mencari seorang penulis untuk menuliskan apa yang mereka inginkan. Biasanya cerita-cerita dari leluhur mereka, atau yang berkaitan dengan acara yang mereka gelar, atau bahkan sekadar tentang mimpi-mimpi mereka.” Situasi zaman memungkinkan peran dan pengaruh Guru Arangkasadra. Peran bakal berlanjut seru melalui murid bernama Sinduralutta.
Guru Arangkasadra, sosok berbahagia bersama pena dan tinta. Pada suatu hari, ia berkhotbah di hadapan Sinduralutta dan Kantarapajja: “Kalian jangan berpikir terlalu jauh! Aku tentu terlahir sebagai penulis, tak ada yang lain. Tapi sejujurnya, bukan penulis seperti ini yang aku harapkan. Bukan penulis yang menuliskan kejadian-kejadian sesuai keinginan orang lain. Aku ingin sekali menulis kisah-kisah yang ada di luar sana. Kisah-kisah menakjubkan yang mungkin nyaris terlupakan untuk ditulis.” Khotbah mengandung pengharapan. Pada suatu masa, misi itu diwujudkan Sinduralutta. Ia mengembara mencari cerita-cerita menakjubkan. Ia menulis berkesadaran bakal terbaca pada masa depan.
Sinduralutta mengajak kita bergerak ke pelbagai tempat, berjumpa orang-orang sanggup memberi cerita-cerita menakjubkan. Penulis itu memiliki sejenis selera atau pertimbangan untuk memilih cerita-cerita terpantas ditulis di kitab tebal warisan Guru Arangkasadra. Ia sadar mutu, “kebenaran”, keluhuran, dan kebaikan dari cerita-cerita. Kita sebagai pembaca cerita-cerita dituliskan Sinduralutta merasa berada di buaian imajinasi ketakjuban.
Kita mengandaikan tokoh buatan Yudhi Herwibowo berada di Nusantara. Ia mungkin bakal menjadi ahli folklor. Di majalah Matra edisi September 1922, James Dananjaya menerangkan: “… folklor adalah bagian dari kebudayaan yang bersifat sederhana, usianya sudah tua, bersifat tradisional, mempunyai banyak versi dan seringkali belum dipoles sehinggat terlihat keluguannya. Namun laksana gadis desa yang masih asli, sekali didandani akan berubah menjadi gadis cantik pembetot berahi bagi yang melihatnya. Tapi karena si gadis selalu berada di sekitar kita, maka kita sering sangking terbiasanya tidak memperhatikannya lagi. Baru nanti setelah diincar oleh orang luar, kita baru ‘kebakaran jenggot’.”
Di pengembaraan, Sinduralutta mencari dan menemukan cerita-cerita sudah termiliki orang-orang atau komunitas. Sinduralutta kadang menemukan kesulitan untuk sampai cerita dari sumber mula atau terpenting. Di penulisan, cerita-cerita tersimak mengalami perubahan gara-gara penggunaan bahasa dan corak cerita dianut Sinduralutta. Kita menganggap itu siasat “mendadani” cerita seperti dijelaskan James Dananjaya. Sinduralutta turut campur meski sedikit saat menuliskan cerita.
Pada masa lalu, ikhtiar itu dilakukan para sarjana Eropa dan pejabat kolonial. Folklor di Nusantara dikumpulkan dengan beragam cara, dituliskan dan terbit menjadi buku-buku mengalami “pendadanan” mengandung pelbagai misi: sastra, politik-kolonial, kebahasaan, etika, dan agama. Pada masa orang-orang telah sanggup membaca-menulis, warisan-warisan folklor dituliskan dan dibukukan itu terbaca berbeda dari kehendak otentik.
Peran dimiliki Sinduralutta bukan cuma pencari dan penulis dari cerita-cerita beredar atau cerita-cerita menentukan nasib negeri. Cerita mengakut perkara biografi, sejarah, dan geografi. Sinduralutta membawa misi-misi besar “disederhanakan” dengan keseriusan menuliskan cerita-cerita menakjubkan diceritakan orang-orang. Bergerak untuk menemukan orang dan cerita berisiko lapar, sakit, dan kematian. Ia pun mudah untuk menjadi sasaran kejahatan. Di pengembaraan dan penulisan, ia kadang merasa kecewa dan belum memenuhi pengharapan seperti pernah diucapkan Guru Arangkasadra.
Pada suatu hari, ia mengalami kepuasan dan nostalgia. Sinduralutta bertemu tukang cerita, sosok bukan berasal dari buku gubahan Salman Rushdie. Yudhi Herwibowo sengaja memunculkan tokoh sebagai tukang cerita, bukan para penulis saja. Kita mengutip pengalaman batin Sinduralutta mengenai keampuhan tukang cerita: “Aku menikmati sekali ceritanya. Aku bagai kembali menjadi bocah kecil saat berdesak-desakan di tengah pasar untuk mendengar tukang cerita yang kebetulan mampir.” Di situ, kita dihadapkan perbedaan derajat cerita dituturkan dan dituliskan. Tukang cerita itu memikat. Sinduralutta selalu berharap bisa menuliskan segala cerita dengan menakjubkan. Bahasa dan selera tentu berbeda bagi tukang cerita dan penulis.
Kelelahan dan pengharapan ditanggungkan bersamaan. Sinduralutta sudah bergerak (agak) jauh tapi rawan kecewa dan merasa gagal. Ia mengatakan: “Kupeluk kitab Guru erat-erat. Kembali terbayang olehku kalimat-kalimat yang kutulis di sana. Baru tujuh kisah, dan aku akan terus mengisinya. Akan kupenuhi kitab ini, sesuai keinginan Guru. Akan kulakukan itu. sungguh.” Pembaca perlahan mengerti bahwa predikat dimiliki Sinduralutta (terlalu) berat untuk menjadikan cerita-cerita menjadi tulisan. Begitu.
Judul : Cara Terbaik Menulis Kitab Suci
Penulis : Yudhi Herwibowo
Penerbit : Banana
Cetak : November 2021
Tebal : 232 halaman
ISBN : 978 623 9672 9 3