Abad kesembilan sampai ketiga belas dunia Muslim ditandai dengan era perkembangan ilmiah, religius, filsafat, dan kebudayaan dalam skala serta kedalaman yang tak tertandingi sejarah, baik sebelum maupun sesudah era itu.
Setelah melesat bangkit dari gurun gersang Arab, kebudayaan Islam sekarang meliputi banyak budaya, agama, dan tradisi intelektual yang bineka, mulai dari Spanyol sampai India.
Dalam masa ini, pencapaian kebudayaan sebelumnya dipadukan, dibandingkan, dan menjadi alasan untuk menciptakan zaman keemasan baru dalam penemuan ilmiah. Tak ada tempat lain di jagat ini yang mampu memadukan begitu beragam orang, dilengkapi banyak intelegensia lokal. Hasilnya, sebuah era yang tidak hanya berperan sebagai jembatan antara pengetahuan kuno dan Renaisans Eropa, tetapi juga menjadi fondasi bagi dunia ilmiah modern (Goody, 2006).
Matematika
Sumbangan umat Muslim terhadap perkembangan matematika pada masa keemasan hanya dapat dilukiskan dengan lema monumental. Matematika tentu saja menjadi dasar bagi hampir semua ilmu pengetahuan, termasuk fisika, kimia, astronomi, dan geografi (Nasr, 2001). Namun, bagi para ilmuwan Muslim pada masa keemasan, matematika juga merupakan ilmu suci.
Mereka berharap bahwa pemahaman akan matematika lanjut dapat membantu mengungkapkan prinsip numerik yang mendasari dan menentukan hukum alam di jagat. Hari ini, siapa pun yang mengambil kelas fisika dasar akan memafhumi bahwa rumuslah yang menentukan gerakan objek dalam ruang.
Pada masa keemasan, formula itu masih misteri. Melalui teori dan eksperimen, ilmuwan berharap menemukan algoritma ajaib ini. Pemahaman tersebut menuntun pada sikap menghargai dan mencintai kekuasaan Allah serta hubungannya dengan ciptaan-Nya. Dengan demikian, pembelajaran matematika merupakan perjalanan religius juga.
Salah satu ilmuwan matematika Muslim terbesar bernama Muhammad bin Musa al-Khwarizmi, orang Persia yang hidup dari 780 sampai 850 Masehi. Dia salah satu orang pertama yang bekerja di Baytul Hikmah (Rumah Filsafat. Hikmah dalam bahasa Arab bermakna filsafat, selain tujuan, kebijaksanaan, dll.) dan meletakkan landasan bagi perkembangan masa depan matematika. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah penggunaan sistem angka India dan penyebaran informasinya (Masood, 2009).
Sebelumnya, di banyak tempat digunakan sistem angka Romawi dengan berbagai keterbatasannya. Sedangkan permasalahan matematika kompleks melibatkan angka non-bilangan bulat yang tidak mungkin menggunakan sistem angka Romawi. Dan, sistem angka India (1,2,3,4, …) membuat angka besar dan negatif dapat dibahasakan, sehingga memudahkan perhitungan kompleks.
Al-Khwarizmi tak hanya meminjam sistem angka India kuno, tetapi juga menambahkan satu mata rantai yang hilang: angka nol. Walaupun secara matematis tidak mampu membuktikan nol (karena berapa pun angka dibagi nol hasilnya tak terdefinisi), al-Khwarizmi menerapkannya dalam penelitian lebih lanjut, yaitu merevolusi beberapa subjek dan menentukan yang lain.
Menurut Jay Bonner dalam bukunya Islamic Geometric Patterns: Theirs Historical Development and Traditional Methods of Construction (New York, USA: Springer, 2017), sumbangan terbesar al-Khwarizmi berkaitan dengan perkembangan aljabar. Dalam karya monumentalnya, Buku Ringkasan Kalkulasi dengan Melengkapi dan Menyeimbangkan, dia mendedahkan bagaimana persamaan aljabar dapat digunakan untuk meyelesaikan masalah sehari-hari, mulai dari pembagian warisan sampai geografi. Di sinilah al-Khwarizmi menjadi pelopor.
Meski jago di bidang geometri, masyarakat Yunani kuno gagal memisahkan aljabar teoretis darinya. Buku al-Khwarizmi memantapkan aljabar sebagai bagian pelajaran matematika dengan penerapan praktisnya. Bahkan, sesungguhnya kata aljabar itu sendiri diambil dari judul bukunya. Aljabar berasal dari lema al-jbr, yang berarti “melengkapi”. Hal ihwal ini mengacu pada menyamakan kedua sisi persamaan aljabar untuk mendapatkan solusi.
Matematikawan hebat lain dari Persia adalah Umar Khayyam, yang hidup dari 1048 hingga 1131 Masehi. Meskipun lebih dikenal di Barat karena puisi tentang cinta dan mistik Islam, dia seorang matematikawan yang genius, selain seorang ahli perbintangan. Dia membantu mendorong batas-batas pokok ilmu yang tak bisa dilakukan pendahulunya.
Umar Khayyam menemukan metode untuk memecahkan persamaan kubik–persamaan aljabar yang variabelnya mencapai kelipatan tiga. Menelaah aljabar teoretis lebih lanjut, dia juga termasuk salah satu yang paling awal (jika bukan yang pertama) memformulasikan teorema binomial. Teorema ini membantu memecahkan masalah aljabar dengan mengembangkannya dalam penjumlahan (Huff, 2003).
Penemuan ini mungkin nampak terlalu teoretis dan hanya bermanfaat untuk menyiksa murid kelas dua sekolah menengah pertama, tetapi penemuan ini memiliki implikasi penting. Melalui aljabar tingkat lanjut, pelajaran trigonometri dan kalkulus dapat dikembangkan.
Kemudian, trigonometri itu dikembangkan oleh orang Muslim sendiri, terutama oleh ilmuwan abad kesepuluh, al-Battani, untuk alasan yang sangat praktis.
Melalui fungsi trigonometri dan pemafhuman dasar tentang bintang, seseorang dapat menghitung dengan tepat posisinya di Bumi. Perihal ini sangat penting bagi masyarakat Muslim yang harus melaksanakan ibadah sembahyang menghadap ke Makkah. Buku-buku pedoman yang dihasilkan pada Masa Keemasan berhasil mendata ratusan kota, titik koordinatnya, dan arah kiblat ke Makkah (Morus, 2017).
Karena alasan ini, sekarang banyak masjid yang dibangun lebih dari seribu tahun lalu telah mengarah tepat ke Makkah, bahkan yang berjarak ribuan kilometer jauhnya. Sifat trigonometri dasar yang dikembangkan matematikawan Muslim bahkan berfungsi sebagai basis cara kerja sistem the Global Positioning System (GPS) saat ini.
Fisika
Sejauh ini matematika hanya memengaruhi ilmuwan Muslim. Jika mereka benar-benar ingin memahami prinsip yang diciptakan Tuhan untuk mengendalikan alam semesta, pelbagai gagasan yang dirumuskan matematikawan harus ditetapkan di dunia nyata. Pada titik itulah sekumpulan fisikawan Muslim berbakat hadir.
Seperti di bidang lain, fisikawan Muslim membangun pengetahuannya di atas kebudayaan kuno yang karyanya diterjemahkan ke bahasa Arab. Dengan mengambil dari pelbagai tradisi intelektual dan ilmu pengetahuan yang sudah dikuasai dunia Islam, para fisikawan Masa Keemasan mengembangkan beberapa konsep inti dalam bidang ini. Karya mereka membantu meletakkan dasar bagi para tokoh besar seperti ditelaah lebih lanjut oleh Newton dan Einstein.
Salah satu ilmuwan utama yang turut menyumbang dalam tradisi intelegensia berlestari ini adalah Ibnu al-Haytham (965-1040 M). Dia berasal dari Irak.
Semula, al-Haytham bekerja sebagai pegawai negeri di pemerintahan Abbasiyah. Namun, dia segera meninggalkan pekerjaan itu untuk bergabung dengan pusat intelektual yang menjanjikan di Kairo, ibu kota Kerajaan Fatimiyyah. Setelah berselisih dengan penguasa Fatimiyyah, dia menjadi tahanan rumah, yang ternyata menghadirkan berkah baginya dan bagi bidang fisika itu sendiri.
Saat ditahan di rumahnya sendiri, Ibnu al-Haytham mampu memusatkan perhatian dan dan usahanya untuk mempelajari cahaya. Sejak masa kuno, penelitian perihal cahaya dan sifatnya telah membingungkan, bahkan bagi orang-orang paling cerdas. Salah satu gagasan terkemuka tentang cahaya pada masa Ibnu al-Haytham bersumber dari Ptolomeus. Dia berpendapat bahwa cahaya adalah sinar yang dipancarkan dari mata, membentuk objek, dan kembali ke mata sehingga orang bisa melihat.
Tradisi Yunani kuno dalam memahami dunia yang sepenuhnya bertumpu pada filsafat, cenderung berlawanan dengan keyakinan Ibnu al-Haytham. Dia menganjurkan agar teori ilmiah diformulasikan melalui penelitian empiris dan eksperimen. Maka, dia melakukan ratusan eksperimen dalam sifat cahaya.
Dengan lebih banyak mengandalkan ilmu pengetahuan daripada filsafat, dia menyimpulkan teori Ptolomeus tentang cahaya yang dipancarkan mata itu benar-benar mustahil. Malah, dia menganjurkan teori bahwa cahaya memantul dari setiap titik objek ke mata, dan sejumlah besar sinar cahaya diubah menjadi informasi yang dapat diproses otak.
Saat Ibnu Sina membedah mata di Persia untuk memafhumi bagaimana cahaya melintasinya, Ibnu al-Haytham sedang mengadakan penelitian serupa di Mesir. Setelah sekian tahun bekerja keras, melakukan penelitian dan eksperimen, Ibnu al-Haytham menulis buku yang tergolong inovatif pada masanya. Dalam Buku tentang Optik, Ibnu al-Haytham berpendapat bahwa cahaya sendiri terdiri atas sinar-sinar yang bergerak dalam garis lurus.
Lebih jauh lagi dia merancang Kamera Obskura, alat yang terdiri atas kotak kedap cahaya dengan satu lubang kecil yang tembus ke belakang. Pada dinding dalam kotak yang berseberangan dengan lubang, gambar apa pun yang tertangkap oleh lubang akan diproyeksikan. Dia berpendapat bahwa hal ihwal ini hanya bisa terjadi jika sinar cahaya lurus datang dari objek di luar kotak yang difokuskan oleh lubang dan mendarat di dinding seberang lubang.
Ibnu al-Haytham belum memiliki teknologi yang diperlukan untuk mengembangkan Kamera Obskura selangkah lebih lanjut menjadi kamera yang dapat menangkap gambar sekarang. Namun, tanpa penelitian rintisannya di bidang optik, kamera takkan terwujud dalam 1.000 tahun ke depan.
Dia juga berhasil memadukan bidang optik dan astronomi dalam kalkulasinya tentang kedalaman atmosfer bumi. Dengan menggunakan prinsip yang diturunkannya sehubungan sifat cahaya yang dibelokkan, dia menyimpulkan bahwa saat matahari terbenam, warna langit berubah sesuai dengan sudut sinar matahari mengenai atmosfer.
Berdasarkan warna dan posisi relatif matahari terhadap bumi pada banyak kesempatan, dia sampai pada perhitungan kedalaman atmosfer yang tak jauh berbeda. Baru ketika pesawat ruang angkasa dari Amerika Serikat terbang ke luar angkasa, kita mampu memverifikasi perhitungan Ibnu al-Haytham.
Menurut Roshdi Rashed dalam karyanya Ibn al-Haytham’s Theory of Conics, Geometrical Consruction and Practical Geometry: A history of Arabic science and mathematic Volume 1 (New York, USA: Routledge and CAUS, 2013), prestasi ilmiah Ibnu al-Haytham dapat menjadi bahan tulisan tersendiri dan memang demikian.
Dilaporkan dia telah menulis lebih dari 200 buku, tetapi hanya beberapa puluh yang masih terselamatkan hingga kiwari. Dia memelopori perumusan lensa pembesar, hukum gerak, geometri analitis, kalkulus, astronomi, bahkan psikologi eksperimental.
Mempertimbangkan seluruh prestasinya secara bersamaan, kita dapat benar-benar memahami warisan Ibnu al-Haytham sesungguhnya: metode ilmiah. Kini metode ini menjadi teknik yang digunakan seluruh ilmuwan untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah. Kepercayaan mutlak Ibnu al-Haytham pada pengamatan dan eksperimen–yang sekarang kita sebut metode ilmiah–memisahkan sains dari filsafat Yunani kuno.
Pemafhuman dunia modern dalam seluruh bidang ilmu didasarkan pada metode yang diprakarsai tokoh intelegensia besar ini. Dalam menjelaskan mengapa dia menyelami penelitian ilmiah begitu dalam, Ibnu al-Haytham menyimpulkan, “Aku terus-menerus mencari pengetahuan dan kebenaran. Sudah menjadi keyakinanku bahwa untuk mendapatkan jalan menuju cahaya dan kedekatan kepada Allah, tidak ada cara yang lebih baik dibanding mencari kebenaran dan pengetahuan.”
Pasca Ibnu al-Haytham meninggal dunia, para ilmuwan Muslim melanjutkan penemuannya dan mencari manfaat praktisnya. Penemuan dan pengembangan atas alat-alat lama selalu muncul, dari jam air yang semakin tepat sampai peralatan laboratorium kimia. Poros engkol, pompa air, kacamata, kompas, pesawat glider, gelas minuman, bahkan robot bertenaga air, semuanya muncul di dunia Muslim sekitar abad ketiga belas. Dan, masih banyak lagi (Saliba, 2007).
Arkian, yang patut dicatat, melalui studi sains lanjutan, revolusi teknologi terjadi di dunia Islam. Ketika cahaya kreativitas ilmiah Muslim meredup–saat pasukan Perang Salib dan suku Mongol menimbulkan malapetaka di jantung negeri Muslim pada abad kedua belas dan ketiga belas–Eropa Kristen memungutnya. Di sana, revolusi ilmiah lain dipicu lewat karya Copernicus, Galileo, dan Newton (Alkhateeb, 2016). Semuanya familier dengan literatur ilmiah Islam dan hampir pasti dipengaruhi olehnya.