Sedang Membaca
Kuasa Kata: Mendayagunakan Retorika dalam Bernegara
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Kuasa Kata: Mendayagunakan Retorika dalam Bernegara

Telah lama Jawa, atau kebudayaan-kebudayaan lokal lainnya, dibandingkan dengan agama yang jelas tak akan pernah terbandingkan. Banyak data sejarah yang menyajikan perbandingan antara budaya dan agama yang akhirnya, seperti yang banyak diketahui, justru menggerus atau menghilangkan suatu kebudayaan yang pada akhirnya pula—meskipun menang—membuat agama itu asing atau malah menyebabkan petaka.

Perbandingan yang tepat sebenarnya bukanlah, seumpamanya, Islam atau Kristen dengan Jawa atau Sunda. Melainkan Islam dengan Kristen atau Jawa dengan Sunda. Sehingga fenomena purifikasi keagamaan, yang terkadang dalam dunia akademik dikenal sebagai “Arabisasi,” yang sampai menghilangkan identitas dan karakter sebuah komunitas tak akan hilang.

Taruhlah perbandingan yang akhirnya melahirkan konflik antara Islam dengan kejawen atau kearifan-kearifan lokal lainnya, pada dasarnya yang terjadi bukanlah Islam versus kejawen, namun kebudayaan Arab versus kebudayaan Jawa atau Sunda, dst.

Bagaimana mungkin, seumpamanya, kejawen atau kearifan-kearifan lokal lainnya yang terkenal menjunjung tinggi budi pekerti—yang dalam bahasa agama dikenal sebagai akhlaq—berlawanan dengan ajaran agama yang konon, dalam perspektif agama Islam, datang untuk menyempurnakan akhlaq?

Pada ranah kebangsaan pun cara berpikir dan memandang itu masih pula lekat sampai hari ini. Atas nama kebangsaan, yang kerapkali dipahami terdapat standar yang pasti di dalamnya, kearifan-kearifan lokal seolah hilang atau tak dianggap dalam merumuskan sikap atau berbagai kebijakan yang dipandang bersifat nasional.

Baca juga:  Ramadan, Karnaval Rasa, dan Agama yang Masih Memiliki Asa

Bagi saya pribadi, Indonesia pada dasarnya adalah sebuah ruang kosong dimana Jawa, Sunda, Bali, Batak, Melayu, Islam, Buddha, Aliran Penghayat, dst., lewat berbagai nalar publik, berupaya mengisinya. Maka dari itu, Indonesia dapat dikatakan sebagai sebuah realitas obyektif yang merupakan hasil persinggungan, pertentangan, dialog dan kesepakatan, dari berbagai realitas subjektif seperti Jawa, Sunda, Bali, Islam, Kristen, Hindu, dst. Bukankah masing-masing entitas di dalam tubuh Indonesia memiliki cita rasa yang tak sama dalam memahami Pancasila dan keindonesiaan?

Nalar publik, yang selama ini memang sudah dipraktikkan di Indonesia sejak perumusan Pancasila sebagai dasar negara, adalah sebuah upaya bernegoisasi di tengah beragam kepentingan. Ia memang berupaya untuk sebisa mungkin merangkul kepentingan-kepentingan yang berbeda. Dalam hal ini, Pancasila merupakan hasil nalar publik yang dilakukan oleh para founding fathers negara Indonesia dan sampai sekarang terbilang yang paling berhasil dalam mengakomodasi berbagai kepentingan yang berbeda.

Dengan kerangka nalar publik seperti itu, maka pada dasarnya tak menjadi soal seandainya, seumpamanya, seseorang mengetengahkan atau mengajukan kejawen, kemelayuan atau bahkan kearabannya ke publik untuk menjadi semacam “the ruling class” dalam bahasa gampangnya. Namun, sudah tentu ekspresi-ekspresi semacam itu mesti mampu mengakomodasi kepentingan semua elemen bahkan pun sampai yang saling bertentangan.

Baca juga:  Fanatisme dalam Dunia Pewayangan

Pada tataran itulah kemudian retorika menjadi hal yang urgen. Dalam sebuah masyarakat dimana demokrasinya sudah maju retorika menjadi hal yang pokok karena kompetisi yang terjadi adalah kompetisi dalam hal meyakinkan pihak lain yang tak segolongan. Dalam hal inilah kemudian politik sudah sejak lama berkaitan dengan retorika.

Retorika kerap dikenal sebagai seni berbicara, namun dalam kajian filsafat dan politik, retorika tak sekedar dikenal sebagai kemampuan berbicara belaka. Pada dasarnya, ia terkait erat dengan logika. Ketika logika berkaitan dengan proposisi, bagaimana menyusun argumen yang kuat secara nalar, maka retorika adalah kemampuan dalam menyampaikan argumen-argumen yang kuat tersebut. Jadi, tak selamanya orang yang pandai berbicara juga pandai beretorika.

Dalam konteks nalar publik inilah kemudian retorika menjadi hal yang penting. Saya mengatakan bahwa nalar publik sama sekali tak asing dengan bangsa Indonesia karena nalar publik memang merupakan konsekuensi dari demokarasi deliberatif yang termaktub dalam sila ke-4 Pancasila.

Secara substansial, sila ke-4 Pancasila, di samping ideal tertentu, adalah juga kiat yang dirumuskan dan diwariskan oleh para founding fathers bangsa Indonesia untuk menyikapi kemajemukan kepentingan (budaya, agama, etnis, dst.) yang dimiliki oleh negara Indonesia. Bukankah tanpa kemampuan retorika yang baik yang dimiliki oleh para founding fathers Pancasila tak akan mungkin menjadi suluh bernegara sampai kini?

Baca juga:  Moderatisme Beragama dalam Kacamata Sufisme Nusantara (2): Radikalisme dalam Konsep dan Transformasi Diri

Dengan demikian, patut disimpulkan bahwa sudah dengan sendirinya sila ke-4 Pancasila lebih memilih rembugan daripada kepalan tangan, celurit atau bedil untuk sekedar menyamakan kepentingan.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top