Sudah maklum, untuk mencapai dan meraih suatu target terkadang kita harus meninggalkan banyak hal. Dan dalam hal ini, Ilmu adalah suatu target atau tujuan yang tinggi serta mahal. Bahkan, ilmu disebut juga sebagai “كثيرة لا تحصى”, suatu hal yang tak ternilai harganya.
Demi ilmu, diperlukan banyak pengorbanan seperti harta, waktu, keluarga, tidur, dan juga istirahat, atau rebahan. Teringat suatu ungkapan:
“العلم لا يعطيك بعضه إلا إذا أعطيته كلك”. “Ilmu tidak akan memberikanmu walaupun hanya sebagian dari dirinya kecuali jika kau memberikan seluruh milikmu.”
Tekad kuat yang dimiliki para ulama terdahulu mengalahkan rasa kantuk dan lelah mereka. Mungkin salah satu alasannya karena mereka telah menganggap bahwa bahwa belajar adalah suatu kenikmatan tiada tara, mengalahkan nikmatnya tidur. Setidaknya mereka membagi malam mereka menjadi tiga bagian, sepertiga untuk menulis atau belajar, sepertiga untuk membaca Al-Qur’an dan Qiyamullail, serta sisanya untuk tidur, mengacu dengan apa yang dilakukan oleh Syaikhul Islam Abu Nadhr.
Adapun hari ini istilah “rebahan” telah merebak di antara para penuntut ilmu, khususnya di saat-saat wabah mengepung ini,
marilah kita renungi bersama beberapa kisah dari mereka yang rela meninggalkan tidurnya demi menemukan ilmu.
Bagi para ulama terdahulu, mencari ilmu tidak hanya menjadikan mereka lupa istirahat, tapi juga sampai mereka merasa tak sempat untuk makan atau bahkan sekedar mencuci pakaian mereka. Ibnu Abi Hatim pernah menceritakan kisahnya sewaktu menetap di Mesir selama tujuh bulan. Sepanjang waktunya di sana tak pernah sekalipun ia mencicipi daging walaupun hanya kuahnya.
Bahkan, pada suatu waktu, ia melewati pasar dan melihat ikan yang sangat menggiurkan, maka dibelilah ikan itu dan dimasak, belum sempat memakannya ia teringat dengan jadwal belajarnya dengan seorang syekh, maka ditinggalkanlah ikan itu sampai tiga hari lamanya karena ia merasa tak sempat untuk memakannya. Sampai akhirnya, ikan itu hampir basi dan barulah ia memakannya tanpa dimasak kembali. Sebabnya tak ada lain kecuali tak punya cukup waktu untuk memanggangnya kembali.
Hal serupa juga terjadi pada Imam Syu’bah al-Bashri, salah satu muridnya menuturkan bahwa warna pakaian Imam Syu’bah warnanya telah berubah menjadi seperti debu, hal itu terjadi karena beliau hampir tak mempunyai waktu kosong untuk bisa mencucinya.
Lebih lanjut, salah satu muhaddits besar bernama Ja’far bin Durustuyah pernah mendatangi suatu majlis milik ‘Ali bin Madini pada waktu ashar, padahal dia tahu bahwa majlisnya baru akan dimulai keesokan harinya, tapi dia memilih untuk menginap di tempatnya itu agar bisa mendapatkan tempat yang terbaik dalam menuntut ilmu. Pada saat itu pula ia melihat seorang yang sudah sangat tua ikut rela buang air kecil di jubahnya dan enggan untuk meninggalkan tempatnya karena ia takut kehilangan barisan terdepan di majlis tersebut.
Ad-Darimi dalam sunan nya menceritakan tentang salah satu muhaddits dan fakih yang terkenal pada saat itu, ialah Muhammad Bin Syihab az-Zuhri. Dikisahkan bahwa pada saat selepas Isya, Syekh Muhammad Bin Syihab duduk dengan rapi di tempatnya, dan hebatnya ia tidak berpindah ataupun bergeser dari tempatnya hingga waktu Subuh tiba. Saat ditanya apa yang ia lakukan, ia menjawab bahwa yang dirinya hanya mengulang-ngulang dan mengingat kembali hadis yang telah ia dapatkan.
Selanjutnya kita beranjak pada kisah salah seorang ulama hadis yang sangat masyhur, ialah Imam Bukhari.
Dalam kitab Tahdzibul Asma wal Lughaat (تهذيب الأسماء و اللغات), Muhammad Bin Abi Hatim menuturkan bahwa ia pernah bermalam bersama Imam Bukhari. Dia menghitung, dalam semalam Imam Bukhari setidaknya bangun sebanyak 15 sampai 20 kali. Seiap bangun, sang imam menyalakan api untuk meneranginya dalam mengulang-ulang hadis.
Abu Hatim pun terheran, mengapa ia tidak ikut dibangunkan setiap Imam Bukhari bangkit dari tidurnya. “Sebenarnya kamu bisa saja membangunkanku untuk ikut menemanimu, tapi mengapa kamu tidak melakukannya?” kata Abu Hatim.
“Sesungguhnya kamu masih muda, dan aku tidak suka merusak tidurmu,” jawab Imam bukhari singkat.
akhirulkalam, kecintaan para ulama terhadap ilmu adalah hal yang tidak bisa diganggu gugat. Mereka lebih memilih berlama-lama dengan buku ketimbang kasur pun untuk sekedar rebahan. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh Abu Umar Ahmad Bin Abdil Malik: “Tak ada hal yang lebih aku cintai dalam hidup ini selain belajar. Tak ada yang bisa menyurutkan semangatku saat siang maupun malam, karena pada saat itulah kenikmatan dalam belajar.” Bagaimana dengan kita?