Dalam salah satu cerita, ada seorang kiai yang mengajak orang dengan cara berbeda. Demi mengajak pada kebaikan, beliau justru tidak secara langsung mengajak, melainkan melalui diam dan perilaku yang baik.
Setiap hari, menjelang waktu Zuhur, sang kiai akan mampir ke rumah salah seorang penduduk, yang dikenal tidak pernah mau salat dan terlibat dalam aktivitas agama. Selama waktu berkunjung, beliau hanya membicarakan persoalan kehidupan biasa, tidak ada yang menyerempet ke masalah agama sama sekali.
Waktu adzan Zuhur pun tiba. Obrolan kian mengasyikkan. Sampai kira-kira pukul 13:00, sang kiai pamit, tanpa bilang mau ke mana. Hal ini terus berlanjut berhari-hari. Hingga kemudian, suatu kali ketika waktu Zuhur tiba, dengan alasan hendak melanjutkan obrolan, sang kiai meminjam satu alas yang akan digunakan untuk slat. Beliau pun wudu, lalu salat di sekitaran rumah tersebut.
Lama kelamaan, si tuan rumah tertarik mengetahui apa yang dilakukan oleh sang kiai. Lantas, ia pun menanyakan, “Apa yang Kiai lakukan ketika ada di rumah saya?”
Dengan santun disertai tutur kata nan lembut, sang kiai pun menjelaskan bahwa aktivitasnya disebut dengan salat, tentu disertai makna filosofis yang mudah dicerna.
Tuan rumah mulai tertarik, tapi karena cara dakwah yang beda, sang kiai tampak masih belum menanggapi dengan antusias.
Lambat laun, ketertarikan orang ini makin menggebu, ia pun sengaja mencari rumah sang kiai, untuk lebih mengetahui perihal salat.
Singkat cerita, orang ini pun akhirnya mau salat dan mengaji. Dengan bimbingan yang baik, cepat mengerti, dan mendalami ajaran Islam.
Perilaku kiai yang demikian, tentu mencontoh teladannya, yakni Nabi Muhammad. Jika kita merujuk pada perilaku Nabi, “dakwah” sang kiai kita ini ini memang kerap juga dilakukan Nabi. Ia, Nabi melakukan syiar secara diam-diam.
Dalam riwayat dikisahkan, Nabi sering memberi makan seorang Yahudi yang buta, di pasar. Padahal orang tersebut selalu memaki dan mencelanya. Dengan kesantunan dalam diam, Nabi terus menyuapi tanpa berkata apa pun.
Hasilnya, setelah Nabi meninggal, salah seorang sahabatnya, yakni Abu Bakar Shiddiq mencoba mencontoh perilaku mulia tersebut. Tetapi si orang Yahudi segera mengetahui jika yang menyuapi kali ini agak berbeda. Setelah dijelaskan bahwa orang yang biasa menyuapinya adalah orang yang biasa dicaci, si Yahudi justru menjadi sadar dan hidayah Allah pun datang.
Idul Fitri dan Syiar Melalui Diam
Pertengahan April 2020, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU) sudah mengeluarkan fatwa mengenai sholat Idul Fitri pada masa pandemi ini.
Dalam fatwa disebutkan bahwa di area yang kuat sebaran Covid-19, maka ditiadakan salat Ied secara berjamaah seperti pada umumnya. Sementara untuk area yang “masih hijau” atau belum terpapar dan masyarakat homogen (tidak ada orang dari luar desa atau daerah), maka salat Ied tetap dilaksanakan. Tidak hanya fatwa, malah ada juga tata laksana salat Ied yang bisa dikerjakan di rumah, dengan minimal jumlah jamaah empat orang.
Dalam salah satu pertimbangan fatwa, argumen yang menjadi pertimbangan adalah masalah syiar agama (Islam) dan sudah menjadi rutinitas tahunan. Sholat ied di lapangan, masjid atau musala tidak semata-mata persoalan ibadah, melainkan juga terkait syiar agama.
Hanya saja, selama ini kita memahami makna syiar adalah semacam unjuk eksistensi yang sifatnya eskternal. Artinya, identitas agama, kultural, maupun identitas lainnya yang melekat pada kita “harus” ditunjukkan. Baik melalui aktifitas maupun atribut. Seorang santri misalnya, untuk menunjukkan kesantriannya, ia akan berpakaian sarung dan peci. Seorang dokter harus berpakaian tertentu yang menunjukkan bahwa dirinya adalah juru kesehatan. Demikian juga dengan seorang muslim.
Sejauh ini, dalam amatan sekilas, kita banyak salah kaprah mengartikan syiar. Seolah yang namanya syiar harus meriah, heboh, dilihat banyak orang dan hal-hal yang demikian.
Dalam praktik yang lain, kesalahan mengartikan juga ditemui. Misalnya dalam wisata. Selama ini, kita mengartikan attraction adalah aktivitas yang jumpalitan, menantang bahaya, dan gerakan-gerakan lain. Padahal tidak, bahkan benda biasa pun bisa menjadi satu atraksi menarik. Tergantung bagaimana kita mengemasnya. Bukankah tempat-tempat yang menurut kita menarik karena ada sejarah yang panjang, justru berupa bangunan yang biasa saja? Itu adalah atraksi, kesejarahan menjadi alat yang membantunya.
Demikian juga karya lukis, fotografi, seni instalasi, atau sejenisnya. Itu semua adalah benda-benda diam, tetapi sangat atraktif bagi beberapa kalangan. Tentu setelah mendengar cerita proses kreatif, misi yang hendak disampaikan, dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Jika semua bisa begitu atraktif dalam diam, lalu apakah praktik beragama pun bisa? Baiknya, momentum Idul Fitri yang berada di tengah pandemi ini dijadikan sarana bagi kita untuk syiar dalam diam.