Al-Murta’isy, nama aslinya Abdullah bin Muhammad al-Murta’isy al-Naisaburi. Memiliki kuniyah Abu Muhammad. The Islamic Journal [05]: From Islamic Civilisation To The Heart Of Islam, menginformasikan bahwa Al-Murta’isy merupakan sufi yang mengadopsi ajaran-ajaran Imam Junaid, Abu Hafs al-Haddad, serta Abu Usman al-Haddad.
Masih dalam catatan The Islamic Journal [05], dikatakan Al-Murta’isy menetap di Baghdad hingga ia menjadi “Syaikh of the sufis”.
Thabaqat al-Shufiyah menginformasikan bahwa Al-Murta’isy bermukim di masjid al-Syuniziyah, Baghdad, hingga akhir hayatnya di tahun 328 Hijriyah. Ada sebuah kredo yang kerap digaungkan kalangan Syaikh Sufi Iraq yang ada kaitannya dengan al-Murta’isy, begini bunyinya, “Keajaiban dunia sufi di Baghdad itu ada tiga: Isyarat al-Syibli, Kelakar al-Murta’isy, serta Hikayat Ja’far al-Khuldi al-Khawwas.”
Masih berkaitan dengan kredo di atas, jangan lalu kita menyamakan kelakar al-Murta’isy dengan kelakar-kelakar orang awam seperti penulis ini, misalnya. Sudah barang tentu kelakar al-Murta’isy ini adalah kelakar yang padat, berbobot, dan sarat akan nilai-nilai hikmah.
Mengutip kata pengantar Gus Dur dalam buku “Mati Ketawa Cara Rusia” (1986), “Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan & rasa hati di satu pihak, dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain.”
Sejalan dengan kalimat Gus Dur di atas, al-Murta’isy pun pernah menertawakan dirinya sendiri di depan umum, dan pada waktu yang sama ia juga melakukan kritik atas keterbatasan dirinya. begini kisahnya;
Suatu ketika al-Murta’isy berkata di depan khalayak, “Saya ini sudah haji tiga belas kali, tapi setelah saya pikir-pikir, rasanya saya berhaji sebanyak itu kok sepertinya hanya menuruti hawa nafsu saja,” ujar Al-Murta’isy memancing audien penasaran.
Mendengar pernyataan itu, tak begitu lama ada seseorang yang bertanya, “Anda kok bisa ngomong begitu, tahu dari mana anda?” tanya orang itu penasaran.
“Ya jelas saya tahu, lha wong berhaji tiga belas kali saja ringan bagi saya, tapi kok ya ketika ibu nyuruh saya ngambil bejana air rasanya kok berat sekali,” seloroh al-Murta’isy menjelaskan.
Jawaban al-Murta’isy ini menjadi otokritk untuknya, pada saat yang bersamaan ia juga sadar bahwa ada keterbatasan atas dirinya. Ini tak ubahnya cara Al-Murta’isy menertawakan dirinya sendiri.
Berikut ini quote sufistik Al-Murta’isy;
مَنِ اعْتَقَدَ أَنَّهُ بِعَمَلِهِ يَدْخُلُ الجَنَّةَ وَيَنْجُو عَنِ النَّارِ، فَقَدْ أَوْقَعَ نَفْسَهُ فِي خَطَرٍ عَظِيْمٍ، وَمَنْ اِعْتَمَدَ عَلَى فَضْلِ اللهِ بَعْدَ عَمَلِ الصَّالِحِ وَالِإجْتِهَادِ، فَاللهُ تَعَالَى يُوْصِلُهُ إِلَى الجَنَّةِ بِفَضْلِهِ
“Man i’taqada annahu bi ‘amalihi yadhulu-l-jannata wa yanju ‘ani-l-naari, faqod auqa’a nafsahu fii khothrin aziimin, wa man i’tamada alaa fadhli-l-llahi ba’da ‘amali-l-sholihi wa-l-ijtihadi, fa-l-llahu ta’aala yuushiluhu ila-l-jannati bifadhlihi.”
“Barang siapa merasa percaya diri akan masuk surga dan selamat dari neraka sebab amalnya, maka sungguh jiwanya dalam bahaya; dan barang siapa bersandar pada rahmat Allah setelah melakukan usaha dan amal saleh, maka Allah akan menuntunnya ke surga dengan rahmatNya.” Wallahu a’lam.