Sedang Membaca
Kumpulan Renungan untuk Muhasabah Diri Disaat Kau Merasa Tak Berguna dan Putus Asa
Avatar
Penulis Kolom

Bergiat di dunia pendidikan. Menulis sastra berupa cerpen. Tinggal di Jawa Timur. IG @elakhmad dan @akhmadmedia.

Kumpulan Renungan untuk Muhasabah Diri Disaat Kau Merasa Tak Berguna dan Putus Asa

Film Jocker telah menyadarkan banyak pihak bahwa sakit hati bisa jauh lebih berbahaya dari sakit gigi dan sakit-sakit anggota tubuh lainnya. Para manusia yang merasa hidupnya tidak berguna tidak boleh dibiarkan begitu saja. Kegagalan, ketiadaan pengakuan, ketakutan, dan ketidakpercayaan diri telah membuat mereka merasa tidak dibutuhkan di dunia ini. Keberadaan mereka sering dianggap sama saja dengan ketiadaannya oleh beberapa orang. Hal inilah yang menjadi penyebab mereka beranggapan bahwa hidup mereka tidak bahagia dan tidak akan pernah bahagia, sebab mereka tidak berguna. Lalu, bagaimana cara membuat mereka bahagia? Jika memang mereka tidak berguna, apakah mereka dapat berubah menjadi lebih berguna?

Renungan Pertama: Satu-Satunya Hal yang Diketahui Oleh Manusia Adalah Ketidaktahuan

Manusia merasa tidak berguna karena merasa tidak tahu apa-apa dan itu seharusnya bukanlah sebuah masalah, sebab satu-satunya hal yang diketahui oleh manusia adalah kesadaran bahwa dirinya tidak tahu apapun. Mau sepintar apapun manusia, pada hakikatnya ia menjadi pintar sebab dipintarkan, bukan karena benar-benar pintar. Jika ditelaah lebih dalam lagi, maka akan ditemui sebuah pemahaman bahwa tidak ada satu pun manusia yang dapat mengetahui hal yang akan terjadi satu detik ke depan. Oleh sebab itu, manusia mudah kaget terhadap segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Misalnya saja, manusia kaget kok tiba-tiba muncul wabah virus yang membuat rebahan dianggap lebih mulia daripada ke luar rumah dan contoh sejenis lainnya. Ketidaktahuan sebagai satu-satunya pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, seharusnya menyadarkannya bahwa segala sesuatu tidak selalu sesuai dengan yang ia pikirkan. Semuanya bisa saja berubah, yang pada awalnya tidak berguna bisa saja kelak menjadi lebih berguna. Amin.

Renungan Kedua: Manusia Tak Pernah Dilahirkan, sebab Ia Dibentuk. Manusia yang Dilahirkan, Ia Tak Lebih Dari Hewan yang Dapat Berbicara

Saya sangat menyukai sebuah kutipan bijak yang berbunyi “banyak sekali perbedaan antara ‘manusia’ dan ‘menjadi manusia’, hanya orang bijaksana yang mengerti hal itu”. Gradasi perbedaan yang paling jelas antara manusia dan makhluk hidup lainnya adalah manusia memiliki akal, sedangkan yang lainnya tidak. Atas dasar inilah, saya menyatakan bahwa manusia itu dibentuk, karena ia memiliki akal. Manusia yang hanya dilahirkan, tidak ada bedanya dengan makhluk-makhluk lainnya, bahkan ia bukan manusia, hanya saja ia dapat berbicara. Karena manusia itu dibentuk, maka tak ada manusia yang tidak berguna. Jika terdapat manusia yang merasa tidak berguna, maka berarti ia tidak dibentuk sebagai manusia. Kalam suci bahkan menyatakan bahwa manusia telah diciptakan dalam wujud yang paling sempurna, hanya manusia lalai  yang abai akan kelebihan ini.

Renungan Ketiga: Bagaimana Manusia Bisa Menjadi Bening dan Berkilau, Jika Selalu Merasa Risih dengan Gesekan?

Masalah itu lumrah, sebab istilah ‘kehidupan’ tidak akan pernah muncul tanpa sebuah permasalahan. Kesenangan yang tak berujung bukanlah hidup, itu surga. Kesengsaraan yang tak bertepi juga bukanlah hidup, itu neraka. Keseimbangan antara solusi dan masalah itulah yang membuat manusia menjadi lebih berguna terhadap sesama. Sungguh hal yang tak masuk akal, jika manusia ingin menjadi bening dan berkilau, tetapi tidak berkenan dengan gesekan. Sederhana saja; pada akhirnya mata berhasil membedakan antara permata dan debu. Tanpa pernah disadari, debu-lah yang membuatnya pintar. Manusia seringkali menyerah terlebih dahulu gara-gara sebuah masalah, padahal masalah-itu lah yang membuatnya mengetahui arti sebuah solusi.

Renungan Keempat: Penghormatan Tidak Dibutuhkan oleh Mereka yang Sudah Mulia dan Terhormat

Bagi orang-orang yang telah mulia dan terhormat, sanjungan dan kehormatan tidak perlu diminta; sebab segala hal tentang kemuliaan akan muncul dengan sendirinya. Hanya mereka yang belum mulia dan terhormat yang membutuhkan penghormatan. Hal ini sama halnya dengan analogi bahwa manusia yang merdeka tidak butuh dibebaskan, sebab hanya seorang budak yang mengemis untuk kebebasannya. Oleh sebab itu, teruntuk kalian yang merasa tidak berguna di dalam hidup karena tidak ada yang menyanjung dan memuji; jangan pernah malu, takut, atau bahkan minder. Jangan pernah terikat dengan standar baik dan buruk yang telah ditentukan oleh orang lain, sebab yang benar-benar mampu mengetahui baik atau buruk diri adalah dirinya sendiri. Manusia yang mulia adalah mereka yang melakukan kebaikan bukan untuk mendapatkan sanjungan dari orang lain, tetapi karena menyadari bahwa berbuat baik adalah sebuah keharusan yang memang harus dilakukan oleh umat manusia. Satu hal lagi sebagai pesan yang terakhir; jangan pernah berterima kasih atas sebuah pujian, sebab kritikan-lah yang membuatmu lebih banyak belajar.

Baca juga:  Ayat Suci "Fali Nafsih": Menebar Benih, Ia kan Menuai

Renungkan Ini Kala Engkau Putus Asa

Frasa ‘putus asa’ sering menghampiri sekelompok orang yang merasa tak berdaya di antara kejamnya tekanan Ibu Kota, sadisnya ucapan orang yang dicinta, atau sesaknya garis takdir yang harus diterima. Mereka harus berkata apa kala Ibu Kota tak lagi berpihak kepada orang-orang yang lemah? Mereka tak tahu harus bagaimana lagi menghadapi janji-janji manis yang tak satu pun ditepati. Mereka tak lagi mau percaya, sebab untaian doa tak pernah ada jawabnya. Layakkah mereka berputus asa? Terkadang pertanyaan sama sekali tak membutuhkan jawaban, sebab pertanyaan lebih mampu menyadarkan, sedangkan jawaban hanya menimbulkan perdebatan. Biarkanlah kalimat tanya “Layakkah mereka berputus asa?” tetap menjadi kalimat tanya yang hanya akan menjadi renungan tanpa sebuah jawaban.

Renungan Pertama: Suami Mencintai Istrinya, Istri Menghormati Suaminya, Orang Tua Menyayangi Anaknya, Anak Berbakti kepada Orang Tuanya; Sungguh Sebuah Surga Kecil di Dunia yang Sangat Indah.

Obsesi-obsesi yang tak kunjung terpenuhi sering membuat seseorang lalai atas segala kebahagiaan yang telah dimiliki. Keinginan untuk menjadi orang kaya raya sering membuat seseorang lupa bahwa keluarga adalah harta yang paling berharga. Sudahkah kita berterima kasih atas cinta yang selalu berlebih dari perempuan sayu yang kita panggil ibu? Sudahkah kita berterima kasih atas sayang yang tak pernah usang dari perempuan mandiri yang kita sebut istri? Sudahkah kita bersyukur atas kebahagiaan yang terus beralur dari sosok kecil mungil yang kita panggil bayi? Sudahkah kita bersyukur atas hidup yang masih berdegup dari Sang Maha Kasih? Sampai di sini, seharusnya kita menyadari bahwa kehidupan adalah perihal pemberian yang sering dilupakan dan keinginan yang telanjur membutakan. Oleh sebab itu, manusia perlu lebih banyak berterima dan lebih sedikit meminta. Jika memang seperti itu, maka Layakkah kita berputus asa?

Renungan Kedua: Satu-Satunya Harta yang Benar-Benar Kita Miliki Adalah Harta yang Kita Berikan kepada Orang Lain

Manusia cenderung merasa memiliki atas segala hal yang berada di genggamannya saat ini. Rumah yang menjadi tempat tinggalnya dianggap miliknya, saldo ATM dengan total jutaan rupiah diakui miliknya, putra yang gagah dan putri yang cantik jelita juga dibangga-banggakan sebagai miliknya. Jika memang rumah megah itu adalah miliknya, lalu mengapa manusia tak bisa berbuat apa-apa ketika bumi memutuskan untuk melahap habis rumah itu dengan gempanya? Jika pundi-pundi rupiah itu benar-benar miliknya, lalu mengapa ketika manusia itu kehilangan nyawa semuanya beralih kepada ahli warisnya? Berarti selama ini nominal angka itu sebenarnya milik ahli waris yang sengaja dititipkan kepada manusia yang telah kehilangan nyawa itu? Jika putra-putri yang istimewa itu sungguh-sungguh miliknya, lalu mengapa wabah-wabah itu dengan mudah menghentikan laju pernapasan mereka? Bukankah pemilik sejati memiliki kebebasan atas segala hal yang dimiliki, lalu mengapa manusia itu tak bisa berbuat apa-apa? Mungkin nasihat di atas memang benar, bahwa satu-satunya harta yang dimiliki manusia adalah harta yang mereka berikan kepada orang lain. Meskipun baju itu telah berpindah, sampai kapanpun dan di manapun baju itu tetaplah berlabel ‘pemberian dari si manusia itu’. Meskipun masker itu telah beralih, pemberian tulus itu tak akan pernah terganti dan terus abadi. Pada akhirnya, masih layakkah manusia berputus asa karena kekurangan harta?

Baca juga:  Khidir Menepis Arogansi Seorang Musa

Renungan Ketiga: Kematian dan Segala Pengetahuan tentangnya akan Membuat Manusia Sadar Betapa Menyenangkan Kehidupan Ini dengan Segala Suka-Dukanya

Mati adalah hal yang pasti, sebab semua manusia akan mengalami, tak terkecuali. Segala fakta tentang kematian sudah cukup membuat manusia menyadari bahwa suka atau duka kehidupan sama-sama menyenangkan. Bagaimana bisa? Baiklah, mari merenung satu di antara fakta tentang kematian; yakni kuburan. Sebagian besar umat manusia yang mati akan dikubur, meskipun sebagian lainnya dibakar atau sejenisnya. Setiap manusia yang mati akan tinggal di ruang bawah tanah dengan ukuran sempit, gelap, dan yang pasti hanya berteman sepi. Jika tempat tinggal masa depan itu dibandingkan dengan sepetak kamar kos atau sebuah bangunan reot kontrakan yang panas, sering bocor ketika hujan, dan sering banjir ketika deras; bukankah masih mending kontrakan atau in the kost itu yang maha panas dengan segala dukanya itu? Tak hanya itu, fakta lain yang seharusnya menyadarkan manusia bahwa hidup itu sangat menyenangkan dengan segala suka-dukanya adalah kematian memutuskan segala hal apapun yang dapat dinikmati selama masih berada di dunia. Beruntunglah manusia yang masih bisa merasakan sakit hati, luka, dan cinta; karena kematian hanya akan menyisakan iman dan amal perbuatan. Tak ada lagi momen betapa lucunya ketika manusia sedang sakit hati yang menghapus kontak kekasih yang melukainya lalu mencarinya lagi. Tak ada lagi momen betapa dungunya seorang wanita yang memutuskan untuk tidak makan gegara dikhianati seorang lelaki. Tak ada lagi momen betapa tidak masuk akalnya ketika seseorang yang sedang jatuh cinta mengatakan bahwa bau kentut sang kekasih wangi.

Renungkan Ini Kala Engkau Gelisah Karena Cinta

Satu di antara hal yang tidak akan pernah membosankan untuk diceritakan adalah urusan cinta. Jika tidak percaya, lihatlah kalimat bijaksana Pangeran Tiengfeng (Cu Patkai) “Cinta oh cinta penderitaannya tiada akhir” yang mulai dari dulu hingga sampai saat ini tetap sering dikutip oleh para pecinta meme, quote, dan sejenisnya. Tak heran jika penulis tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menulis sebuah buku dengan judul Jawabannya Adalah Cinta. Disusul oleh kutipan seorang penyair tersohor dari abad 13, Jalaluddin Rumi yang mengatakan bahwa Wherever you are and whatever you do, be in love (di manapun engkau berada dan apapun yang engkau lakukan, teruslah mencinta). Jika memang cinta sedahsyat itu, lalu mengapa seseorang bisa merasa sangat terluka karena cinta? Mengapa Sarah memilih berpisah dengan Doel 14 tahun lamanya gara-gara cinta? Apakah cinta diciptakan bersamaan dengan luka, sehingga siapapun yang mencinta harus menanggung derita? Mari merenung!

Renungan Pertama: Pecinta-Pecinta Saat Ini sedang Berusaha Mencintai Hal yang Tak Layak untuk Dicintai

Pecinta-pecinta era milenial sedang hidup di zaman di mana cinta hanya diukur dari wajah yang glowing, jumlah followers dan subscribers, tekstur tubuh yang indah, dan hanya itu saja. Masalah mendasar dari semua tolok ukur yang telah disebutkan adalah semuanya fana (mengutip diksi eyang Sapardi). Tak ada yang abadi dalam wajah, ia akan menua, keriput, dan tak lagi sama. Tak ada yang langgeng  dalam followers (dan sejenisnya), sebab mereka akan pergi jika yang diikuti tidak sesuai dengan ekspektasi. Tak ada yang selamanya dalam body, iklan produk-produk pelangsing tubuh sudah cukup menjadi bukti. Oleh sebab itu, cinta itu utuh; mencintai secara utuh sebagai makhluk Tuhan yang diciptakan berkekurangan. Cinta itu memberi, memberi yang dimiliki tanpa pamrih. Cinta itu menerima, menerima tanpa perlu dipaksa. Cinta itu bersama, bersama-sama menerima kelebihan dan kekurangan.

Baca juga:  Kantuk yang Tak Berujung Lelap: Liminalitas Dalam Kebudayaan Jawa Tradisional

Renungan Kedua: Pertanyaan “Apakah Aku Mau Menunggumu?” Adalah Pertanyaan yang Kompleks, Sedangkan Kehidupan Adalah Waktu yang Singkat

Kegelisahan para pecinta selanjutnya adalah kebersediaannya menunggu untuk hal yang masih semu. Mereka mudah terjebak dengan kalimat tanya sok romantis nan puitis “apakah kau mau menungguku?” yang sebenarnya kalimat kamuflase dari “kamu tunggu aku bosan dengan dia dulu, ya?”. Seorang pecinta yang serius tidak akan menanyakan kalimat bias seperti itu, tetapi justru bertanya dengan kalimat yang lebih jelas. Misalnya saja, “Bersediakah kau menungguku maksimal dua bulan hingga aku mendapatkan sebuah petunjuk yang meyakinkanku bahwa kau adalah tujuanku?” atau kalimat permohonan yang lebih terang-terangan seperti “berikan aku waktu seminggu untuk meyakinkan ibuku, lalu aku akan kembali kepadamu dengan sekotak cincin yang siap untuk mengikatmu”. Sekali lagi, cinta bukanlah hal yang digunakan untuk permainan receh “apa kau mau menungguku?” dengan waktu yang tak tentu, bahkan dalam beberapa kasus mereka yang ditakdirkan menjadi para kelompok yang setia menunggu dibiarkan terombang-ambing ketidakpastian selama bertahun-tahun tanpa pemberitahuan sedikitpun. Wahai para pecinta; ketahuilah, satu-satunya hal di dunia ini yang tidak akan mau menunggu adalah waktu! Jangan sia-siakan waktu kalian untuk seseorang yang sama sekali tak layak untuk sekadar diberi sebuah senyuman.

Renungan Ketiga: Jika Patah Hati Membuatmu Bersedih, Kau Harus Tahu bahwa Dunia Mendadak Sunyi ketika Ibu Mendadak Pergi

Mereka yang mengalami kesedihan berkepanjangan sebab ditinggalkan secara diam-diam oleh kekasih idaman, ada satu hal yang perlu mereka tahu bahwa tak ada yang lebih sunyi daripada ketika ibu mendadak pergi. Mereka harus sadar bahwa kekasih idamannya memilih pergi hanya sebuah kesalahpahaman tak berarti, sedangkan ibu memilih tetap terjaga agar sang anak tidurnya tidak ternoda. Mereka harus paham bahwa kekasih idamannya memutuskan tak kembali hanya gara-gara ucapan yang menyinggung hati, sementara ibu rela menahan luka demi sang anak bahagia. Mereka harus tahu bahwa tak ada satupun padanan, kiasan, perbandingan; yang mampu bersanding denganmu, Ibu. Sebab doa-mu adalah hujan yang tak pernah berhenti dan cinta-mu adalah udara yang mengiringi.

Renungan Keempat: Baik Cinta maupun Benci Sama-Sama Menghancurkan. Benci Mengharuskanmu untuk Menghancurkan Orang Lain, sedangkan Cinta Mengharuskanmu untuk Menghancurkan Dirimu Sendiri

Hal terakhir yang perlu direnungkan oleh para sad boys dan sad girls adalah rasa sedih yang diakibatkan oleh kekecewaan terhadap kekasih menunjukkan bahwa mereka belum mencintai, sebab kecewa terhadap kekasih adalah wujud keegoisan diri. Mereka terlalu mementingkan keinginan dan kebahagiaan diri sendiri, sedangkan cinta adalah menghancurkan keegoisan di dalam diri demi membahagiakan sang kekasih. Selama tujuan dalam cinta adalah membahagiakan diri sendiri, maka itu bukan cinta, tetapi keegoisan diri. Satu-satunya yang mereka cintai adalah dirinya sendiri, bukan sang kekasih. Para pecinta sejati adalah mereka yang menahan luka demi kebahagiaan orang yang dicinta. Oleh sebab itu, cinta tak pernah memiliki kesedihan; sebab kesedihan di dalam cinta adalah kebahagiaan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
3
Terhibur
1
Terinspirasi
5
Terkejut
2
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top