Sampai tulisan ini dibuat, dalam catatan kami setidaknya sudah 35 pesantren terpapar Covid 19. Mulai dari yang santrinya puluhan sampai ribuan. Hampir semua pesantren berusaha menutup-nutupi informasi masuknya Covid 19 di pesantren mereka. Mengapa? Limadza?
Saya menjawab pertanyaan di atas berdasarkan penelusuran, diskusi dengan rekan-rekan PP RMI NU secara khusus dengan para “pasukan” Satgas Covid-19 PP RMI NU hingga informasi-informasi yang saya dapat dari obrolan informal hingga yang terungkap di media sosial.
Enam poin di bawah yang saya sampaikan ini adalah perasan atau big point dari penelusuran tersebut. Saya sampaikan dengan segala takzim dan niat baik agar kita semua, masyarakat pesantren, mampu mencegah atau menghalau hal-hal lebih buruk. Saya tidak punya niatan menggurui sedikit pun. Semoga bisa diterima dengan baik.
Inilah enam poin yang saya maksud:
- Pengalaman traumatik pesantren menjadi korban information bullying. Di beberapa kasus misalnya Wonogiri, pesantren memang babak belur dihajar informasi yang sesat atau sengaja disesatkan. Soal jumlah santri yang terpapar adalah salah satunya. Sempat santer diberitakan jumlah santri yang terpapar lebih banyak dari jumlah santri yang sebenarnya.
- Jika ada kluster pesantren, pemberitaan media dan komentar netizen cenderung menyalahkan pesantren seperti tidak mengikuti protokol, nekat buka kelas di masa pandemi, pesantren pembawa virus dan yang semacamnya. Pesantren tentu tidak nyaman distigmatisasi semacam itu.
- Heboh berita pesantren yang terpapar akan membuat wali santri dan banyak pihak cemas. Pesantren tidak berharap menjadi sumber kecemasan apalagi bagi wali santri.
- Banyak kiai meyakini bahwa ngaji itu harus tatap muka. Ngaji bukan hanya persoalan transfer of knowledge tapi juga source of barokah dan laboratorium akhlakul karimah. Karena itu ngaji tidak mungkin dilakukan secara daring. Dalam konteks inilah pesantren khawatir, apabila diberitakan ada kluster Covid 19 santri akan ditarik pulang oleh wali atau skenarii terburuk pesantren bisa ditutup.
- Stigma Covid-19 adalah aib, pembawa virus menular, penyebab masalah masyarakat dan cap buruk lainnya.
- Kiai dari pesantren tersebut terlanjur dikenal ‘tidak beriman pada Covid 19’ dengan mengatakan tidak perlu takut pada Covid 19, itu konspirasi kafir, dan sebagainya.
Enam poin di atas terbuka dikoreksi, bisa dikurangi atau ditambah. Namun semuanya harus berdasarkan analisis dan data empirik yang ada, bukan persepsi, agar menjadi ilmu baru buat kita semua, masyarakat pesantren. Dua dekade pertama di abad 21 telah kita lewati.
Kita semua, masyarakat pesantren, harus menyiapkan ini semua, termasuk ilmu baru dalam bidang kesehatan. Kita tidak boleh bilang Covid-19 itu aib, itu urusan kesehatan yang bisa diurai, sebagai mana gudig. Tidak bisa lagi kita mengatakan gudig itu barokah atau tanda akan betah di pesantren, karena jumlah gudig makin berkurang. Kan kita tidak akan mengatakan berkah pesantren berkurang karena jumlah yang santri yang gudigan berkurang?
Empat poin ini saya kemukakan juga dalam rangka kebaikan kita bersama, bukan yang lain-lain. 4T di bawah ini berdasarkan pengalaman dan kajian empat bulan terakhir, bersama para ahli, dan insya Allah sudah sesuai dengan protokol kesehatan yang sampaikan pihak otoritatif.
Mengapat declare atau menyatakan status positif Covid 19 itu wajib? Ini jawabannya:
1. Treating ; yang positif bisa mendapat perawatan dan perlakuan terbaik
2. Tracing ; bisa segera dilakukan pelacakan kontak erat. Ini penting untuk pengendalian penularan wabah.
3. Testing ; bisa segera dilakukan PCR/swab test pada orang orang yang tertangkap di radar contact tracing
4. Telling ; bisa mengedukasi orang lain tentang bahaya Covid 19. Orang lain juga akan lebih waspada saat kontak dengan pasien positif.
Kerja-kerja kehumasan dan media akan sangat membantu mengatasi tantangan pesantren disaat harus declare.
Memang berat, makanya sebelum terlanjur ada kluster, mencegah dengan cara disiplin protool is a must. Kita hendak pilih yang mana? Agak ribet dengan protokol kesehatan atau sangat repot jika terlanjur ada kasus?