Pada 1819, benteng Bakkara dan benteng Muara akhirnya tak dapat dipertahankan Si Singamangaraja X setelah bertahan dari kepungan pasukan Paderi, orang Toba menyebutnya “Pidari” yang datang dari selatan. Penguasa Tanah Batak itu mati mengenaskan mempertahankan harga diri, rakyat, dan tanah leluhurnya; kepala dipenggal dan dipancangkan di ujung tombak.
Gerakan Paderi dibentuk setelah kepulangan Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Abdurahman dari Piobang, dan Haji Muhammad Arif dari Sumanik ke Tanah Minang. Mereka membawa paham Wahabi dari Mekkah. Gerakan ini membentuk pasukan perang yang sangat kuat; pada 1809 kekuatan ini menggilas Kesultanan Pagaruyung dan 1816 merebut Tapanuli Selatan. Di Tapanuli Selatan, kaum Paderi memperkenalkan Islam dengan cara keras.
Gerakan yang didukung seorang ulama terkenal bernamaTuanku Nan Renceh, seorang penghulu adat dari lembah Alahan Panjang bernama Datuk Bandaharo, dan seorang muridnya bernama Peto Syarif yang kemudian dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol pada tahun-tahun berikutnya berhasil menduduki daerah-daerah strategis untuk mengepung pusat kekuasaan Si Singamangaraja X di Bakkara. Mereka mendirikan benteng di Sipirok, Pangaribuan, Pahae, Silindung (Tarutung), Siborongborong, Humbang, dan Laguboti.
Satu tahun sebelum menaklukan Bakkara dan Muara, 1818 perang besar terjadi ketika pasukan Paderi mulai mendekati dua benteng terakhir Si Singamangaraja X itu. Pertempuran terjadi hampir di semua front, yang paling hebat terjadi di Simangumban, Tanggabatu, dan Bakkara. Akibat pertempuran ini puluhan ribu mayat dan bangkai kuda membusuk; mencemari hutan, kampung, ladang, dan sungai. Wabah kolera menghantam pasukan Paderi dan warga di daerah pertempuran, menjalar di semua daerah; yang paling parah terjadi di Pahae, Humbang, Silindung, dan Toba. Wabah kolera ini terjadi dua tahun lebih lamanya. Pasukan Paderi akhirnya tak sanggup mempertahankan cengekeramannya di Tanah Batak Utara akibat penyakit mematikan itu.
Pada 1820 pasukan Paderi ditarik ke selatan menuju Angkola, Mandailing, Natal, Bonjol, dan lain-lain; mereka meninggalkan benteng dan pusat pertahanan di Sipoholon, Silindung, Pangaribuan, Siborongborong, Laguboti, Toba, Bakkara, Muara, dan lain-lain. Pasukan Paderi masuk ke Tanah Batak Utara dengan kekuatan 150.000 prajurit, pulang ke selatan hanya membawa 30.000-an prajurit. Tuanku Maga, panglima perang Paderi di Silidung pun meninggal akibat wabah ini.
Korban dari pihak Batak jauh lebih para akibat perang dan wabah. Penduduk asli Pahae, Silindung, Humbang, dan Toba sebelum perang dan wabah menghantam, mereka diperkirakan sebanyak 800.000-an, setelah perang dan wabah hanya tersisa 200.000. Parlindungan memperkirakan, korban perang dari pihak Batak sekitar 25%, sisanya mati karena wabah kolera.
Jika wabah tidak menghantam Tanah Batak Utara, mungkin sejarah tanah Tanah Batak tak seperti yang kita dengar sekarang; kekuatan Paderi akan bertahan entah sampai kapan. Betul kata Jared Diamond, wabah adalah kekuatan pembentuk sejarah; pembunuh terbesar umat manusia modern. Musuh utama manusia adalah cacar, flu, tuberkolosis, pes, campak, dan kolera. Pemenang perang bukan balatentara, tapi kuman-kuman paling berbahaya yang dikirim ke wilayah musuh!
Rujukan:
1) “Esiklopedi Islam” jilid 3-4;
2) “Enslikopedi Indonesia” jilid 5;
3) “Tuanku Rao” Karya O.M. Parlindungan;
4) “Guns, Germs, dan Steel” karya Jared Diamond