Apa kita tidak akan membayangkan bagaimana pada 17 Agustus 1945 silam masih menyimpan kisah yang barangkali belum terketahui atau bahkan tak pernah ada di dalam pelajaran sejarah? Barangkali memang momentum penentuan dan pelaksanaan proklamasi kemerdekaan dalam situasi dan kondisi penuh keterbatasan. Pilihan itu tentu saja adalah genting dan perlu disegerakan dengan terus bergegas menyiapkannya.
Kisah pernah diungkap di Majalah Intisari edisi No. 85, Agustus 1970. Pada edisi tersebut termuat tulisan berjudul Tiga Hari Sekitar 17 Agustus 1945 dengan penulis tersebut: Bu Tri, yang tidak lain adalah S. K. Trimurti, salah seorang yang ikut menjadi pengibar bendera ketika proklamasi berlangsung. Penulis memberi pengakuan sejumlah tujuh halaman itu. Persoalan komunikasi untuk memberi informasi maupun kabar kepada masyarakat luas jadi satu peristiwa teralami.
Ia memberikan penjelasan: “Waktu itu berita terang2an tidak ada, karena semua radio disegel bagian salurannja jang bisa menerima berita dari luar negeri. Djadi berita2 jang bisa diterima oleh orang banjak, hanja berita dari dalam negeri sadja, jang tentu sadja supply-nja siselenggarakan oleh Pemerintah Militer Djepang jang menduduki Indonesia diwaktu itu.”
Kita terbayang betapa masa itu sulit dan mendebarkan. Mengabarkan akan proklamasi kemudian menggerakkan akal untuk berpikir cara. Sebutnya: “Selain lewat surat surat2 kabar, lewat berita2 dari mulut-kemulut, djuga lewat, djuga lewat tjoretan2 dimana sadja. Didinding tembok2, digerbong kereta api, didjalan2 raja, dipohon2 dsb.” Kelompok paling aktif sebutnya adalah para pemuda dan mahasiswa.
Kita kemudian agak terharu membaca pengakuan keterlibatan dirinya dalam memberikan kabar proklamasi. Tulisnya: “Saja sendiri pernah diutus ke Semarang, dengan mengendarai mobil jang bannja sudah botjor. Apa jang kami pergunakan? Ban dalam setiap kali kami isi dengan rumput2. Akibatnja, sebentar2 kami terpaksa berhenti karena isi ban itu sudah djadi “telepong” sudah hantjur, dan harus diganti lagi.”
Ke Arah Ilmu Pengetahuan
Bu Tri juga menyebut sekian jenis kendaraan yang tergunakan dalam proses penuntasan kabar kemerdekaan. Mulai kereta api, gerobak, truk, hingga motor. Sadar atau tidak sadar, mesin menopang proses kemerdekaan Indonesia. Oh, kita justru malah beimajinasi peristiwa sekitar proklamasi yang kalau dipikir-pikir banyak hal terkait dengan sains. Baik itu pengibaran bendera, pembacaan teks proklamasi, hingga waktu yang dipilih untuk melaksanakannya.
Dalam sejarahnya, bendera mulai dijahit oleh Fatmawati sejak Oktober 1944. Di majalah Intisari edisi itu juga ada wawancara dengan Fatmawati. Ketika ditanya sejak kapan menjahit bendera, ia memberikan jawaban: “Tepatnja Ibu lupa. Pokoknja kira2 medio Oktober 1944. Seingat Ibu bendera itu Ibu selesaikan sedikit demi sedikit, lebih kurang 2 hari lamanja, berhubung waktu itu Ibu sedang dalam keadaan hamil tua mengandung putra Ibu pertama nanda Tok. Ibu mendjahit bendera itu sendiri sadja.”
Pengibaran bendera menyiratkan banyak teori dalam ilmu fisika. Bagaimana keberadaan katrol yang mengaitkan seutas tali tergunakan dengan keberadaan tiang. Para petugas yang mendapatkan pekerjaan mengerek talinya mendapati peristiwa fisika, berupa teori momen gaya (torsi). Fenomena itu terdapatkan pada sebuah gaya yang diberikan dalam benda melingkar yang menyebabkan munculnya gerak.
Nah, rupa-rupanya keberadaan katrol itu yang mendapati peristiwa itu. Tak pernah terbayang ketika bukan jenis katrol terpasang dalam tiang untuk mengibarkan bendera. Kita perlu memberi penegasan, mereka yang terlibat di dalam momentum tersebut memiliki otak dengan kapasitas pengetahuan luar biasa. Belum lagi bagaimana pikiran agar senaiknya bendera ke atas kemudian terdapati bendera berkibar dan memberi sakralitas akan peristiwa nasionalisme.
Laju angin yang hadir dalam peristiwa kita yakin sebelumnya juga telah dipikirkan. Apalagi peristiwa itu pasti akan hanya terjadi satu kali saja sebagai pengesahan dalam berdirinya negara. Tak mungkin lah kalau dipersiapkan dengan main-main. Belum lagi, keberadaan suara, khususnya saat Bung Karno membacakan teks proklamasi membutuhkan pengeras suara. Tujuannya tak lain agar rakyat yang berbondong-bondong dari kejauhan mendengar dengan khidmat dan merenunginya.
Teringat sebuah buku berjudul Bunji Suara garapan E. Sudigdo Mujokusumo yang diterbitkan Ganaco pada 1956. Buku merujuk pada penjelasan suara dari segi ilmu pengetahuan dengan syarat hadirnya bunyi itu. Ia menulis: ”Kita djaga agar dikeliling kita selalu terdapat suara jang sungguh-sungguh bermutu, berkwalitet. Buatlah demikian hingga, karena getaran-getaran suara itu hidup kita lebih bikmat, lebih mulia! Djauh dari gempita, djauh dari riuh, djauh dari gaduh. Bangsa jang dapat memuliakan getaran-getaran suara, ialah bangsa jang tinggi perasaannja!!”
Menafsir Sejarah
Walakin, kita masih ragu apakah dalam perjalanan peringatan proklamasi kemerdekaan yang semakin bertambah itu kita mau terus berusaha untuk memikirkan hal di balik kemerdekaan. Kita mungkin ogah-ogahan memikirkan hal kecil, meski sebenarnya penting. Hal itu pula yang barangkali mmebentuk narasi sejarah kemerdekaan dalam buku-buku pelajaran hingga hari ini.
Kita kemudian iseng membuka buku yang dijadikan panduan maupun pegangan wajib murid-murid SD kelas 2 ketika Orde Baru. Buku berjudul Pendidikan Moral Pancasila edisi revisi cetakan kesembilan pada 1990 oleh Balai Pustaka. Materi demi materi tersusun rapi dengan judul masing-masing untuk membentuk sikap nasionalisme anak-anak. Di sana kita menemukan narasi sejarah kemerdekaan. Tak menyentuh pada proses ilmu pengetahuan. Penjelasan itu berupa:
“Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Pada saat itu, bendera merah putih dikibarkan. Bendera itu adalah bendera pertama yang berkibar setelah bangsa Indonesia meredeka. Kemudian bendera itu kita pertahankan. Banyak jiwa yang hilang karena mempertahankan bendera itu. Oleh karena itu, bendera itu tidak pernah jatuh ke tangan musuh”. Proklamasi kemerdekaan rupanya jalan panjang penuh tugas yang perlu digarap.
Kita menutup tulisan dengan salah satu buku garapan Bung Hatta, Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan cetakan keenam oleh Penerbit Mutiara pada 1979. Ia menulis: “Kita tidak puas dengan melihatnya saja, melainkan kita ingin mengetahuinya lebih dalam. Masalah berhubung dengan ilmu. Masalah menimbulkan soal, yang harus diterangkan oleh ilmu. Ilmu senantiasa mengemukakan pertanyaan: bagaimana (duduknya) dan apa sebabnya.”[]