Sedang Membaca
Ilmu Pengetahuan dan Religiositas (1): Mengurai dan Memahami Masa Lalu
Joko Priyono
Penulis Kolom

Menempuh Studi di Jurusan Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta sejak 2014. Menulis Buku Manifesto Cinta (2017) dan Bola Fisika (2018).

Ilmu Pengetahuan dan Religiositas (1): Mengurai dan Memahami Masa Lalu

Whatsapp Image 2022 08 09 At 22.43.59

Masa lalu menjadi penting bagi tulisan. Ia akan berguna di kemudian hari bagi tiap generasi dalam memijah benang merah akan sesuatu hal. Tak terkecuali adalah berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Arsip, baik itu berupa buku, majalah, hingga surat kabar terposisikan sebagai hal sentral. Pembaca yang tidak pernah hidup pada masanya bisa jadi takjup ketika menemui dan kemudian melakukan interpretasi terhadap zaman yang dihadapi.

Dalam situasi itu, kita teringat P. Swantoro dengan kerja berhubungan pada masa lalu. Bahwa masa lalu itu penting dan perlu diperhatikan banyak orang. Tak ayal, kita teringat sebuah buku penting yang digarapnya, Masalalu Selalu Aktual (Kompas, 2007). Kita tak ingin membahas isi dari buku itu. Justru, kita ingin menyimak gagasannya saat bersama Th. Sumartana dalam sebuah seminar berhubungan dengan opini di media massa.

Tulisannya termaktub dalam bunga rampai, Bagaimana Mempertimbangkan Artikel Opini untuk Media Massa (Kanisius, 1995). Dua sosok itu—P. Swantoro dan Th. Sumartana mendudukkan peran penting keberadaan opini lewat tulisan Artikel Opini dalam Pers Indonesia. Sisi lain keberadaan opini yang bisa kerap tak diperhatikan oleh banyak orang, bahwa keberadaannya menjadi lanskap tersendiri dalam keperluan sejarah.

Pernyataan tersebut misal dituliskan secara lengkap: “Berbicara mengenai sejarah, opini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber masa lalu yang penting. Sumber-sumber historis yang sangat penting itu bisa dijadikan sebagai salah satu sumber masa lalu yang sangat penting.” Pernyataan itu tentu saja akan sangat relevan, anadaikata misalkan kita ingin mendedah pada lanskap ilmu pengetahuan dan religiositas.

Baca juga:  Pesan Al-Ghazali dalam Ribut-ribut Idulfitri

Ke Arah Diskursus

Berhubungan dengan gagasan terkait ilmu pengetahuan dan religiositas, tulisan Haidar Bagir dalam Jurnal Ulumul Quran edisi Juli, 1989 agaknya menarik untuk dikaji kembali. Opininya, Jejak Jejak Sains Islam dalam Sains Modern ingin mendudukkan banyak hal. Baik itu berhubungan dengan sejarah masa lalu, wacana sains dalam Islam, hingga kontekstualisasi pada perkembangan zaman.

Ia memberikan uraian bagaimana proses pengaruh keberadaan sains Islam pada sains modern. Bagir mencatat transmisi pemikiran dan sains Islam ke Barat berdasarkan tiga tahap. Pertama, keberadaan sarjana Barat mengunjungi wilayah-wilayah Muslim untuk melakukan kajian-kajian pribadi. Ia menembahkan dua sosok penting sebagai perintis: Constatinus Afrikanus dan Adelhard.

Silih berganti, upaya melawat itu kemudian diiringi kegiatan dalam sederet bidang keilmuan. Matematika, filsafat, kedokteran, hingga kosmografi. Dimana, para sarjana Barat baik dari Italia, Spanyol, dan Perancis sekembalinya ke negaranya kemudian menjadi pengajar maupun ahli untuk melakukan transformasi ilmu pengetahuan melalui lembaga-lembaga, khususnya universitas yang ada.

Kedua, pendirian universitas-universitas menjadi satu modal berharga bagi Barat. Bagir menyebut beberapa pengaruh yang ia jelaskan: “Gaya arsitektur, kurikulum, dan metode pengajaran universitas-universitas ini persis sama dengan yang ada pada seminari-seminari Muslim.” Kemudian ketiga berupa transmisi yang dilakukan para sarjana Barat.

Baca juga:  Black Holes: Ujung dari Semua yang Kita Ketahui

Ia menulis: ”…sains Muslim ditransmisikan ke Perancis dan wilayah-wilayah Barat lewat Itali. Seminari-seminari di Bologna dan Montepellier didirikan pada abad ketiga belas. Baru beberapa waktu kemudian, universitas Paris dibuka. Sementara itu, sains Barat ini sampai ke Inggris dan Jerman lewat universitas-universitas Oxford dan Koln, yang didirikan dengan pola yang sama.”

Aktualisasi dan Refleksi

Dari penjelasan demi penjelasan di atas, tentu tak bisa dipahami secara sepihak akan pengaruh besar sains Islam. Ada hal yang mesti juga dlakukan, katakanlah kemudian melakukan refleksi dalam perubahan dan perkembangan zaman yang berlangsung saat ini. Tanpa refleksi akan menjadi masalah. Hal itu disebabkan pemahaman seperti itu kadangkala hanya menjadikan diri sebatas membanggakan akan situasi maupun kondisi sejarah yang terjadi pada masa lalu.

Katakanlah, kita kemudian menyimak buku garapan Ahmet T. Kuru, Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan (Kepustakaan Populer Gramedia, 2020). Di mana, cendekiawan kelahiran Turki itu memberikan pemahaman bagi kita bersama akan bagaimana relasi Islam terhadap ilmu pengetahuan. Baik itu masa kejayaan, krisis, hingga kemunduran yang terjadi di dalamnya.

Analisis di dalamnya tentu menarik untuk membuka keterbukaan diri dalam ranah refleksi maupun membangun kritik dan otokritik agar pemahaman bagaimana konstruk keberadaan Islam dalam menjalin terhadp ilmu-ilmu pengetahuan secara utuh, lengkap, dan menyeluruh. Tidak lain adalah agar tidak menjumpai kegagalan dalam melakukan penafsiran dalam lingkup sempit.

Baca juga:  Ada Sains di Proklamasi Kemerdekaan 1945

Hingga pada akhirnya, keberadaan masa lalu mampu menjadi salah satu tilikan untuk membangun pemahaman dalam artian memahami kekeliruan maupun kesalahan yang pernah terjadi, hingga kemudian mempertahankan tradisi baik untuk keberjalanan peradaban. Berbicara wacana Islam dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan menyaratkan hal tersebut. Tidak bisa tidak.

Kita perlu memiliki kemauan untuk berbondong-bondong ke masa lalu untuk mencari benang-benang pengetahuan yang ada. Situasi keterbukaan itulah yang mestinya perlu dilakukan pada zaman ini. Zaman yang terus menunjukkan kompleksitasnya. Mau, tidak mau, ia perlu dihadapi bersama. Baik dengan dialog, kolaborasi, dan saling mendorong kebaikan antara satu dengan lainnya.[]

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top