Lukisan “Imam Bonjol” ini dilukis oleh seniman Yogyakarta asal Kutoarjo, Jateng, Harijadi Sumadidjaja (1919-1997). Diduga karya ini dibuat “by order” atau atas pesanan presiden Soekarno yang ingin menghimpun lukisan sosok-sosok pahlawan nasional.
Sosok Imam Bonjol atau Muhammad Syahab ini dilukis oleh Harijadi tahun 1951, dengan ukuran kanvas 120 x 90,5 cm. Ulama besar dari daerah Bonjol, Sumatera Barat ini bergelar Peto Syarief Ibnu Pandito Buyanudin. (Baca: Seni Islam dalam Pameran Koleksi Istana)
Karena Imam Bonjol hidup di Sumatera Barat antara tahun 1772-1864 dan belum ada teknologi fotografi, Harijadi mengandalkan proses visualisasi sosok kiai kharismatik tersebut lewat sebuat sketsa. Sketsa itu dibuat oleh residen atau semacam walikota Padang waktu itu, Hubert de Steurs. Tahun pembuatan sketsa itu tertera: 1826, atau ketika Imam Bonjol berusia 54 tahun.
Di balik menariknya karya ini sebetulnya ada hal yang mengkhawatirkan. Kondisi lukisan sudah penuh retak dan bercak jamur ada di sebagian karya. Ini juga terjadi pada karya lain yang menjadi koleksi istana kepresidenan termasuk karya-karya Raden Saleh Sjarief Boestaman. Jamur dan retak bertebaran di sana.
Kerusakan kemungkinan karena perawatan dan penyimpanannya kurang memadai. Suhu ruangan terlalu panas juga kelembaban terlalu tinggi menyebabkan proses penjamuran dan peretakan berlangsung cepat. (Baca: Seni Kaligrafi Kiai RObert Nasrullah)
Saya terpaksa harus membandingkan dengan karya Raden Saleh yang lain, yakni “Javanese Temple in Ruins” yang saya saksikan di National Gallery Singapore, akhir Januari lalu. Karya itu dibuat tahun 1860, dan 90 tahun terakhir disimpan di Smithsonian Museum, Washington, AS. Tapi kondisinya nyaris seperti baru. Kinclong, warnanya masih cemerlang, dan bersih dari retak serta jamur. Ini sebuah warning yang perlu perhatian serius!
Karya “Imam Bonjol” baru-baru ini dipamerkan dalam pameran koleksi istana kepresidenan RI bertajuk “Semangat Dunia”, di Galeri Nasional Indonesia, 3-31 Agustus 2018.