Telah diterjemahkan kitab Futuhat al Makiyah karya utama, magnum opus, as-Syaikhul Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi, Sang Belerang Merah (al- Kibrit Ahmar), Sang Penutup Kewalian dari galur Kanjeng Nabi SAW, dan banyak sekali atribusi kepada otoritas besar ini.
Akhirnya, ada juga sosok yg berani menerjemahkan kitab super sulit ini ke dalam bahasa Indonesia. Dan saya kagum dengan hasilnya. Penerjemah kitab penting ini bukan penerjemah umum, tetapi seorang penerjemah yang melakukan ijtihad bahasa dan mujahadat ruhaniyah dalam garis Akbariyah.
Saya terkesima berjumpa penerjemahnya. Seorang lelaki muda, rendah hati, lembut, santun, dan paling penting pancaran persaudaraannya seperti menyongsong siapa saja, dari golongan mana saja, dari yang sudah dikenal ataupun baru dijumpainya.
Dia mengaku mengaji otodidak terhadap kitab utama Ibnu Arabi ini. Dia menghabiskan dua belas tahun, kurang lebih, untuk menelaah kitab Futuhat ini.
Dia, sang penerjemah, terhubung dengan pelbagai otoritas Akbariyah, baik di tanah Arab maupun di Eropa dan Amerika.
Dengan fasih dia menceritakan belasan tahqiq atas Futuhat yang pernah dibacanya. Saya hanya diam mendengarnya.
Dia menyampaikan ceritanya demikian lembut, saya terkesima, dan kursi-meja di depan kami pun seperti ikut menyimak. Berlebihan mungkin, tapi itulah saya sangat kagum dengan orang yang lembut, rendah hati, dan berilmu.
Dia menerjemahkan kitab Futuuhat Al Makiyah setelah melakukan telaah tekstual, kontekstual, tallaqiyat. Saya jadi ingat cerita William Chittick yang mengaji Ibnu Arabi secara langsung kepada Sayyid Thabhathabhai sebelum meletusnya Revolusi Iran,1979.
Kemudian Chittick diusir dari Iran,dan sejak itu Sang Sayyid yg memiliki otoritas Akbariyah tersebut merosot kesehatannya,dan akhirnya meninggal. Sang Sayyid merasakan bahwa Chittick adalah santri nya yang potensial dan dianggap “mampu” mengemban tugas menyebarkan gagasan Syaikhul Akbar di Eropa dan Amerika.
Harun Nur Rosyid, penerjemah ini adalah lelaki muda kelahiran “tanah panas”, Sidoarjo, Jawa Timur, 1983. Kini dia tinggal di Kalasan, Klaten, Jawa Tengah, tidak terlalu jauh dengan candi-candi berumur ratusan tahun yang bertebaran di daerah sana.
Dia mengaji kepada Kiai Hamdani Barkan, seorang turunan Syaikh Arsyad al Banjari. Pada guru dan istrinya mas Harun bersama kakaknya mengaji ajaran Syaikhul Akbar.
Semoga Mas Harun (saya memanggil “Mas” pada sosok yang umurnya lebih mudah dari saya ini) dan kita mendapatkan limpahan keberkahan para kekasih Allah. Khusus pada kesempatan ini adalah As Syaikhul Akbar keluarga, murid dan para penyebar ajarannya.