Bagi masyarakat Indonesia, kerupuk merupakan salah satu makanan yang akrab dan sudah menjadi keseharian masyarakat. Berbagai kalangan, dari rakyat biasa, artis, pejabat, tokoh agama gemar memakan kerupuk, terutama sebagai makanan pelengkap. Kerupuk mudah dijumpai di warung-warung makanan pinggir jalan, warung kelontong di pemukiman, restaurant, bahkan kini hotel-hotel berbintangpun sudah menyediakan kerupuk dalam menu-nya.
Pengalaman penulis di beberapa hotel yang pernah dikunjungi menjumpai kerupuk dalam deretan makanan yang disajikan untuk tamu. Seperti pada bulan April 2019, saat menginap di Hotel Santika Premiere yang terletak di jalan KS Tubun, Jakarta. Pada pagi hari ketika sarapan, berbagai jenis kerupuk disediakan dan banyak juga yang mengambilnya.
Sejatinya, kerupuk bukan makanan utama, tetapi sebagai makanan pelengkap. Tanpa kerupuk orang masih bisa menikmati makanan, tetapi karena sifatnya sebagai pelengkap menjadikan orang terkadang juga merasa tidak puas dan kurang lengkap dalam menyantap makanan jika tidak disertai kerupuk.
Ada banyak variasi kerupuk di pasaran, dari berbahan dasar tepung sampai dengan berbahan kulit ikan maupun kulit sapi. Ragam bahan dasar membuat harga juga berbeda-beda. Kerupuk-kerupuk yang terbuat dari kulit sapi maupun kerbau menjadi bagian dari souvenir suatu daerah.
Menurut informasi, kerupuk sudah lama diproduksi dan menjadi makanan masyarakat Indonesia. Abad ke-9 Masehi dijumpai bukti-bukti mengenai keberadaan kerupuk. Dalam skala home industri, tahun 1930an sudah ada pabrik yang mengolah kerupuk dan menjual ke pasaran.
Manusia dan Tradisi Makan
Semua makhluk hidup butuh makan, namun hanya manusia yang memasak terlebih dahulu untuk makan. Makan tidak hanya usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan akan nutrisi tetapi sudah menjadi fenomena sosial, bahkan tidak jarang batas-batas sosial ditentukan oleh tradisi makan.
Makanan dan perilaku makan pun merupakan sistem simbol-simbol yang penuh makna. Apa yang kita makan merupakan jatidiri dan identitas kita. Status sosial pun bisa dilihat melalui apa yang dimakan dan cara makannya. Dari makanan kita bisa mengetahui asal daerah seseorang. Orang Sumatera cenderung suka makanan pedas, orang Jawa suka makanan manis, orang Sunda identik dengan lalaban, orang Sulawesi makanan yang bersantan, orang papua pun memiliki ciri khas tersendiri dalam makanan.
Untuk kasus di Indonesia dan beberapa masyarakat yang berbasis kerajaan seperti Inggirs, Perancis, maka ada makanan yang dimasak, disajikan, dan disantap oleh raja dan kalangan istana, dan ada juga makanan rakyat biasa. Untuk makanan raja dan keluarga istana, rakyat biasa tidak bisa merasakannya. Rakyat biasa memiliki makanan dan tradisi makan yang berbeda sama sekali dengan kalangan istana.
Makanan dan cara orang makan pun mengalami perkembangannya sendiri. Pada masa lalu bisa jadi cara makan tertentu dianggap tabu tetapi kini sudah menjadi sesuatu yang lumrah. Seperti makan sambil berdiri, dalam beberapa tradisi, termasuk tradisi Islam, makan sambil berdiri merupakan perilaku yang kurang baik, tetapi seiring dengan perkembangan, terutama saat ada resepsi, makan sambil berdiri merupakan perilaku yang lumrah.
Banyak antropolog yang mengkaji tradisi makan suatu masyarakat. Margareth Mead membahas tradisi makan orang New Guini, Marvin Harris menulis mengenai budaya makan pada masyarakat India, Levi’s Strauss membahas struktur pemikrian masayarakat tradisional yang ada di beberapa negara terkait dengan makanan, sedangkan Roy Rappaport membahasa mengenai pembagian nutrisi antara manusia dan hewan pada masyarakat papua.
Intinya, makanan merupakan fenomena sosial yang tidak sesederhana kelihatannya. Ada banyak pikiran, relasi sosial, norma, dan lain sebagainya terkait dengan makanan dan perilaku makan.
Kerupuk, Makanan yang melibatkan seluruh indera
Dengan alasan apa orang, terutama masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa gemar makan kerupuk?
Sebagai kategori makanan yang memenuhi kebutuhan tubuh terhadap kalori dan nutrisi tampaknya tidak. Walau belum membaca hasil penelitian terkait kerupuk, tetapi dengan berat yang ringan dan bahan-bahan untuk membuatnya maka patut diduga kerupuk tidak bisa memenuhi kebutuhan tubuh terhadap nutrisi dan kalori.
Alasan kesehatan? Mungkin juga tidak. Rasa yang ada di kerupuk, gurih dan sedap berasal dari bumbu yang dominan MSG atau penyedap yang justru dianggap tidak baik bagi kesehatan.
Alasan religius pun tidak, saya belum menjumpai teks-teks keagamaan yang menganjurkan orang untuk makan kerupuk, juga kerupuk tidak menjadi bagian dalam makanan sajen atau persembahan yang biasa dilakukan oleh masyarakat tradisional Indoensia.
Alasan yang paling logis adalah karena makan kerupuk melibatkan seluruh indera manusia.
Saat orang hendak makan, baik pada masa berburu maupun meramu maupun sampai dengan sekarang ini, tidak seluruh indera manusia terlibat dalam prosesi tersebut. Indera perasa melalui lidah dan anggota tubuh lainnya yang menyentuh makanan akan merasakan makanan tersebut, apakah manis, asem, asin, gurih, dan sedap. Indera penglihatan melalui mata yang melihat bentuk makanan, jika terlihat menggoda selera maka makan menjadi lebih semangat, sebaliknya jika indera penglihatan melihat makanan yang disajikan tidak begitu menggoda selera akan mengirimkan sinyal-sinyal tertentu pada otak yang berdampak pada motorik kita yang tidak semangat dalam makan. Indera penciuman melalui hidung akan mencium aroma yang keluar dari makanan. Jika orang gemar makanan tertentu lalu mencium aroma tersebut, maka indera penciuman akan mengirim sinyal pada otak dan otak akan memerintahkan tubuh supaya bereaksi. Perut tiba-tiba berbunyi saat hidung mencium aroma makanan. Bagi saya, jika mencium aroma ikan asin atau terasi yang digoreng, maka tiba-tiba perut menjadi lapar dan ada hasrat untuk makan.
Lalu, indera apa yang paling tidak terlibat? Indera pendengaran. Saat pengolahan indera pendengaran masih mungkin terlibat, orang masih mendengar suara wajan yang beradu dengan irus, suara ikan yang masuk dalam penggorengan, dan suara-suara lainnya dalam pengolahan bahan-bahan makanan.
Tetapi, saat makanan sudah dihidangkan, maka indera pendengaran tidak atau jarang terlibat dalam prosesi makan makanan. Untuk memenuhi kebutuhan indera pendengaran tersebut, kerupuk hadir dan melengkapinya. Dengan makan kerupuk, semua indera terlibat dalam prosesi makan. Dari indera penglihatan, indera perasa, indera penciuman, sampai dengan indera pendengaran semuanya merasakan apa yang kita makan.
Makan kerupuk sama dengan toast atau adu gelas dalam tradisi minum wine pada masyarakat barat. Toast atau adu gelas sejatinya untuk melengkapi dan melibatkan seluruh indera dalam prosesi minum wine. Kita bisa lihat ketika orang minum wine, indera penglihatan akan melihat dan menilai kualitas wine, indera penciuman pun demikian akan mencium aroma wine apakah cukup enak atau tidak, indera perasa jelas akan merasakan wine saat diminum, maka untuk melengkapi dan supaya indera pendengaran juga merasakan, dentingan antar gelas akan menjadi suara yang dapat menciptakan sensasi bagi indera pendengaran.
Tegasnya, suara kriuk-kriuk yang dihasilkan ketika kita menggigit kerupuk dapat memenuhi kebutuhan dan melibatkan semua indera dalam ‘ritual’ makan yang sedang kita laksanakan. Itulah alasan kenapa bagi orang yang terbiasa makan kerupuk akan merasa ada yang kurang sekiranya makan tanpa ada kerupuk. Bukan begitu? (RM)